Minggu, 13 Januari 2008

Industri Gula Di Cirebon Setelah Nasionalisasi Hingga Krisis Gula Nasional 1958-2003

Proses Nasionalisasi 1957-1958

Nasionalisasi Perusahaan Asing
Setelah Indonesia merdeka dan berakhirnya demokrasi parlementer hingga 1957 keamanan dalam negeri memburuk dan pergolakan politik telah mendorong inflasi. Memburuknya keamanan itu disebabkan oleh dua hal penting. Pertama adalah gerakan kedaerahan menentang pemerintahan pusat yang mencapai puncaknya dalam pemberontakan Permesta di Sulawesi dan Pemberontakan PRRI di Sumatera. Pemberontakan kedaerahan itu telah mengacaukan Rencana Lima Tahun. Kedua adalah adanya pengambilalihan perusahaan-perusahaan Belanda pada Desember 1957 setelah kekalahan Indonesia di forum PBB pada 29 November 1957 dalam masalah Irian Barat. Dampak dari kekalahan Indonesia dalam forum PBB tersebut telah mendorong peristiwa-peristiwa yang tidak terduga dan spontan, yaitu banyak perusahaan Belanda yang diambil alih oleh serikat-serikat buruh yang sepenuhnya dikendalikan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Djuanda dan Nasution selaku Kepala Staf Angkatan Darat tidak mampu membendung aksi radikalisme anti Belanda yang dikobarkan oleh Soekarno (Muhaimin, 1991: 40-41).
Perubahan penting dan mendasar dalam bidang politik di Indonesia pada kurun waktu 1957 hingga 1960 ternyata telah mempengaruhi pola kebijakan pemerintah Indonesia di bidang ekonomi antara lain adanya perubahan struktur politik, dari sistem Demokrasi Parlementer menjadi Demokrasi Terpimpin, pencanangan ekonomi terpimpin, dan perjuangan untuk merebut kembali Irian Barat dari tangan Belanda.
Sumber kebijakan pada periode demokrasi terpimpin adalah Deklarasi Ekonomi. Deklarasi ekonomi telah memberikan pengaruh yang penting terhadap langkah-langkah kebijaksanaan pemerintah dalam sektor perekonomian dalam periode 1957 s. D. 1980, isi dari deklarasi itu antara lain.
1. Negara mengkoordinasikan dan mengatur semua kegiatan sektor perekonomian Indonesia. Negara akan mengatur perencanaan dan pengawasan terhadap distribusi kredit, produksi dan inventasi.
2. Penghancuran sisa imprerialisme, dan penempatan modal asing untuk kepentingan kehidupan sosial dan ekonomi. Penempatan modal asing itu diperoleh dengan cara pengambilalihan pinjaman antarnegara, join venture, dan persetujuan bagi hasil produksi.
3. Penggantian ekonomi ekspor/impor kolonial dengan sistem ekonomi yang lebih mampu mencukupi kebutuhan sendiri dan melakukan industrialisasi (Kartodirdjo dan Suryo, 1994: 174).
Setelah terbentuknya deklarasi ekonomi, maka pada saat itu pula pemerintah memiliki dasar untuk melaksanakan usaha pemilikan modal secara langsung dengan jalan mengambil alih perusahaan-perusahaan swasta Belanda yang ada di Indonesia. Proses pengambilalihan perusahaan-perusahaan itu berlangsung sejak Desember 1957, dan dikenal dengan proses “Nasionalisasi” perusahaan asing. Proses nasionalisasi itu berlangsung spontan dan unilateral. Dalam hubungannya dengan peristiwa itu, maka pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No.86, 1958 tentang nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda (LNRI, 1958) .
Bentuk dari perusahaan asing yang dinasionalisasikan adalah perusahaaan yang merupakan badan hukum maupun milik perseorangan yang letaknya berada di wilayah kekuasaan Republik Indonesia. Setelah proses nasionalisasi dilakukan, maka perusahaan-perusahaan itu diubah statusnya menjadi perusahaan negara.
Nasionalisasi perusahaan swasta di Indonesia telah menjadi pukulan bagi investor asing, dan secara mendasar telah mengubah struktur perekonomian bangsa Indonesia. Proses nasionalisasi itu telah melibatkan pengalihan kepemilikan 90% produksi perkebunan, 60% produksi perdagangan luar negeri, 246 pabrik dan perusahaan pertambangan, bank, pelayaran, dan berbagai industri jasa. Perusahaan yang dinasionalisasikan tersebut tidak diserahkan kepada pihak swasta, namun ditangani dalam bentuk perusahaan negara, pertimbangan tersebut didasari oleh kenyataan bahwa perusahaan swasta nasional yang ada pada masa itu dipandang terlalu lemah dalam menangani perusahaan-perusahaan besar bekas Belanda dan membangun perekonomian industri nasional (Kartodirdjo dan Suryo, 1994: 174).
Pada September 1950 telah dibentuk PPN (Perusahaan Perkebunan Negara) yang merupakan perwujudan dari Government’s Landbouw Bedrijven (GLB). PPN tersebut menguasai perusahaan-perusahaan swasta asing yang kalah perang pada Perang Dunia ke-2. Ketika itu perusahaan swasta Belanda tidak masuk dalam kategori tersebut, sehingga para pengusaha Belanda tetap melaksanakan aktivitasnya meskipun pada saat itu telah terjadi peristiwa pendudukan Jepang dan perang kemerdekaan Indonesia.
Perusahaan perkebunan swasta Belanda yang dinasionalisasikan pada 10 Desember 1957 tidak digabungkan dalam PPN yang telah ada sebelumnya namun digabungkan ke dalam organisasi pengelolaan perusahaan negara yang baru, yaitu PPN Baru Pusat. Dengan dibentuknya PPN Baru, maka PPN yang telah ada sebelumnya disebut PPN Lama. Pemerintah pusat dalam hal itu menangani semua perusahaan negara, termasuk di dalamnya dalam hal penentuan harga, investasi, dan produksi. Masing masing badan milik pemerintah yang mengelola bidang-bidang tersebut antara lain, Bappit untuk industri, BUD untuk perdagangan, dan PPN Baru untuk pengelolaan perkebunan. Pembentukan PPN Baru Pusat yang berkedudukan di Jakarta, ditindaklanjuti dengan pembentukan perwakilan-perwakilannya di daerah, untuk menangani pengawasan dan koordinasi semua kegiatan penanganan perkebunan di tingkat daerah. Perwakilan PPN Baru tingkat daerah tersebut terdapat di Medan, Bandung, Semarang, dan Surabaya. Masing-masing menangani wilayah Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Pada 1960, struktur organisasi PPN Baru disempurnakan dengan diadakannya pembagian rayon, dan pre-unit dalam setiap rayonnya. Setiap unit-unit perusahaan dijadikan kesatuan-kesatuan perusahaan-perusahaan negara yang bertugas menyelenggarakan kegiatan produksi. Sementara itu PPN Lama dan PPN Baru Pusat digabungkan menjadi Badan Pimpinan Umum Perusahaan-Perusahaan Negara (BPU-PPN). Hal itu menyebabkan BPU-PPN mempuyai perwakilan di daerah yang sebelumnya merupakan milik PPN Baru Pusat. Sejak terjadi peleburan PPN Lama dengan PPN Baru manjadi PPN Kesatuan, maka PPN Kesatuan terbagi dalam beberapa unit kerja perkebunan, yaitu, unit Aceh, Unit Sumatera Utara I s. d. X, Unit Sumatera Selatan I s. d. II, Unit Jawa Barat I s. d. IV, Unit Jawa Tengah I s. d. V, Unit Jawa Timur I s. d. X dan PPN Perintis, serta unit penelitian (Perkembangan 5 Tahun Perkebunan dalam Kartodirdjo dan Suryo, 1994: 176).
BPU-PPN mengalami reorganisasi pada 1963, dan dibagi menjadi empat kelompok BPU-PPN berdasarkan jenis usahanya, mengingat semakin luasnya usaha yang ditangani pada saat itu. Keempat kelompok BPU-PPN tersebut adalah; BPU-PPN Karet, BPU-PPN Gula, BPU-PPN Tembakau, dan BPU-PPN Aneka Tanaman, yang masing-masing mempunyai kedudukan sebagai badan hukum dan memiliki cabang di daerah masing-masing. Secara keseluruhan BPU-PPN yang terdapat di empat BPU berjumlah 88 PPN. Distribusi PPN tersebut sebagai berikut; BPU-PPN Gula memiliki lima PPN, BPU-PPN Tembakau memiliki tujuh PPN, BPU-PPN Karet memiliki enam belas PPN, BPU-PPN Aneka Tanaman memiliki empat belas PPN, dan PPN Serat berdiri secara terpisah dan memiliki PPN sendiri.
Pada 1968 telah terjadi tiga perubahan penting dalam kelembagaan perkebunan, yaitu, penciutan jumlah PPN dari 88 PPN menjadi 28 PPN, penghapusan BPU masing-masing (PP No. 13, tanggal 27 Maret 1968), dan pembentukan Perusahaan Negara Perkebunan (PNP) (PP no. 14 tanggal 13 April 1969). Selanjutnya setelah perubahan tersebut, terjadi pembentukan Badan Khusus Perusahaan Negara (BKU-PN) pada 1969, yang sekaligus menetapkan pemisahan tugas antara Direktorat Jenderal Perkebunan dan BKU-PNP. Seperti halnya badan-badan yang telah dibentuk sebelumnya, maka tugas BKU-PNP dibantu oleh perwakilan wilayah yang tersebar di Indonesia. Perwakilan tersebut mewakili:
1. BKU-PNP Wilayah I Sumatera dan Aceh yang berkedudukan di Medan.
2. BKU-PNP wilayah Lampung dan Jawa Barat berkedudukan di Bandung.
3. BKU-PNP Wilayah III/ Jawa Tengah berkedudukan di Semarang.
4. BKU-PNP Wilayah IV Jawa Timur yang berkedudukan di Surabaya.
Untuk melancarkan koordinasi kegiatan PNP secara keseluruhan, dan juga sebagai forum pemecahan masalah perkebunan, maka dibentuklah Badan Kerjasama Direksi (BKSD) yang terbagi di tiga kelompok, yaitu, Sumatera dan Aceh, Sumatera Selatan, dan Jawa. Tugas BKSD itu khusus untuk menangani permasalahan gula.
Pada perkembangan selanjutnya, masih pada 1969 terjadi lagi perubahan kelembagaan perusahaan perkebunan, yaitu pengalihan bentuk dari Perusahaan Negara (PN) menjadi Perseroan Terbatas (PT) (UU No. 9/1969 dan PP. No. 12/1969). Proses pengalihan bentuk PN menjadi PT dilakukan secara bertahap dan didasari oleh penilaian dan kelayakan PN tersebut untuk diubah menjadi PT. Tindak lanjut dari perubahan itu, maka diadakan penilaian terhadap 28 PNP yang memungkinkan dijadikan perseroan terbatas (Kartodirdjo dan Suryo, 1994: 177-178).

Nasionalisasi Industri Gula di Cirebon
Pada masa akhir pemerintahan Hindia Belanda, perusahaan pemilik pabrik gula di Keresidenan Cirebon[1] adalah perusahaan swasta asing yaitu NV NILM (Nederland Indische Landbouws Maaschapij), perusahaan yang bergerak dalam bidang perkebunan dan NV NHM (Nederland Handels Maschapij) yang merupakan salah satu bank terbesar milik Belanda. Namun seiring dengan adanya kebijaksanaan perekonomian pemerintah Indonesia tentang nasionalisasi perusahaan asing, maka secara otomatis perusahaan-perusahaan gula yang terdapat di Keresidenan Cirebon pun dinasionalisasikan.
Perusahaan-perusahaan yang dinasionalisasikan tersebut di antaranya adalah pabrik-pabrik gula yang berada di Keresidenan Cirebon meliputi Pabrik Gula (PG) Sindanglaut, PG Karangsuwung, PG Tersana Baru, PG Kadipaten, PG Jatiwangi, dan PG Gempol. Seluruh pabrik tersebut dinasionalisasikan pada 1958 berdasarkan Undang-Undang Nasionalisasi Perusahaan milik Belanda No. 86 tanggal 31 Desember 1958. dan pada 31 Januari 1960 penguasaannya telah diserahkan oleh NV NHM dan NV NILM kepada Pusat Perkebunan Negara Jawa Barat (Daftar Isian Pabrik Gula Tersana Baru, 2003)
Setelah terjadi perubahan susunan PPN Baru menjadi BPU (Badan Pimpinan Umum), maka Badan Pimpinan Umum perusahaan perkebunan tebu di daerah Jawa Barat dinamakan unit gula I dan kepengurusan perkebunan-perkebunan Jawa Barat khususnya pabrik-pabrik gula diserahkan kepada suatu badan yang disebut dengan Unit Gula III. Pada 1961 berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 159 tanggal 26 April 1961 keduanya dilebur menjadi Perusahaan Perkebunan Negara Kesatuan Jawa Barat (PPN Jabar VI). PPN Jabar VI merupakan badan hukum yang dipimpin oleh BPU-PPN sebagai kuasa direksi PPN Jabar VI. PPN Jabar sebenarnya berkedudukan di Bandung namun karena kuasa direksi perusahaan tersebut berada di Cirebon dengan menempati bekas kantor Unit Gula I, maka PPN Jabar VI berpindah ke Cirebon.
Pada 1963 berdasarkan atas Peraturan Pemerintah No.1 tahun 1963 dibentuk perusahaan gula negara. Masing-masing perusahaan gula tersebut adalah badan hukum yang memiliki direksi sendiri. Kemudian pada 1964 sesuai dengan kebijakan pemerintah terjadi perubahan status dari PPN Jabar VI menjadi Badan Pimpinan Umum-PPN, namun perubahan itu tidak berlangsung lama dan BPU-PPN pun dibubarkan. Pada perkembangan selanjutnya perusahaan perkebunan dilebur mejadi Perusahaan Negara Perkebunan (PNP), perubahan itu dilandasi oleh Peraturan Pemerintah No. 14 tanggal 13 April 1968. Dengan adanya kebijakan itu pula seluruh pabrik gula yang beroperasi di Indonesia diubah statusnya menjadi Perusahaan Negara (PN), dan khusus pabrik gula di wilayah Cirebon dinamakan Perusahaan Negara Perkebunan XIV (PNP XIV).
Berdasarkan akte Notaris G. H. Lumban Tobing pada Mei 1981 terjadi peralihan status PPN XIV menjadi Perseroan Terbatas Perkebunan XIV (PTP XIV) di bawah pimpinan direksi. Pada 1989 PTP XIV mengalami peralihan naungan, yang semula PTP XIV berada di bawah departemen Pertanian kini beralih menjadi di bawah naungan Departemen Keuangan dengan manajemen PT Rajawali Nusantara Indonesia[2] (PT RNI) yang merupakan anak perusahaan dari Departemen Keuangan yang berkedudukan di Jakarta, dan demikian terjadi lagi perubahan nama perusahaan gula di Cirebon dengan nama BUMN PT Perkebunan XIV (Persero) dengan menempatkan seorang administratur sebagai pimpinan masing-masing pabrik gula tersebut (Sejarah PG Rajawali II Unit Pabrik Gula Sindanglaut).
Sesuai dengan keputusan Menteri Keuangan RI No. S-386/MK.16/1996 dan juga berdasarkan hasil keputusan RUPS PT Perkebunan XIV (Persero), nama nama pabrik gula tersebut berubah lagi menjadi PG Rajawali II[3] dengan memakai nama unit masing-masing pabrik yang tersebar di seluruh wilayah Cirebon. Kemudian pada 1998 terjadi perubahan nama pimpinan dari semula dengan nama administratur menjadi General Manager (GM) (Diolah dari Daftar Isian Pabrik Gula Rajawali II Cirebon, 2003).

Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) Sebagai Kebijakan Baru Pemerintah Indonesia Paska Nasionalisasi Industri Gula
Setelah terjadinya proses nasionalisiasi perusahaan asing dan belum terlihatnya stabilitas perekonomian di dalam negeri yang menunjukkan keuntungan, maka dalam perusahaan perkebunan tebu telah tercipta organisasi produksi baru yang berguna untuk menyesuaikan perubahan kondisi di pedesaan. Sistem tersebut adalah pemberian kepercayaan kepada petani untuk menjaga tanaman tebu pada lahan yang telah disewakan dan ditanami tebu. Petani kemudian memperoleh pembayaran berupa setengah bagian atau separo harga tebu yang dihasilkannya. Pada perkembangan selanjutnya sistem itu melahirkan sistem tebu rakyat.
Kira-kira pada 1950-an petani kecil tidak mau lagi menggunakan sistem maro, namun cenderung menyewakan tanahnya kepada pabrik, atau menanami tanahnya dengan tebu lalu setelah panen menjualnya ke pabrik gula. Proses aktivitas itu kemudian berkembang dan secara tidak langsung menjadi awal proses terbentuknya sebuah sistem dalam industri gula yaitu sistem tebu rakyat (Kartodirdjo dan Suryo, 1991: 169). Tebu rakyat mulai berkembang dan semakin luas lahannya setelah mendapatkan dukungan dari pemerintah Indonesia melalui Dinas Pertanian Rakyat. Setelah itu terjadi pula peningkatan produksi tebu yang digilingkan ke pabrik gula.
Pada 1955 telah dibentuk Yayasan Tebu Rakyat (Yatra) dengan tujuan untuk mendukung program yang tengah dikembangkan oleh pemerintah pada saat itu. Tugas Yatra adalah berusaha mendorong berkembangnya tebu rakyat dengan cara memberikan bantuan teknis dan kredit untuk mengusahakan tanaman tebu, sedangkan tanggung jawab penanaman tebu tetap berada di tangan petani. Namun dalam prakteknya, Yatra dinilai tidak berjalan efektif, sehingga pada 1964 yayasan tersebut dibubarkan dan pabrik-pabrik kembali menjalankan sistem sewa (Mubyarto dan Daryanti, 1991:14).
Sejak perkebunan dan pabrik-pabrik dinasionalisasikan, pengusahaan perkebunan dilakukan dengan cara sistem sewa. Hal itu didasari oleh kenyataan bahwa dari 55 pabrik yang beroperasi, hanya satu unit pabrik gula yang memiliki tanah konsesi sendiri. Pabrik-pabrik gula yang tidak memiliki tanah konsesi menggantungkan diri pada kesediaan petani untuk menyewakan tanah-tanahnya. Pada umumnya petani tidak merasa keberatan dengan permintaan pabrik gula tersebut asalkan dengan pertimbangan bahwa tingkat harga sewa tanah sebanding dengan hasil yang diperoleh apabila tanah tersebut ditanami padi.
Ketika terjadi periode inflasi yang hebat pada tahun enam puluhan, maka nilai riil dari tanah tersebut menurun secara drastis dan mengakibatkan petani menjadi enggan menyewakan tanahnya lagi. Oleh karena munculnya permasalahan tersebut, maka pemerintah mencoba menerapkan sistem bagi hasil atau sistem sewa dalam bentuk natura, dan dengan seiring perkembangan nilai rupiah yang menunjukkan angka kestabilan maka ada kecenderungan pemberlakuan kembali sewa tanah karena sistem itu lebih sederhana (Mubyarto, 1994: 78).
Dalam perkembangannya, usaha produksi gula dengan sistem sewa tanah dinilai tidak sesuai lagi dengan tujuan pembangunan perekonomian nasional. Ketidaksesuaian tersebut dilatarbelakangi oleh adanya permasalahan kekurangan lahan tebu yang tergusur oleh tanaman tembakau Virginia, sehingga pabrik-pabrik gula mengalami kesulitan dalam memperoleh lahan sewaan dan akibatnya terjadi kemerosotan jumlah produksi tebu. Karena gula merupakan kebutuhan masyarakat yang penting, maka pemerintah memandang perlu dikeluarkannya peraturan pemerintah dalam penentuan dan penunjukan daerah-daerah tertentu untuk penanaman tebu.
Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1960 dan disempurnakan menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1964. Pada hakikatnya, peraturan tersebut menetapkan daerah-daerah tertentu untuk ditanami tebu, dengan pemberian sanksi pidana kepada mereka yang enggan menaatinya (Soemardjan, 1984:53). Berdasarkan peraturan tersebut, para pemilik tanah yang ditunjuk pemerintah seolah tidak mempunyai pilihan lain selain menyewakan tanahnya kepada pabrik gula pada saat mendapat giliran. Namun program itu pun mengalami hambatan yang cukup berarti, yaitu terjadinya penurunan jumlah lahan sewaan. Keadaan itu disebabkan karena turunnya minat petani untuk menyediakan tanahnya bagi tanaham tebu, rendahnya jumlah uang sewa yang ditetapkan pemerintah, dan bila dibandingkan dengan penerimaan petani dari hasil menggarap tanaman padi atau palawija dalam jangka waktu yang sama terasa sangat jauh berbeda.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pada 1975 pemerintah mengeluarkan Inpres Nomor 9 Tanggal 22 April 1975 yang isinya menentukan bahwa untuk selanjutnya tanaman tebu tidak ditanam sendiri oleh pabrik gula namun diserahkan kepada petani untuk dikelola di atas tanahnya sendiri. Program itu dikenal dengan nama Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) dan atas dikeluarkannya program itu setidaknya lebih sesuai dengan isi kandungan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) pasal 10 tahun 1960 yang menghendaki agar tanah pertanian diusahakan secara aktif oleh pemiliknya sendiri (Mubyarto, 1992: 64).
Kebijakan TRI merupakan langkah awal dari perubahan kebijakan usaha di sektor pertanian/perkebunan yang berbasis perkebunan besar menjadi inti rakyat. Dengan berjalannya program tersebut, maka terjadilah perubahan yang mendasar dalam sistem produksi gula Indonesia yang menempatkan petani sebagai pengusaha dan pabrik gula sebagai pengolahnya. Tujuan akhir yang ingin dicapai dari pelaksanaan sistem TRI adalah menjadikan petani tebu sebagai wiraswasta yang mampu berusaha secara mandiri, dalam bentuk kelompok-kelompok tani mapun koperasi petani serta memiliki kekuatan ekonomi (Mubyarto, 1994: 79).
Adapun isi dari ketentuan Inpres TRI yang harus dilaksanakan sebagai berikut:
1. Intensifikasi pada tanaman tebu yang sudah biasa diusahakan oleh rakyat, dan intensifikasi pada tanaman tebu yang diusahakan oleh petani dari masa pratanam hingga pengankutan hasil panen tebu ke pabrik.
2. Agar pelaksanaan intesifikasi tanaman tebu rakyar dapat berjalan dengan baik, maka pabrik gula barperan sebagai pimpinan kerja para petani dalam melakukan penyuluhan, bimbingan teknis pengusahaan tenaman tebu rakyat, penyedia bibit unggul, menyediakan dan melayani sarana kebutuhan produksi serta memberikan petunjuk dan pelayanan dalam pemberian kredit kepada para petani dengan memanfaatkan tenaga-tenaga tetap yang ada di pabrik-pabrik gula.
3. Memenuhi kebutuhan dalam melayani permintaan kredit untuk usaha intensifikasi tanaman tebu rakyat bagi para petani yang memerlukan.
4. Untuk melindungi petanu tebu rakyat dari kemungkinan ijon yang merugikan dan untuk tertibnya pemasaran gula, maka begian hasil yang menjadi hak petani dari tebu miliknya yang digilingkan di pabrik gula diberikan dalam bentuk uang yang nilainya ditentukan sedemikian rupa sehingga menggairahkan usaha intensifikasi tanaman tebu rakyat.
5. Agar dari semula koperasi (BUUD/KUD) diikutsertakan dan dibimbing untuk mengkoordinasikan petani tebu rakyat dalam usahanya meningkatkan produski gula dan meningkatkan penghasilannya (Inpres RI, 1975).
TRI sejak diberlakukannya telah menuai kontroversi dan menjadi sorotan pers. Berbagai persoalan tersebut tidak saja menyangkut pada masa musim tanam di mana masalah bibit, biaya garap, dan pengorganisasian petani dalam produksi menimbulkan berbagai persoalan di lapangan, dan begitu pula pada saat panen, terjadi pula permasalahan dalam giliran tebang, pengangkutan, penetapan rendemen dan pemasaran gula bagian petani. Inpres tersebut bertujuan agar petani dapat mengusahakan sendiri tanaman tersebut di atas lahannya. Upaya itu ditunjang dengan adanya perluasan areal tebu di lahan sawah maupun lahan kering yang terdapat di Jawa maupun luar Jawa. Dengan adanya sistem baru itu, areal tebu mengalami peningkatan.
Dalam kurun waktu 1975 hingga 1980, areal tebu meningkat dari 104.777 ha menjadi 188.722 ha atau meningkat 80.17 persen. Sementara itu produksi gula meningkat dari 1.035.000 ton menjadi 1.249.000 ton atau meningkat 20.69 persen. Namun di sisi lain produktivitas mengalami penurunan kira-kira 5 persen per tahun. Hal itu berarti peningkatan produksi total tersebut hanya diakibatkan adanya peningkatan areal tanaman tebu (Mubyarto dan Daryanti, 1991:17). Produkstivitas yang menurun tersebut disebabkan oleh karena petani lebih mementingkan tanaman pangan, sehingga tanaman tebu menjadi tersampingkan, selain itu petani lebih sering menanam tebu pada lahan yang lebih rendah tingkat kesuburannya.
Sebagai pengusaha, petani tidak dibekali pengetahuan tentang pengusahaan tebu, sehingga kurang terlibat dalam aktifitas penanaman tebu. Dengan kata lain pada saat itu hubungan petani dengan tanaman tebunya tidak memiliki unsur emosional. Hal tersebut menjadikan petani seolah kurang peduli terhadap tanamannya. Di sisi lain pemilihan tanah yang sempit menjadikan kurang efisiennya pengusahaan tebu. Pada akhirnya kondisi seperti itu mengakibatkan terjadinya bentuk-bentuk penyimpangan program TRI yaitu dengan munculnya pengusaha yang menyewa lahan petani tebu. Para pengusaha itu kemudian dikenal secara resmi sebagai petani TRI, namun dalam kenyataanya mereka menyewa tanah petani dengan jangka waktu yang lama.
Sebenarnya kegiatan penyewaan tanah dalam penanaman tebu telah dilarang sejak diberlakukannya Inpres nomor 9/1975, namun secara tidak langsung proses penyimpangan itu tetap berlanjut melalui pengusaha, baik dalam bentuk TRI (dengan Kredit) maupun TRB[4] (non-kredit BRI). Hal yang sangat memprihatinkan pada masa itu adalah semakin banyaknya petani yang menyerahkan tanahnya kepada para pengusaha tebu (cukong) (Soemardjan, 1984: 170-171).
Di masa rezim Orde Baru, TRI dinyatakan sebagai "program nasional". Sebutan yang identik dengan keramat. Kemudian, sebagai sesuatu yang "dikeramatkan", TRI wajib diamalkan dan dilaksanakan. Apabila terdapat petani yang memiliki pola pemikiran yang berseberangan, maka mereka disebut sebagai penghambat pembangunan, atau biasa disebut subversif. Di era TRI, pola glabagan peninggalan tanam paksa dihidupkan kembali. Desa wajib melaksanakan TRI secara bergiliran. Namun, bagi petani gurem yang lahannya di bawah 0,25 hektar, tebu jelas tidak menguntungkan. Belum lagi risiko gagal panen yang bisa berakibat lahan harus dijual. Selain itu, masa tanamnya terlalu lama (18 bulan) dan birokrasi TRI yang berliku masih membutuhkan uang pelicin.
Untuk menghindar dari kewajiban melaksanakan TRI, mereka memilih menyewakan lahannya dan memburuh kepada penyewa. Pada saat lain, mereka berangkat ke kota sebagai kuli bangunan, penarik becak, atau apa saja. Keadaan itu menyebabkan terjadinya penguasaan lahan secara besar-besaran. Pemilik uang dari kota bersekongkol dengan aparat desa, kecamatan, kabupaten, dan pabrik gula untuk menguasai lahan pertanian.
Perbedaan yang terdapat antara sewa tanah dan TRI adalah bahwa dalam sistem TRI lebih banyak pihak yang terlibat, dengan membawa kepentingannya masing-masing. Sektor swasta menjadi lebih penting dalam peranannya melakukan berbagai proses pengangkutan, pemasaran gula bagian petani dan pemberian jasa umumnya dalam bentuk produksi dan pemasaran. Hal yang paling menarik dari sistem TRI itu adalah bertambah besarnya peran pemerintah dalam penyampaian dan penerangan berbagai peraturan pemerintah mengenai penyelenggaraan sistem TRI. Seharusnya pekerjaan pabrik gula menjadi lebih ringan karena tugasnya semata-mata hanya menggiling, namun pada kenyataannya justru sebaliknya pabrik gula menjadi bagian dari pemerintah yang mempunyai tugas memberikan pengarahan tetang TRI kepada petani sekaligus membina petani itu sendiri, dan menjadi anggota terpenting dari satuan-satuan pelaksana program pemerintah yang berhubungan dengan TRI.
Pada umumnya suasana kerja di lingkungan pabrik gula menjadi kurang kondusif sejak diberlakukan sistem TRI. Banyak staf yang menginginkan percepatan pensiun, hal itu merupakan permintaan yang sulit diperkirakan dalam sistem sewa tanah sebelumnya. Ada beberapa pabrik gula yang mempunyai masalah dengan keterbatasan areal penanaman tebu, terpaksa memperoleh subsidi yang sangat besar secara terus-menerus dari pabrik lain yang memiliki efisiensi ekonomi tinggi (Mubyarto, 1994: 80,83). Manajemen pabrik gula sendiri masih tetap seperti saat abad kolonial. Saat panen raya tiba, masalah lama muncul kembali. Ratusan truk pengangkut tebu harus sabar bermalam menunggu giliran membongkar muatannya di pabrik gula. Masalahnya makin bertambah runyam karena oknum pabrik gula ikut "bermain" dalam menekan rendemen tebu rakyat. Belum lagi monopoli pemasaran tetes tebu rakyat oleh pabrik gula.
Memang tidak semua petani menerima ampas tebu semata. Namun, mata rantai TRI, sejak instruksi penanaman tebu hingga panen di kebun maupun penggilingannya di pabrik, telah diubah menjadi pemerasan struktural. Melalui inpres program TRI itu swasembada gula secara nasional memang meningkat. Namun, di sisi lain, tingkat pendapatan petani tidaklah menggembirakan. Pemaksaan-pemaksaan kepada petani untuk menanam tebu sering diikuti unsur power structur dengan latar kepentingan politik birokrasi tertentu yang dapat diindikasikan dengan adanya intimidasi dan stigma "pembangkang", "anti pembangunan", dan "partisipan organisasi terlarang" yang ditujukan kepada petani apabila menolak program TRI.
Banyaknya kendala yang menjadi hambatan bagi pelaksanaan TRI, telah mendorong pabrik-pabrik gula untuk melakukan pengembangan sistem-sistem alternatif dalam upayanya memperoleh lahan yang memadai produktivitas menanam tebu. Salah satu sistem yang dikembangkan adalah program Kerja Sama Operasional (KSO). Sistem KSO lahir sebagai upaya mengatasi terbatasnya lahan TRI, dampak lanjutan dari keterbatasan lahan TRI menyebabkan pabrik gula kekurangan bahan baku dan apabila keadaan itu dibiarkan, maka bukan tidak mungkin pabrik gula akan bangkrut (Kompas, 29 Oktober 1991).
Terdapat dua macam KSO, yaitu KSO pengolahan lahan dan KSO pengadaan bahan baku tebu giling. Dalam KSO jenis pertama, pada awal kerjasama dengan pabrik gula petani menerima IPL (Imbalan Penggunaan Lahan) senilai ku (kwintal) gula yang diperoleh per hektar selanjutnya petani pemilik lahan berkerjasama dengan pabrik gula mengelola lahannya untuk ditanami tebu atas biaya pabrik gula. Pabrik gula menjamin produksi minimal 80ku gula per hektar, dan seandainya produktivitas per hektar tidak mencapai 80 ku maka risiko ditanggung pabrik gula. Sebaliknya apabila produktivitas per hektar mencapai lebih dari 80 ku, petani berhak memperoleh 25 persen dari kelebihannya dan hal itu berlaku pula untuk KSO di lahan sawah, sedangkan KSO lahan tegalan IPL yang berhak diterima petani senilai 8,5 ku hingga 12 ku per hektar.
Pada KSO jenis kedua, pabrik gula memberikan bentuan berupa bibit, pupuk, biaya garap, atau tebang maupun pengangkutan tebu. Besarnya bantuan tersebut sangat bervariasi sesuai dengan kebutuhan petani serta penilaian pabrik gula. Pada saat panen, petani menerima bagian gula setelah dipotong jumlah bantuan pabrik dan ditambah besarnya bunga sekitar 1.5 persen per bulan (Kompas, 29 Oktober 1991).
Seperti halnya TRI, ternyata KSO pun mengalami berbagai permasalahan, antara lain keterbatasan modal yang dimiliki pabrik gula. Namun program KSO itu memiliki keuntungan, di antaranya petani terhindar dari risiko mengalami kerugian, sedangkan pabrik gula memperoleh keuntungan dengan adanya kepastian memperoleh bahan baku yang berkualitas. Secara sepintas program KSO mempunyai kemiripan dengan sistem sewa, namun ada beberapa perbedaan prinsip. Pertama, pada sistem sewa petani tidak terlibat dalam proses produksi, sedangkan dalam program KSO keterlibatan petani dalam proses produksi cukup tinggi. Kedua, dalam sistem sewa tidak ada hak petani untuk menerima kelebihan produksi, sedangkan dalam program KSO petani menerima ¼ kelebihan batas produksi. Ketertarikan petani pada sistem KSO disebabkan adanya IPL dalam jumlah yang pasti dan diberikan pada saat penyerahan lahan. Di samping itu petani tidak dibebankan untuk menanggung resiko apa pun sebab segala biaya produksi ditanggung oleh pabrik gula. Selain itu dalam proses tanam hingga panen, petani masih bisa bekerja di atas lahannya sendiri atau menjadi buruh, pimpinan kerja, atau pengawas (Kompas, 29 Oktober 1991).
Beberapa tahun semenjak TRI diberlakukan banyak pabrik gula mulai goyah akibat akumulasi dari berbagai macam permasalahan yang dideritanya. Apalagi sebagian besar pabrik gula di pulau Jawa mengandalkan tebu rakyat karena hanya sebagian kecil yang memiliki lahan sendiri dalam bentuk Hak Guna Usaha (HGU). Pada masa awal pengorganisasian PTP menjadi PTP Nusantara (1993-1996), sejumlah pabrik gula terpaksa ditutup akibat lahan tebunya tidak dapat memenuhi target. Usia mesin giling yang sudah tua, karena semenjak dinasionalisasikan hampir seluruh mesin tersebut belum pernah diganti. Hal itu membuat sebagian besar pabrik gula di Indonesia berjalan tidak efisien. Kondisi itu menjadi lebih buruk dengan mengalirnya gula impor yang murah, berbeda dengan gula produk dalam negeri yang selalu dibebani biaya produksi yang tinggi sehingga diperlukan kebijakann pemerintah agar gula lokal dapat bersaing di pasar. Akumulasi dari itu semua, sejumlah pabrik gula ditutup atau menurut istilahnya “ditidurkan”.
Di Wilayah Cirebon terdapat beberapa Pabrik Gula yang ditutup, antara lain: Pabrik Gula (PG) Gempol (Palimanan, Kabupaten Cirebon), PG Jatiwangi, dan PG Kadipaten (Kabupaten Majalengka) (Pikiran Rakyat, 17 Mei 2003). “Ditidurkannya” ketiga pabrik gula tersebut, diikuti oleh rasionalisasi bekas karyawannya secara bervariasi. Mulai dari sekedar dialihkan ke bagian atau pabrik gula lain hingga pemutusan hubungan kerja baik melalui keputusan perusahaan maupun atas kehendak pribadi. Hanya saja masa penutupan pabrik-pabrik gula tersebut akan bersifat permanen dan aset-asetnya akan dijual.

Reaksi Petani Tebu terhadap Kebijakan TRI
Pada saat dikeluarkannya Inpres No. 9/1975 mengenai TRI ada sebagian golongan yang berpendapat bahwa, perubahan sistem yang telah mapan tidak akan berjalan dengan mudah, terutama dalam kurun waktu lima tahun ke depan. Selanjutnya TRI berjalan penuh dan membuat terobosan dengan bertambahnya luas areal tanaman tebu. Namun yang menjadi persoalan adalah apakah perubahan sistem tersebut benar-benar menggambarkan tercapainya perubahan status petani yaitu dari kedudukan penerima sewa menjadi manager usaha tani tebu. Faktanya selama lima tahun setelah TRI diberlakukan, keadaannya masih belum menunjukkan kemajuan (Mubyarto, 1994: 84).
Besarnya campur tangan negara dalam program tersebut telah menempatkan TRI sebagai usaha tani berdasarkan kontrak (contract farming). Artinya bentuk organisasi produksinya memiliki dimensi ekonomi politik lebih luas daripada sekadar model interaksi produksi. Prakteknya cenderung bebentuk mobilisasi dan keterpaksaan daripada partisipasi. Semenjak diberlakukannya TRI, menunjukkan 59 persen petani ikut TRI karena faktor mobilisasi, 24 persen karena keterpaksaan, sedangkan petani yang mengikuti program TRI karena partisipasi hanya 17 persen, tanpa mendapat ancaman apa pun dari hegemoni birokrasi (www.hamline.edu/apakabar/baisisdata@acces.digex.net).
Masalahnya, hegemoni negara dan aparatur dalam program TRI dalam prakteknya berkembang menjadi kekuasaan untuk menentukan apa yang realistis di dalam hubungan produksi TRI. Kuatnya hegemoni negara dan hegemoni aparatur yang tidak mampu mengartikulasikan kepentingan petani namun melahirkan kesadaran petani dengan melakukan pembangkangan terselubung dengan sikap menolak ikut program TRI. Pembangkangan terselubung itu menimbulkan pertentangan dengan Inpres No 9/1975 yang menghendaki petani menjadi "tuan" di atas tanahnya sendiri, namun pada kenyataanya petani justru menjadi buruh di atas tanah sendiri. Kondisi seperti itu mengakibatkan petani melakukan pembangkangan terselubung dengan memilih ke luar dari sistem produksi TRI.
Pembangkangan petani TRI merupakan reaksi rasional untuk mempertahankan subsistensinya. Para petani menginginkan sebaiknya Inpres tersebut dicabut agar petani tebu tidak menjadi lebih menderita lagi. Sebagai bukti petani menderita adalah adanya kenyataan bahwa program tersebut telah diselewengkan, sebagai contoh dengan banyaknya lahan petani yang dikuasai oknum-oknum tertentu. Oknum (cukong) tersebut dengan modal yang mereka miliki telah membeli hak petani sebagai peserta TRI. Cukong-cukong tersebut akhirnya mampu menguasai areal TRI berpuluh-puluh hektar bahkan ratusan hektar, sedangkan petani pemilik tanah menjadi kehilangan haknya sebagai tuan diatas tanahnya sendiri (Soemardjan, 1984: 170-174).
Pada dasarnya program TRI tidak lebih dari upaya tani kontrak sehingga sangat merugikan petani. Program itu cenderung membawa kepentingan ekonomi-politik negara atas kebijakan tujuan industri gula secara nasional daripada pemihakan riil kepada nasib petani. Bagi petani tebu, terdapat sejumlah sisi gelap dalam program TRI. Dalam anggapannya, walau kelembagaan TRI distrukturkan dalam organisasi yang maksudnya mendukung program, betapapun tetap menyisakan sisi gelap yang mustahil mereka mengerti. Salah satu sisi gelap itu adalah ketertutupan pabrik gula dalam informasi mengenai jumlah produksi dan nilai rendemen tebu petani. Dalam nota pertanggungjawaban hasil pendapatan (produksi tebu) petani dan biaya yang dibebankan, jumlah produksi tebu per hektar yang mempengaruhi pendapatan petani, tak pernah dicantumkan.
Pembangkangan terselubung muncul dalam berbagai indikator seperti petani tidak bersedia terlibat atau ikut dalam proses produksi tebu. Mulai dari pratanam sampai pascapanen. Petani menyerahkan tanggung jawab proses produksi kepada ketua kelompok, sebagai sikap ketidakpedulian. Kondisi itu merupakan kesempatan bagi petani untuk menyiasati wajib tanam tebu dengan memindahkan ke petak yang kurang subur. Petani juga bisa membiarkan tanaman tebu telantar, sehingga terlambat ditebang dan diangkut, bahkan bisa membiarkan tebu terbakar atau membakarnya sendiri. Petani juga bisa menggiling tebu di pabrik lain. Pembangkangan para petani itu merupakan bentuk alternatif untuk mendapatkan selective incentives material itu untuk mempertahankan subsistensi. Upaya mendapatkan selective incentives yang lebih material daripada ideologis itu menghasilkan wujud counter productive terhadap tindakan kolektif petani sendiri. Alasannya karena hal itu tidak memungkinkan menjalin jaringan kekuatan dengan organisasi politik dari luar desa.
Sebagai bentuk perlawanan, pembangkangan terselubung petani TRI dikategorikan everyday forms of peasant resistance, dan bukan unorganized rural protest apalagi organized rural rebellion. Sebab sebagai bentuk perlawanan, pembangkangan terselubung itu tidak diikat kesadaran kelas, tetapi dipersatukan di dalam kesadaran persamaan pengalaman terjadinya proses marginalisasi dalam sistem produksi TRI (www.apakabar@acces.digex.net). Karena itu, selama Inpres TRI tidak dicabut, petani tebu tetap menderita dan sengsara, sebab dalam prakteknya segala hal menyangkut tebu mulai dari penyediaan lahan, proses tebang dan angkut tebu serta penggilingan diatur dan dikuasai KUD yang ditunjuk pemerintah. Bukan cuma KUD yang berperan tetapi pabrik gula ikut mengurusi semua hal padahal tugas pokoknya hanya menggiling tebu.
Kecemasan terhadap ketidakberhasilan TRI sebenarnya sudah lama dilontarkan. Ketika konsep itu digodok pada 1968-1969, Mubyarto melontarkan antara pilihan melaksanakan sistem sewa warisan kolonial, dengan sistem TRI. Waktu itu juga ada modifikasi sistem sewa yang disebut sistem sewa bagi hasil. Hubungan PG dengan petani dengan praktek sistem sewa waktu itu sedang bermasalah, karena sering terjadi "pertengkaran" antara petani dengan PG tentang penentuan besarnya sewa tanah untuk ditanami tebu. Tapi tampaknya, waktu itu pemerintah bersikap terlalu reaktif, sehingga memutuskan melaksanakan TRI. Dengan asumsi petani mau melaksanakan jika penanaman tebu diberikan kepada petani. Tapi kenyataannya, hingga dicabutnya Inpres tersebut petani TRI tidak meningkat kesejahteraannya sesuai tujuan luhur program TRI.
Akhir dari segala problema Inpres tersebut adalah dengan datangnya era reformasi. Pada masa itu produk hukum berbentuk Inpres tersebut menjadi "mandul". Karena meskipun tidak dicabut, tetapi juga tidak berlaku di masyarakat petani tebu. Sementara itu, produk gula petani dilepas begitu saja di pasaran melalui mekanisme lelang, tanpa banyak campur tangan pemerintah tentang penetapan harga dasar gula. Kurang lebih dua atau tiga periode petani tebu sempat menikmati kebebasan dan merasakan sedikit manisnya tebu yang ditanam. Meskipun kenyataan di lapangan mekanisme lelang masih harus berhadapan dengan para cukong yang memiliki modal kuat.
Setelah kebijakan tersebut (TRI) usai, ternyata bibit inovasi dan kreasi petani tebu muncul. Dengan kesadaran mereka bersatu dalam satu wadah bernama Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) yang didirikan pada 2000 di Solo. Dalam tiga tahun terakhir, APTRI telah menjadi kekuatan yang diperhitungkan oleh para stakeholders industri gula. Dengan sosial turbulency yang dimilikinya, APTRI telah mengubah paradigma kultur petani pasif dengan struktur atas bawah yang kaku dengan menjadi gerakan yang mampu menginternalisasikan value creation di dalam sistem agrobisnis pergulaan nasional sehingga spill over menjadi minimal (Pikiran Rakyat, 20 Mei 2003). Energi sosial petani melalui APTRI telah mengoreksi asumsi yang diagung-agungkan oleh usaha skala besar seperti BUMN. APTRI juga telah mengubah daya tawar petani sehingga insentif yang mereka terima menjadi meningkat.

Krisis Gula Nasional dan Dampaknya terhadap Petani Tebu
Secara sistematik terdapat tiga persoalan penting mengenai industri gula, pertama, internal kultur organisasi dalam pabrik gula yang erat kaitannya dengan perilaku dan struktur sosial, kedua, kultur petani tebu, dan ketiga, yaitu penanganan kebijakan politik pergulaan yang dikeluarkan oleh pemerintah berkaitan dengan ekonomi wilayah, dan hubungannya dengan perekonomian dunia.
Dalam perkembangannya, indutri gula dalam negeri mengalami pasang surut. Kenaikan konsumsi yang lebih cepat daripada meningkatnya produksi gula menyebabkan terdapat banyaknya gula impor yang beredar, dan akibat dari peningkatan impor gula menjadikan Indonesia bergantung terhadap peran luar negeri dan menguras devisa negara. Sejak lama industri gula selalu dihadapkan pada tujuan-tujuan yang bertentangan, di satu sisi berusaha untuk mengejar pendapatan dan sisi lain dibebani tujuan sosial pemerataan kesempatan kerja yang mungkin bertolak belakang dengan tujuan ekonomis. Akibat kebijakan yang bertentangan tersebut menyebabkan adanya beban sosial yang harus ditanggung sangat memberatkan tumbuhnya industri gula yang efisien.
Banyak persoalan mengenai industri gula pada saat menjelang krisis gula nasional. Di antaranya impor gula yang terlalu cepat dan peredaran raw sugar, rendahnya harga gula lokal hingga buruknya kinerja rendemen tebu. Permasalahan aktual yang menyelimuti industri gula pada muaranya harus mampu meningkatkan kesejahteraan petani, namun bukan mustahil masalah-masalah dalam industri gula dapat berulang setiap saat. Masalah gula memang menyangkut kepentingan berbagai pihak, yang satu sama lain saling berbeda, sehingga dalam merumuskan keputusan kebijakan gula menjadi tidak sederhana, selain itu masalah industri gula sudah bersifat multidimensional dan kompleks
Beberapa tahun sejak dilaksanakannya TRI, petani merasakan banyaknya kesulitan yang harus mereka hadapi seputar pengorganisasian penanaman tebu hingga pengankutan hasil panen. Dipisahkannya industri gula dari penanaman tebu yang semula mempunyai maksud agar petani menjadi tuan di atas tanahnya sendiri telah gagal dan tidak membuahkan hasil yang dapat mensejahterakan petani itu sendiri. Puncak kesulitan itu terjadi saat pemerintah Indonesia menandatangani Letter of Intent (LoI) yang pertama dengan IMF (Dana Moneter Internasional) pada 31 Oktober 1997. pada saat itu Bulog yang sebelumnya memonopoli pengadaan produk-produk pokok pangan (dengan membeli produk domestik dan impor) dan sebagai penyangga harga semua komoditas pangan yang strategis diantaranya beras, gula, gandum, kedele, dan minyak goreng telah dikebiri peranannya oleh IMF sehingga Bulog hanya memegang monopoli beras dan gula saja.
Berdasarkan LoI 15 Januari 1998 Bulog hanya memonopoli pengadaan beras saja. Kemudian pada Februari 1998, sesuai dengan kesepakatan antara IMF dan pemerintah Indonesia, maka pemerintah menetapkan bea masuk impor gula sebesar 0 persen. Semenjak itu pasar dalam negeri Indonesia terus diserbu gula impor murah dan pada saat yang hampir bersamaan produksi gula dalam negeri menjadi terpuruk. Jumlah gula impor membengkak dari 1,9 juta ton pada 1999 membengkak hingga 40 persen hanya dalam kurun waktu satu tahun liberalisasi perdagangan. Sebaliknya harga kemerosotan produksi gula lokal mendekati 30 persen dalam kurun waktu yang sama, dari 2,1 juta ton pada 1998 menjadi 1.493.067 ton pada 1999 (Khudori, 2004: 240).
Kondisi seperti itu tampaknya telah membuat semua unsur yang terlibat dalam industri gula mengalami kekalutan. Melihat kenyataan seperti itu maka para petani tebu melakukan asi unjuk rasa beberapa kali sepanjang 1999. Mendapatkan tekanan seperti itu pemerintah nampaknya merubah keputusannya yang semula menetapkan bea masuk impor gula menjadi 25 persen dan untuk rasa petani pun mereda, namun nampaknya hanya sementara.
Seiring dengan menurunnya harga gula di pasar internasional dan depresiasi nilai rupiah terhadap dolar AS, maka instrumen bea masuk sebesar 25 persen tidak banyak berarti. Pada kenyataannya harga gula menjadi tertekan oleh kedatangan gula impor murah. Berbagai unjuk rasa mulai kembali marak, namun berbeda dengan sebelumnya, pada 2000 para petani bergerak di bawah kendali Badan Koordinasi Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (BK-APTRI). Mereka bernegosiasi dengan pemerintah hingga berdialog dengan perwakilan IMF di Indonesia, yang mereka tuding banyak menekan pemerintah, namun cara-cara seperti itu pun tidak banyak membantu. Janji dari pemerintah yang akan memberikan dana bea masuk gula impor sebesar 25 persen kepada stakeholders industri gula tidak pernah terwujud (Khudori, 2004: 241)
Kebijakan pemerintah baik yang dilakukan oleh BUMN (PT Rajawali II), P3GI, Bulog dan lembaga keuangan, lebih difokuskan pada peningkatan produksi tebu lahan sawah. Sejak zaman kolonial Belanda hingga kini, industri gula Jawa mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah dengan asumsi bahwa usaha besar memiliki kapasitas lebih tinggi dari petani, didasari oleh hal itu maka struktur kepemilikan BUMN gula mayoritas dimiliki oleh pemerintah. Posisi petani tetap pada subordinat, dan tidak lebih sebagai “alat produksi”. Hasilnya produktivitas meningkat pada 1980-an, namun pola demikian secara otomatis menekan daya inovasi dan kreasi petani. Krisis ekonomi dan desakan liberarisasi membuat kemampuan kendali pemerintah mengendur. Ketika banyak elemen tidak bisa dikendalikan, produksi gula pun menurun seperti yang terjadi pada 1999.
Ada banyak faktor yang bisa mendongkrak semangat petani tebu dalam menanam tebu kembali, yaitu, pertama, dengan penetapan harga gula yang menarik, namun kenyataannya rasio perkembangan harga gula dibandingkan dengan harga beras terus mengalami kemerosotan, dan kedua mengusahakan agar rendemen hasil tebu bisa memadai, namun hal itu pun pada kenyataanya terus menurun. Jika pada kenyataanya pada 1930-an rendemen tebu berkisar 11,3%, maka pada 1998 hanya berkisar 5,5%. hal itu berkaitan dengan umur pabrik gula beserta mesin-mesinnya yang relatif tua. Jika dikaitkan dengan kualitas tebu dan kualitas tebang, dapat mengakibatkan rendemen gula. Ketiga, produktivitas. Dengan kata lain bahwa dengan ditanamnya tanaman alternatif maka produktivitasnya tumbuh secara positif, seperti halnya penanaman palawija. Sedangkan produktivitas tebu justru negatif. Keempat, Nilai Tukar Petani (NTP) menggambarkan indeks kesejahteraan petani tebu terus menurun, hingga 1999 tercatat sekitar 90,5% (Khudori, 2004: 242).
Salah satu bukti tentang terjadinya krisis gula tersebut yang berimbas pada kondisi ekonomi petani tebu adalah bahwa pada 2002 para petani telah berusaha sekuat tenaga untuk mencapai harga gula lokal yang layak di tengah membanjirnya gula impor di pasaran dalam negeri. Stok gula terpaksa mereka jual untuk keperluan sehari-hari, namun setelah itu harga meningkat tajam. Pada saat itu, untuk mencapai BEP (Break Event Point) sekitar Rp 3.100 per kg terasa sulit sekali bagi petani, banyak diantara mereka yang menjual gula dengan harga di bawah ongkos produksi. Padahal untuk bisa sedikit mendapatkan keuntungan dari harga gula, setidaknya mencapai angka Rp 3.500 per kg para petani hanya bisa mendapatkan keuntungan bersih antara Rp 5 juta hingga Rp 6 Juta per hektar dalam tempo 12 bulan hingga 16 bulan. Namun melihat perkembangan dalam tiga bulan terakhir pada 2003 harga gula di tangan konsumen dapat mencapai Rp 6.000 hingga Rp 6.500 per kg.
Melihat kondisi seperti itu tentunya petani merasa prihatin dan pasrah. Suatu kondisi dan situasi yang dapat membuat mereka sakit hati, karena seharusnya pada saat harga gula meningkat maka merekalah yang lebih layak untuk menikmati hasilnya, namuan kenyataannya justru sebaliknya, stok gula mereka telah diborong para spekulan yang pada akhirnya menikmati keuntungan dari melonjaknya harga gula nasional (Pikiran Rakyat, 13 Mei 2003). Pada 2003 merupakan tahun kritis bagi petani tebu di Wilayah Cirebon, karena kemampuan bertahan dari berbagai persoalan yang diderita oleh petani tebu dalam berbagai segi telah mencapai puncaknya.
-----------------------------------------------------------
[1] Desakan tentang pengambilalihan pabrik gula di wilayah cirebon ternyata telah disuarakan pada 14 mei 1959 oleh Dewan Cabang Serikat buruh Gula (DC-SBG) Jatibarang Indramayu yang merupakan anggota SOBSI (Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia). Isi dari desakannya itu antara lain:
1. Agar pemerintah segera merealisasi Undang-undang nasionalisasi beserta peraturan-peraturannya.
2. Agar perusahaan perkebunan vital milik Belanda yang diambil alih oleh pemerintah supaya dijadikan perusahaan negara. (AKDN, 1959)
[2] PT Rajawali Nusantara Indonesia (Rajawali Nusindo) berasal dari sebuah perusahaan perdagangan hasil bumi yang didirikan di Semarang Jawa Tengah pada tahun 1863 oleh Oei Tjie Sien dengan nama Kian Gwan. Pemerintah mengambil alih perusahaan tersebut pada tahun 1961 dan kemudian pada 12 Oktober 1964 menjadi induk perusahaan dengan nama PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero) (www. Nusindo.com/page 1).
[3] PT PG Rajawali II adalah anak perusahaan PT Rajawali Nusantara Indonesia yang berpusat pengelolaannya di Cirebon Jawa Barat. Semula bernama PT Perkebunan XIV bergerak dalam bidang industri gula dan alkohol. Telah dikelola PT Rajawali Nusantara Indonesia sejak tahun 1989 dan sejak awal tahun 1993 sahamnya seratus persen milik PT Rajawali Nusantara Indonesia. PT PG . Rajawali II mengelola 5 buah pabrik gula dan 1 buah pabrik spiritus yaitu PG Tersana Baru di Cirebon PG Karangsuwung di Cirebon PG Sindanglaut di Cirebon PG Subang di Subang PG Jatitujuh di Cirebon dan PSA Palimanan di Cirebon. Dari ke lima pabrik gula tersebut produksi gula yang dihasilkan rata-rata sampai + 96.500 ton pertahun. [3] PT Rajawali Nusantara Indonesia (Rajawali Nusindo) berasal dari sebuah perusahaan perdagangan hasil bumi yang didirikan di Semarang Jawa Tengah pada tahun 1863 oleh Oei Tjie Sien dengan nama Kian Gwan. Pemerintah mengambil alih perusahaan tersebut pada tahun 1961 dan kemudian pada 12 Oktober 1964 menjadi induk perusahaan dengan nama PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero). PT PG . Rajawali II mengelola 5 buah pabrik gula dan 1 buah pabrik spiritus yaitu PG Tersana Baru di Cirebon PG Karangsuwung di Cirebon PG Sindanglaut di Cirebon PG Subang di Subang PG Jatitujuh di Cirebon dan PSA Palimanan di Cirebon. Dari ke lima pabrik gula tersebut produksi gula yang dihasilkan rata-rata sampai + 96.500 ton pertahun (www. Nusindo. com/PT.PG Rajawali II Cirebon/page 1).
[4] Selain diberlakukannya sistem TRI pada penanaman tebu, terdapat pula sistem tebu rakyat bebas atau TRB yang merupakan usaha penanaman tebu rakyat yang diusahakan di lahan petani dengan manajemen tradisional. Sistem TRB telah dikembangkan oleh petani tebu sejak lama, terutama di daerah Jombang, Madiun, Kediri dan Malang (Jawa Timur), Kudus, Pati, dan Jepara (Jawa Tengah), dan Majalengka (Jawa Barat) (Soetrisno, 1980:83). Dengan adanya dua sistem itu maka terjadi persaingan dalam mendapatkan lahan untuk menanam tebu antara TRI dan TRB. Dengan adanya TRB, pelaksanaan program TRI mengalami kesulitan dalam mendapatkan lahan yang luas untuk penerapan teknologi budidaya secara optimal.

Tidak ada komentar: