Minggu, 13 Januari 2008

INDUSTRI GULA DI CIREBON 1830-2003

Latar Belakang Masalah
Industrialisasi produk gula telah sejak lama dirintis di Indonesia yaitu sejak abad 17-18 (Knight, 1980: 181). Meningkatnya permintaan akan gula di pasar Eropa membuat pemerintah kolonial Belanda mengintensifkan upaya-upaya yang mendorong baik pengusaha Belanda, maupun pengusaha Cina untuk menggarap bisnis di bidang perkebunan tebu. Pada mulanya usaha ini kurang mendapat respon, karena pertimbangan masih rendah nilai keuntungan yang diperoleh, dan keberadaan tenaga kerja (petani) yang mendukung pengerjaan penanaman tebu. Namun, seiring meningkatnya permintaan pasar, inisiatif pemerintah Belanda mulai mendapat sambutan dari para pengusaha. Di samping itu, desakan di dalam negeri Belanda sendiri menuntut proses liberalisasi usaha perkebunan di wilayah koloni, ikut mendorong keterlibatan para pengusaha Belanda untuk ikut menggeluti usaha di bidang perkebunan dan pengolahan gula.
1Luasnya areal di wilayah Cirebon yang masih belum diberdayakan secara ekonomis, dan keterbatasan tenaga kerja, membuat usaha perkebunan gula pertama kali dirintis secara langsung oleh pemerintah Belanda sendiri. Melalui kewenangannya atas tanah-tanah di wilayah koloni, pemerintah Van den Bosch, Belanda melakukan uji coba daya dukung lahan pertanian di wilayah ini, untuk ditanami komoditas gula. Hasil panen yang cukup menjanjikan bagi pengembangan usaha perkebunan, kian menarik investor dan pengusaha.
Di sisi lain, petani di wilayah Cirebon pada 1830 umumnya masih menggeluti pertanian tanaman pangan, yaitu padi. Perkenalan petani dengan komoditas gula relatif merupakan suatu hal yang baru. Budidaya dan teknologi penanaman tebu secara masal mulai dipelajari petani berdasarkan pengawasan dan arahan petugas yang ditunjuk oleh pemerintah Belanda.
Perubahan kebijakan pemerintah Belanda untuk lebih memberikan porsi yang lebih besar terhadap intensifikasi perkebunan tebu, baik langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap kehidupan petani ini. Pembukaan lahan-lahan kosong, rekruitmen pekerja untuk menggarap lahan-lahan perkebunan baru, mendorong terjadinya perpindahan penduduk (petani), ke wilayah-wilayah tersebut.
Perjalanan waktu menunjukkan industri gula di Cirebon telah melewati waktu hampir dua abad. Berbagai peristiwa mewarnai perjalanan industri gula di wilayah Cirebon. Perpindahan penguasaan wilayah koloni dari Belanda ke tangan Inggris, kembalinya wilayah koloni di bawah kekuasaan Belanda, perpindahan ke penguasaan Jepang pada periode 1942–1945, periode kemerdekaan, nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik asing ke tangan pemerintah RI, hingga kebijakan pemerintah RI melalui kebijakan PIR (Perkebunan Inti Rakyat), merupakan perjalanan sejarah kehidupan petani tebu dan industri gula di wilayah Cirebon.
Panjangnya perjalanan waktu, ternyata tidak mengubah nasib kehidupan para petani. Peran petani rupanya cenderung menjadi kelompok yang tersisihkan dalam perjalanan sejarah. Mubyarto (1992; 32), menyebut peran petani terbatas hanya sebagai pekerja kasar/buruh. Padahal hidup dan berdirinya industri gula dan perkebunan gula, tidak bisa terlepas dari kontribusi petani. Dengan melihat secara lebih dekat kehidupan petani, bukan hal yang mustahil akan dapat diperoleh pelajaran dan pemahaman yang lebih baik dari suatu proses sejarah, khususnya yang terjadi pada kehidupan petani di Cirebon. Seperti, bagaimana pengaruh penggunaan teknologi baru industri gula (metode penggilingan gula), dan perkebunan gula (penggunaan lori) terhadap infrastruktur kehidupan petani tebu di Cirebon. Di samping itu, kebijakan-kebijakan yang dilahirkan oleh pemerintah Belanda, Inggris, dan Jepang juga ikut menciptakan pola dan tatanan baru dalam kehidupan petani saat itu.
Berdasarkan permasalahan ini, penulis tertarik untuk mengangkat tulisan mengenai “Industri Gula di Cirebon dari Masa Sebelum Nasionalisasi Hingga Krisis Gula Nasional 1830-2003”.

Perumusan Masalah
Untuk memudahkan dalam melakukan penelitian ini, maka penulis menguraikan beberapa permasalahan pokok yang dapat menjadi batasan penelitian. Adapun beberapa permasalahan tersebut sebagai berikut:
1. Mengapa terjadi proses nasionalisasi industri gula di Indonesia
2. Apa yang terjadi pada industri gula nasional setelah terjadinya nasionalisasi perusahaan asing di Indonesia pada 1958.
3. Mengapa terjadi krisis gula nasional ?
Untuk memperjelas permasalahan tersebut maka skripsi itu dibatasi ruang lingkupnya yaitu ketika petani tebu berada dalam lingkungan kekuasaan kolonial hingga zaman kemerdekaan.

Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari penulisan itu adalah untuk mempelajari suatu dinamika petani tebu selama kurun waktu 45 tahun. Untuk itu penulis akan menjelaskannya menjadi beberapa bagian, yaitu penjelasan tentang profil Cirebon, kondisi sosial ekonomi petani tebu di wilayah Cirebon, perkembangan industri gula di Cirebon pada masa sebelum nasionalsisasi, dilanjutkan dengan pembahasan mengenai perkembangan petani tebu di Cirebon pada masa sebelum dan sesudah nasionalisasi hingga krisis gula nasional.
Kesemuanya itu dirangkum dalam sebuah perkembangan, di mana kita akan melihat bagaimana petani tebu merupakan faktor yang paling penting di dalam kemajuan industri gula ketika zaman kolonial hingga masa pemerintahan Republik Indonesia. Melalui penelitian ini diharapkan agar kita dapat melihat sebuah dinamika yang bergerak “mundur” dalam aspek sosial ekonomis Indonesia. Karena kehidupan sosial ekonomi petani tebu tidak pernah beranjak dari situasi sulit yang diakibatkan oleh adanya kebijakan-kebijakan penguasa, dari masa kolonial hingga masa sekarang. Selain itu skripsi ini diharapkan dapat menambah perbendaharaan historiografi Indonesia pada umumnya dan khususnya yang berkaitan dengan sejarah sosial ekonomi.

Metode Penelitian
Menurut Kuntowijoyo (1999; 89). Penelitian sejarah mempunyai lima tahapan yaitu: (1) pemilihan topik, (2) pengumpulan sumber atau heuristik, (3) verifikasi atau kriktik sejarah yang bertujuan memproses keabsahan sumber, (4) interpretasi, yang didalamnya mencakup analisis dan sintesis, dan (5) penulisan sejarah atau historiografi.
Setelah menemukan topik yang menarik, maka dalam tahap selanjutnya penulis melakukan heuristik, yaitu tahap mencari dan menemukan sumber, informasi, dan jejak masa lampau. Penulis mengadakan studi kepustakaan ke berbagai perpustakaan, baik tingkat lokal maupun nasional untuk mendapatkan sumber yang dapat memberikan data-data yang penulis perlukan. Sumber-sumber yang berupa buku, surat kabar, dan majalah, penulis dapatkan dari beberapa tempat, di antaranya adalah koleksi Perpustakaan Nasional RI, Jl. Salemba Raya No. 28 A Jakarta Pusat; Perpustakaan Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran, Jalan Raya Bandung-Sumedang Km. 21 Jatinangor; Perpustakaan Pusat Graha Soeria Atmadja Universitas Padjadjaran, Jalan Dipati Ukur No. 46 Bandung; Perpustakaan Wilayah Jawa Barat, Jalan Soekarno Hatta No. 629 Bandung, Arsip Nasional Republik Indonesia, Jalan Ampera Raya Cilandak Jakarta, dan koleksi pribadi. Setelah itu penulis mengadakan survei langsung ke lokasi penelitian untuk mengetahui kondisi sosial ekonomi dan geografis daerah tersebut.
Tahap ketiga adalah verifikasi atau kritik, yaitu proses menyeleksi sumber. Tahapan kritik itu dibagi menjadi dua, yaitu kritik eksternal dan kritik internal. Kritik eksternal berkaitan dengan masalah otentisitas sumber yang diteliti. Apakah otentik atau tidak, utuh atau tidak, dan juga asli atau tidak sumber-sumber yang dipergunakan. Setelah melakukan kritik eksternal, maka dilanjutkan dengan kritik internal. Kritik internal adalah proses penyeleksian data dengan menyelidiki kredibilitas sumber (Kuntowidjoyo, 1999: 99-100).
Tahap keempat adalah tahapan penafsiran data atau interpretasi yang telah dikritik baik berupa analisis maupun sintesis, kemudian dirangkaikan sedemikian rupa sehingga menjadi suatu kesatuan fakta sejarah yang kronologis, ilmiah, dan logis.
Tahap kelima atau tahap terakhir adalah historiografi. Historiografi adalah penulisan sejarah, yaitu tahapan penulisan dengan merangkaikan fakta sebagai hasil interpretasi pada tahap ketiga menjadi sebuah kisah sejarah dalam bentuk tulisan.


Tinjauan Pustaka
Penulisan skripsi ini didasari oleh ketertarikan penulis terhadap pembahasan tentang petani dan indutri gula di wilayah Cirebon. Untuk tulisan itu menjadi sebuah karya yang baik, maka penulis mempelajari beberapa karya yang penulis anggap relevan dan mendukung isi skripsi ini.
Berbicara tentang industri gula, maka secara langsung berhubungan dengan eksistensi sebuah perkebunan tebu yang merupakan salah satu fondasi utama industri gula. Untuk mengetahui sejauh mana peranan dan fungsi perkebunan dalam mendukung perkembangan industri, maka penulis berupaya untuk mempelajari karya yang ditulis oleh Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo, dengan judul “Sejarah Perkebunan di Indonesia”; Kajian Sosial Ekonomi” diterbitkan oleh Aditya Media Yogyakarta. Buku itu menerangkan secara jelas berbagai hal tentang perkebunan termasuk di dalamnya hal-hal yang berkaitan dengan perkebunan tebu. Selain itu buku tersebut juga menjelaskan secara kronologis perkembangan perkebunan di Indonesia, penggambaran perkebunan dari perspektif sejarah, dengan penekanan dari segi latar belakang, pertumbuhan dan perkembangan, serta faktor yang mempengaruhi perkebunan dari masa ke masa.
Perkebunan pada awalnya muncul sebagai sistem perekonomian baru yang belum dikenal, yaitu perekonomian komersial (commercial agriculture) yang tentunya berbeda dengan sistem kebun (garden system). Sistem itu merupakan sistem perekonomian yang dapat membawa perubahan penting terhadap kehidupan masyarakat jajahan (Kartodirdjo dan Suryo, 1991: 3). Namun dalam buku itu tidak dijelaskan secara detail tentang perubahan kehidupan petani tebu dan eksistensi industri gula di wilayah Cirebon sejak zaman kolonialisme hingga zaman republik.
Perkebunan tebu dalam perkembangannya menjadi industri gula tentunya membutuhkan tenaga kerja dalam porsi yang besar. Pengorganisasian tenaga kerja secara struktural dan penguasaan tanah menjadi suatu kebutuhan yang mutlak bagi industri gula. Untuk memahami karakteristik petani tebu khususnya di wilayah Cirebon yang merupakan bekas Keresidenan Cirebon pada masa kolonial, maka penulis menganggap buku Jan Breman dengan judul Penguasaan Tanah Dan Tenaga Kerja Jawa di Masa Kolonial” terbitan LP3S, sangat relevan dengan pembahasan tentang dinamika petani tebu masa kontemporer.
Pembahasan yang telah dilakukan oleh Breman dapat menguatkan latar belakang petani pada masa sekarang, dan tentunya pembentukan pola pikir petani pada saat itu sangat terpengaruh oleh sistem kolonial yang telah menjadi tradisi bagi mereka. Buku itu juga membahas politik perkebunan pemerintah termasuk di dalamnya merupakan perombakan pemilikan tanah di Cirebon pada awal abad ke-20, yang pada dasarnya sangat merugikan petani. Dominasi kepentingan industri gula serta sikap kontradiktif pemerintah kolonial telah menggagalkan tujuan perombakan tanah untuk menumbuhkan kelas petani yang kuat. Jan Breman dalam buku itu telah berusaha mengungkapkan latar belakang dan berlangsungnya usaha yang senantiasa sulit dan berimplikasi politik, namun penjelasan Breman tentang petani tebu di Keresidenan Cirebon terbatas hanya pada zaman kolonial saja.
Karya berikutnya adalah buku yang ditulis oleh Murbyarto dan Daryanti dengan judul “Gula; Kajian Sosial Ekonomi” yang di terbitkan Aditya Media yang bekerjasama dengan Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan dan Kawasan Universitas Gajah Mada. Pada buku itu digambarkan kesulitan-kesulitan yang dihadapi industri gula dalam eksistensinya sejak dari awal bermunculannya pabrik-pabrik gula khususnya di Jawa. Selain buku tersebut terdapat buku lain yang juga ditulis oleh Mubyarto yaitu “Tanah dan Tenaga Kerja Perkebunan: Kajian sosial ekonomi” yang memaparkan kajian sosial ekonomi seputar perkebunan dan tenaga kerja yang berperan sangat dominan dalam kelangsungan sebuah mesin industri, khususnya industri gula.
Tenaga kerja adalah faktor terpenting dalam suatu perkebunan maupun industri gula. Mengingat masalah tenaga kerja terkait dengan fungsi ekonomi dan martabat manusia, maka penangananya justru terasa lebih krusial. Buku itu membantu memberikan informasi yang diperlukan dalam penyusunan skripsi ini. Buku-buku tulisan Mubyarto itu pada umumnya banyak membahas tentang industri gula di Indonesia, namun sangat sedikit pembahasan-pembahasannya mengenai petani tebu dan kondisi sosial ekonomi Wilayah Cirebon, terutama pada masa setelah program TRI (Tebu rakyat Intensifikasi) hingga krisis gula nasional tahun 2003.
Bisnis dan Politik: Kebijakan Ekonomi Indonesia 1950-1980, yang ditulis oleh Yahya A Muhaimin, membahas perkembangan pengusaha Indonesia yang lahir sebagai konsekuensi dari berbagai kebijakan pemerintah Indonesia pada dekade 1950-1980 antara lain nasionalisasi perusahaan-perusahaan swasta asing, dalam hal itu kita bisa melihat pengaruh kebijakan tersebut terhadap individu–individu yang terkait dengan pabrik gula. Pada dasarnya buku itu secara jelas menerangkan kebijaksanaan ekonomi pemerintah Indonesia sejak merdeka hingga zaman Orde Baru, termasuk di dalamnya terdapat pembahasan tentang nasionalisasi perusahaan swasta asing. Namun dalam buku tersebut tidak terdapat pembahasan mengenai proses nasionalisasi industri gula di Cirebon.

Kerangka Pemikiran Teoretis
Kerangka pemikiran teoretis diperlukan dalam penulisan sejarah modern yang memerlukan analisis untuk menjelaskan strukur suatu permasalahan. Penulis sangat menyadari pentingnya hal tersebut untuk karya ilmiah ini, maka dari itu penulis menyertakan beberapa konsep-konsep yang relevan dengan judul dari skripsi ini.
Menurut Bambang Sulistyo (1995: 25), Industri gula meliputi pabrik gula dan perkebunan tebu. Di dalam kompleks pabrik gula terdapat kantor, perumahan pegawai, baik yang mempunyai kemampuan (skill) yaitu orang-orang Barat (Eropa), maupun golongan yang berkemampuan menengah (semiskill) yaitu orang-orang Indonesia (pribumi). Tidak seluruh pegawai (buruh tetap) pribumi mendapat perumahan dan tempat tinggal dalam kompleks pabrik.
Petani tebu yang merupakan salah satu faktor produksi dalam industri gula memiliki peranan yang penting dalam kemajuan industri tersebut. Keterlibatan petani tebu telah membawa perubahan keadaan sosial ekonomis mereka. Oleh karena itu untuk berusaha menganalisis perubahan tersebut perlu adanya suatu pemahaman tentang makna dari perubahan yang dialami oleh para petani tebu di Cirebon dengan pertimbangan bahwa adanya penentuan konsep tentang perubahan sosial ekonomi petani tebu akan memudahkan penulis dalam melakukan penelitian ini.
Dinamika indutri gula kolonial mencapai akhir perjalanannya ketika pemerintah Republik Indonesia berupaya menasionalisasikan perusahaan asing pada kurun 1950-an. Untuk memperjelas pengertian dan pembatasan tentang nasionalisasi perusahaan asing, maka penulis mencantumkan konsep nasionalisasi yang dikutip dari Yahya Muhaimin (1991: 173), yang menjelaskan bahwa nasionalisasi adalah pengalihan hak milik atas harta kekayaan milik seseorang atau seseorang atau suatu badan hukum menjadi milik pemerintah.

1 komentar:

ATMO mengatakan...

idzin melink content ini ya kang untuk situs kasepuhan.com .