Sabtu, 19 Februari 2011

155

Ketika bulan berfikir takkan ada malam hari lagi selepas sore nanti....
Juga air hujan tak tahu arah kemana akan berakhir alirannya....
Seketika tersadar begitu banyak kekeliruan tercipta saat jejak langkah kaki iini melangkah

Ada satu bintang yang tetap menyinari gelap malam langitku ku ini ...
Bintang penuh pesona yang hampir lenyap karna keraguanku.......
Dan juga bintang kecil yang sengaja kututupi kilaunya.......
Takkan bisa ku sangkal aku masih sangat meninginkannya namun tetap aku tutupi angan ini dengan kebohongan dan berharap bintang itu menjadi bidadari tanpa ada aku sang kabut pengahalang kebahagiaannya...

Cahayanya bagaikan senyum terindah yang pernah ku lihat seumur hidup mana mungkin bisa ku berpaling dari itu,,,,
Tak saja ingin memilikinya, membahagiakan, dan juga mengkilapkan dia setiap malam dengan memberi detik-detik indah sepanjang hidupnya...

Sgala tentang keagungannya dan tuntunannya mengabadikan tenangnya rasa ini...
Hanya satu bintang yang bisa...
Bintang dengan liontin buah persik yang kuberikan dengan cinta dan kasih sayang,terjaga hingga kini meski kututpi dengan beribu kebohongan karena aku meyakini tak sebanding dengan lingkaran nebula yang mengelilinginya karena aku hanyalah kabut hitam tebal yang tak tahu arah untuk bersanding dengan cahayanya.

Bintang 10 januari tetap ku rindukan dan tetap ku tunggu di peraduan hingga rasamu untukku kembali bersinar selayaknya malam 155 hari yang lalu........

Minggu, 13 Januari 2008

Industri Gula Di Cirebon Setelah Nasionalisasi Hingga Krisis Gula Nasional 1958-2003

Proses Nasionalisasi 1957-1958

Nasionalisasi Perusahaan Asing
Setelah Indonesia merdeka dan berakhirnya demokrasi parlementer hingga 1957 keamanan dalam negeri memburuk dan pergolakan politik telah mendorong inflasi. Memburuknya keamanan itu disebabkan oleh dua hal penting. Pertama adalah gerakan kedaerahan menentang pemerintahan pusat yang mencapai puncaknya dalam pemberontakan Permesta di Sulawesi dan Pemberontakan PRRI di Sumatera. Pemberontakan kedaerahan itu telah mengacaukan Rencana Lima Tahun. Kedua adalah adanya pengambilalihan perusahaan-perusahaan Belanda pada Desember 1957 setelah kekalahan Indonesia di forum PBB pada 29 November 1957 dalam masalah Irian Barat. Dampak dari kekalahan Indonesia dalam forum PBB tersebut telah mendorong peristiwa-peristiwa yang tidak terduga dan spontan, yaitu banyak perusahaan Belanda yang diambil alih oleh serikat-serikat buruh yang sepenuhnya dikendalikan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Djuanda dan Nasution selaku Kepala Staf Angkatan Darat tidak mampu membendung aksi radikalisme anti Belanda yang dikobarkan oleh Soekarno (Muhaimin, 1991: 40-41).
Perubahan penting dan mendasar dalam bidang politik di Indonesia pada kurun waktu 1957 hingga 1960 ternyata telah mempengaruhi pola kebijakan pemerintah Indonesia di bidang ekonomi antara lain adanya perubahan struktur politik, dari sistem Demokrasi Parlementer menjadi Demokrasi Terpimpin, pencanangan ekonomi terpimpin, dan perjuangan untuk merebut kembali Irian Barat dari tangan Belanda.
Sumber kebijakan pada periode demokrasi terpimpin adalah Deklarasi Ekonomi. Deklarasi ekonomi telah memberikan pengaruh yang penting terhadap langkah-langkah kebijaksanaan pemerintah dalam sektor perekonomian dalam periode 1957 s. D. 1980, isi dari deklarasi itu antara lain.
1. Negara mengkoordinasikan dan mengatur semua kegiatan sektor perekonomian Indonesia. Negara akan mengatur perencanaan dan pengawasan terhadap distribusi kredit, produksi dan inventasi.
2. Penghancuran sisa imprerialisme, dan penempatan modal asing untuk kepentingan kehidupan sosial dan ekonomi. Penempatan modal asing itu diperoleh dengan cara pengambilalihan pinjaman antarnegara, join venture, dan persetujuan bagi hasil produksi.
3. Penggantian ekonomi ekspor/impor kolonial dengan sistem ekonomi yang lebih mampu mencukupi kebutuhan sendiri dan melakukan industrialisasi (Kartodirdjo dan Suryo, 1994: 174).
Setelah terbentuknya deklarasi ekonomi, maka pada saat itu pula pemerintah memiliki dasar untuk melaksanakan usaha pemilikan modal secara langsung dengan jalan mengambil alih perusahaan-perusahaan swasta Belanda yang ada di Indonesia. Proses pengambilalihan perusahaan-perusahaan itu berlangsung sejak Desember 1957, dan dikenal dengan proses “Nasionalisasi” perusahaan asing. Proses nasionalisasi itu berlangsung spontan dan unilateral. Dalam hubungannya dengan peristiwa itu, maka pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No.86, 1958 tentang nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda (LNRI, 1958) .
Bentuk dari perusahaan asing yang dinasionalisasikan adalah perusahaaan yang merupakan badan hukum maupun milik perseorangan yang letaknya berada di wilayah kekuasaan Republik Indonesia. Setelah proses nasionalisasi dilakukan, maka perusahaan-perusahaan itu diubah statusnya menjadi perusahaan negara.
Nasionalisasi perusahaan swasta di Indonesia telah menjadi pukulan bagi investor asing, dan secara mendasar telah mengubah struktur perekonomian bangsa Indonesia. Proses nasionalisasi itu telah melibatkan pengalihan kepemilikan 90% produksi perkebunan, 60% produksi perdagangan luar negeri, 246 pabrik dan perusahaan pertambangan, bank, pelayaran, dan berbagai industri jasa. Perusahaan yang dinasionalisasikan tersebut tidak diserahkan kepada pihak swasta, namun ditangani dalam bentuk perusahaan negara, pertimbangan tersebut didasari oleh kenyataan bahwa perusahaan swasta nasional yang ada pada masa itu dipandang terlalu lemah dalam menangani perusahaan-perusahaan besar bekas Belanda dan membangun perekonomian industri nasional (Kartodirdjo dan Suryo, 1994: 174).
Pada September 1950 telah dibentuk PPN (Perusahaan Perkebunan Negara) yang merupakan perwujudan dari Government’s Landbouw Bedrijven (GLB). PPN tersebut menguasai perusahaan-perusahaan swasta asing yang kalah perang pada Perang Dunia ke-2. Ketika itu perusahaan swasta Belanda tidak masuk dalam kategori tersebut, sehingga para pengusaha Belanda tetap melaksanakan aktivitasnya meskipun pada saat itu telah terjadi peristiwa pendudukan Jepang dan perang kemerdekaan Indonesia.
Perusahaan perkebunan swasta Belanda yang dinasionalisasikan pada 10 Desember 1957 tidak digabungkan dalam PPN yang telah ada sebelumnya namun digabungkan ke dalam organisasi pengelolaan perusahaan negara yang baru, yaitu PPN Baru Pusat. Dengan dibentuknya PPN Baru, maka PPN yang telah ada sebelumnya disebut PPN Lama. Pemerintah pusat dalam hal itu menangani semua perusahaan negara, termasuk di dalamnya dalam hal penentuan harga, investasi, dan produksi. Masing masing badan milik pemerintah yang mengelola bidang-bidang tersebut antara lain, Bappit untuk industri, BUD untuk perdagangan, dan PPN Baru untuk pengelolaan perkebunan. Pembentukan PPN Baru Pusat yang berkedudukan di Jakarta, ditindaklanjuti dengan pembentukan perwakilan-perwakilannya di daerah, untuk menangani pengawasan dan koordinasi semua kegiatan penanganan perkebunan di tingkat daerah. Perwakilan PPN Baru tingkat daerah tersebut terdapat di Medan, Bandung, Semarang, dan Surabaya. Masing-masing menangani wilayah Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Pada 1960, struktur organisasi PPN Baru disempurnakan dengan diadakannya pembagian rayon, dan pre-unit dalam setiap rayonnya. Setiap unit-unit perusahaan dijadikan kesatuan-kesatuan perusahaan-perusahaan negara yang bertugas menyelenggarakan kegiatan produksi. Sementara itu PPN Lama dan PPN Baru Pusat digabungkan menjadi Badan Pimpinan Umum Perusahaan-Perusahaan Negara (BPU-PPN). Hal itu menyebabkan BPU-PPN mempuyai perwakilan di daerah yang sebelumnya merupakan milik PPN Baru Pusat. Sejak terjadi peleburan PPN Lama dengan PPN Baru manjadi PPN Kesatuan, maka PPN Kesatuan terbagi dalam beberapa unit kerja perkebunan, yaitu, unit Aceh, Unit Sumatera Utara I s. d. X, Unit Sumatera Selatan I s. d. II, Unit Jawa Barat I s. d. IV, Unit Jawa Tengah I s. d. V, Unit Jawa Timur I s. d. X dan PPN Perintis, serta unit penelitian (Perkembangan 5 Tahun Perkebunan dalam Kartodirdjo dan Suryo, 1994: 176).
BPU-PPN mengalami reorganisasi pada 1963, dan dibagi menjadi empat kelompok BPU-PPN berdasarkan jenis usahanya, mengingat semakin luasnya usaha yang ditangani pada saat itu. Keempat kelompok BPU-PPN tersebut adalah; BPU-PPN Karet, BPU-PPN Gula, BPU-PPN Tembakau, dan BPU-PPN Aneka Tanaman, yang masing-masing mempunyai kedudukan sebagai badan hukum dan memiliki cabang di daerah masing-masing. Secara keseluruhan BPU-PPN yang terdapat di empat BPU berjumlah 88 PPN. Distribusi PPN tersebut sebagai berikut; BPU-PPN Gula memiliki lima PPN, BPU-PPN Tembakau memiliki tujuh PPN, BPU-PPN Karet memiliki enam belas PPN, BPU-PPN Aneka Tanaman memiliki empat belas PPN, dan PPN Serat berdiri secara terpisah dan memiliki PPN sendiri.
Pada 1968 telah terjadi tiga perubahan penting dalam kelembagaan perkebunan, yaitu, penciutan jumlah PPN dari 88 PPN menjadi 28 PPN, penghapusan BPU masing-masing (PP No. 13, tanggal 27 Maret 1968), dan pembentukan Perusahaan Negara Perkebunan (PNP) (PP no. 14 tanggal 13 April 1969). Selanjutnya setelah perubahan tersebut, terjadi pembentukan Badan Khusus Perusahaan Negara (BKU-PN) pada 1969, yang sekaligus menetapkan pemisahan tugas antara Direktorat Jenderal Perkebunan dan BKU-PNP. Seperti halnya badan-badan yang telah dibentuk sebelumnya, maka tugas BKU-PNP dibantu oleh perwakilan wilayah yang tersebar di Indonesia. Perwakilan tersebut mewakili:
1. BKU-PNP Wilayah I Sumatera dan Aceh yang berkedudukan di Medan.
2. BKU-PNP wilayah Lampung dan Jawa Barat berkedudukan di Bandung.
3. BKU-PNP Wilayah III/ Jawa Tengah berkedudukan di Semarang.
4. BKU-PNP Wilayah IV Jawa Timur yang berkedudukan di Surabaya.
Untuk melancarkan koordinasi kegiatan PNP secara keseluruhan, dan juga sebagai forum pemecahan masalah perkebunan, maka dibentuklah Badan Kerjasama Direksi (BKSD) yang terbagi di tiga kelompok, yaitu, Sumatera dan Aceh, Sumatera Selatan, dan Jawa. Tugas BKSD itu khusus untuk menangani permasalahan gula.
Pada perkembangan selanjutnya, masih pada 1969 terjadi lagi perubahan kelembagaan perusahaan perkebunan, yaitu pengalihan bentuk dari Perusahaan Negara (PN) menjadi Perseroan Terbatas (PT) (UU No. 9/1969 dan PP. No. 12/1969). Proses pengalihan bentuk PN menjadi PT dilakukan secara bertahap dan didasari oleh penilaian dan kelayakan PN tersebut untuk diubah menjadi PT. Tindak lanjut dari perubahan itu, maka diadakan penilaian terhadap 28 PNP yang memungkinkan dijadikan perseroan terbatas (Kartodirdjo dan Suryo, 1994: 177-178).

Nasionalisasi Industri Gula di Cirebon
Pada masa akhir pemerintahan Hindia Belanda, perusahaan pemilik pabrik gula di Keresidenan Cirebon[1] adalah perusahaan swasta asing yaitu NV NILM (Nederland Indische Landbouws Maaschapij), perusahaan yang bergerak dalam bidang perkebunan dan NV NHM (Nederland Handels Maschapij) yang merupakan salah satu bank terbesar milik Belanda. Namun seiring dengan adanya kebijaksanaan perekonomian pemerintah Indonesia tentang nasionalisasi perusahaan asing, maka secara otomatis perusahaan-perusahaan gula yang terdapat di Keresidenan Cirebon pun dinasionalisasikan.
Perusahaan-perusahaan yang dinasionalisasikan tersebut di antaranya adalah pabrik-pabrik gula yang berada di Keresidenan Cirebon meliputi Pabrik Gula (PG) Sindanglaut, PG Karangsuwung, PG Tersana Baru, PG Kadipaten, PG Jatiwangi, dan PG Gempol. Seluruh pabrik tersebut dinasionalisasikan pada 1958 berdasarkan Undang-Undang Nasionalisasi Perusahaan milik Belanda No. 86 tanggal 31 Desember 1958. dan pada 31 Januari 1960 penguasaannya telah diserahkan oleh NV NHM dan NV NILM kepada Pusat Perkebunan Negara Jawa Barat (Daftar Isian Pabrik Gula Tersana Baru, 2003)
Setelah terjadi perubahan susunan PPN Baru menjadi BPU (Badan Pimpinan Umum), maka Badan Pimpinan Umum perusahaan perkebunan tebu di daerah Jawa Barat dinamakan unit gula I dan kepengurusan perkebunan-perkebunan Jawa Barat khususnya pabrik-pabrik gula diserahkan kepada suatu badan yang disebut dengan Unit Gula III. Pada 1961 berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 159 tanggal 26 April 1961 keduanya dilebur menjadi Perusahaan Perkebunan Negara Kesatuan Jawa Barat (PPN Jabar VI). PPN Jabar VI merupakan badan hukum yang dipimpin oleh BPU-PPN sebagai kuasa direksi PPN Jabar VI. PPN Jabar sebenarnya berkedudukan di Bandung namun karena kuasa direksi perusahaan tersebut berada di Cirebon dengan menempati bekas kantor Unit Gula I, maka PPN Jabar VI berpindah ke Cirebon.
Pada 1963 berdasarkan atas Peraturan Pemerintah No.1 tahun 1963 dibentuk perusahaan gula negara. Masing-masing perusahaan gula tersebut adalah badan hukum yang memiliki direksi sendiri. Kemudian pada 1964 sesuai dengan kebijakan pemerintah terjadi perubahan status dari PPN Jabar VI menjadi Badan Pimpinan Umum-PPN, namun perubahan itu tidak berlangsung lama dan BPU-PPN pun dibubarkan. Pada perkembangan selanjutnya perusahaan perkebunan dilebur mejadi Perusahaan Negara Perkebunan (PNP), perubahan itu dilandasi oleh Peraturan Pemerintah No. 14 tanggal 13 April 1968. Dengan adanya kebijakan itu pula seluruh pabrik gula yang beroperasi di Indonesia diubah statusnya menjadi Perusahaan Negara (PN), dan khusus pabrik gula di wilayah Cirebon dinamakan Perusahaan Negara Perkebunan XIV (PNP XIV).
Berdasarkan akte Notaris G. H. Lumban Tobing pada Mei 1981 terjadi peralihan status PPN XIV menjadi Perseroan Terbatas Perkebunan XIV (PTP XIV) di bawah pimpinan direksi. Pada 1989 PTP XIV mengalami peralihan naungan, yang semula PTP XIV berada di bawah departemen Pertanian kini beralih menjadi di bawah naungan Departemen Keuangan dengan manajemen PT Rajawali Nusantara Indonesia[2] (PT RNI) yang merupakan anak perusahaan dari Departemen Keuangan yang berkedudukan di Jakarta, dan demikian terjadi lagi perubahan nama perusahaan gula di Cirebon dengan nama BUMN PT Perkebunan XIV (Persero) dengan menempatkan seorang administratur sebagai pimpinan masing-masing pabrik gula tersebut (Sejarah PG Rajawali II Unit Pabrik Gula Sindanglaut).
Sesuai dengan keputusan Menteri Keuangan RI No. S-386/MK.16/1996 dan juga berdasarkan hasil keputusan RUPS PT Perkebunan XIV (Persero), nama nama pabrik gula tersebut berubah lagi menjadi PG Rajawali II[3] dengan memakai nama unit masing-masing pabrik yang tersebar di seluruh wilayah Cirebon. Kemudian pada 1998 terjadi perubahan nama pimpinan dari semula dengan nama administratur menjadi General Manager (GM) (Diolah dari Daftar Isian Pabrik Gula Rajawali II Cirebon, 2003).

Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) Sebagai Kebijakan Baru Pemerintah Indonesia Paska Nasionalisasi Industri Gula
Setelah terjadinya proses nasionalisiasi perusahaan asing dan belum terlihatnya stabilitas perekonomian di dalam negeri yang menunjukkan keuntungan, maka dalam perusahaan perkebunan tebu telah tercipta organisasi produksi baru yang berguna untuk menyesuaikan perubahan kondisi di pedesaan. Sistem tersebut adalah pemberian kepercayaan kepada petani untuk menjaga tanaman tebu pada lahan yang telah disewakan dan ditanami tebu. Petani kemudian memperoleh pembayaran berupa setengah bagian atau separo harga tebu yang dihasilkannya. Pada perkembangan selanjutnya sistem itu melahirkan sistem tebu rakyat.
Kira-kira pada 1950-an petani kecil tidak mau lagi menggunakan sistem maro, namun cenderung menyewakan tanahnya kepada pabrik, atau menanami tanahnya dengan tebu lalu setelah panen menjualnya ke pabrik gula. Proses aktivitas itu kemudian berkembang dan secara tidak langsung menjadi awal proses terbentuknya sebuah sistem dalam industri gula yaitu sistem tebu rakyat (Kartodirdjo dan Suryo, 1991: 169). Tebu rakyat mulai berkembang dan semakin luas lahannya setelah mendapatkan dukungan dari pemerintah Indonesia melalui Dinas Pertanian Rakyat. Setelah itu terjadi pula peningkatan produksi tebu yang digilingkan ke pabrik gula.
Pada 1955 telah dibentuk Yayasan Tebu Rakyat (Yatra) dengan tujuan untuk mendukung program yang tengah dikembangkan oleh pemerintah pada saat itu. Tugas Yatra adalah berusaha mendorong berkembangnya tebu rakyat dengan cara memberikan bantuan teknis dan kredit untuk mengusahakan tanaman tebu, sedangkan tanggung jawab penanaman tebu tetap berada di tangan petani. Namun dalam prakteknya, Yatra dinilai tidak berjalan efektif, sehingga pada 1964 yayasan tersebut dibubarkan dan pabrik-pabrik kembali menjalankan sistem sewa (Mubyarto dan Daryanti, 1991:14).
Sejak perkebunan dan pabrik-pabrik dinasionalisasikan, pengusahaan perkebunan dilakukan dengan cara sistem sewa. Hal itu didasari oleh kenyataan bahwa dari 55 pabrik yang beroperasi, hanya satu unit pabrik gula yang memiliki tanah konsesi sendiri. Pabrik-pabrik gula yang tidak memiliki tanah konsesi menggantungkan diri pada kesediaan petani untuk menyewakan tanah-tanahnya. Pada umumnya petani tidak merasa keberatan dengan permintaan pabrik gula tersebut asalkan dengan pertimbangan bahwa tingkat harga sewa tanah sebanding dengan hasil yang diperoleh apabila tanah tersebut ditanami padi.
Ketika terjadi periode inflasi yang hebat pada tahun enam puluhan, maka nilai riil dari tanah tersebut menurun secara drastis dan mengakibatkan petani menjadi enggan menyewakan tanahnya lagi. Oleh karena munculnya permasalahan tersebut, maka pemerintah mencoba menerapkan sistem bagi hasil atau sistem sewa dalam bentuk natura, dan dengan seiring perkembangan nilai rupiah yang menunjukkan angka kestabilan maka ada kecenderungan pemberlakuan kembali sewa tanah karena sistem itu lebih sederhana (Mubyarto, 1994: 78).
Dalam perkembangannya, usaha produksi gula dengan sistem sewa tanah dinilai tidak sesuai lagi dengan tujuan pembangunan perekonomian nasional. Ketidaksesuaian tersebut dilatarbelakangi oleh adanya permasalahan kekurangan lahan tebu yang tergusur oleh tanaman tembakau Virginia, sehingga pabrik-pabrik gula mengalami kesulitan dalam memperoleh lahan sewaan dan akibatnya terjadi kemerosotan jumlah produksi tebu. Karena gula merupakan kebutuhan masyarakat yang penting, maka pemerintah memandang perlu dikeluarkannya peraturan pemerintah dalam penentuan dan penunjukan daerah-daerah tertentu untuk penanaman tebu.
Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1960 dan disempurnakan menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1964. Pada hakikatnya, peraturan tersebut menetapkan daerah-daerah tertentu untuk ditanami tebu, dengan pemberian sanksi pidana kepada mereka yang enggan menaatinya (Soemardjan, 1984:53). Berdasarkan peraturan tersebut, para pemilik tanah yang ditunjuk pemerintah seolah tidak mempunyai pilihan lain selain menyewakan tanahnya kepada pabrik gula pada saat mendapat giliran. Namun program itu pun mengalami hambatan yang cukup berarti, yaitu terjadinya penurunan jumlah lahan sewaan. Keadaan itu disebabkan karena turunnya minat petani untuk menyediakan tanahnya bagi tanaham tebu, rendahnya jumlah uang sewa yang ditetapkan pemerintah, dan bila dibandingkan dengan penerimaan petani dari hasil menggarap tanaman padi atau palawija dalam jangka waktu yang sama terasa sangat jauh berbeda.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pada 1975 pemerintah mengeluarkan Inpres Nomor 9 Tanggal 22 April 1975 yang isinya menentukan bahwa untuk selanjutnya tanaman tebu tidak ditanam sendiri oleh pabrik gula namun diserahkan kepada petani untuk dikelola di atas tanahnya sendiri. Program itu dikenal dengan nama Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) dan atas dikeluarkannya program itu setidaknya lebih sesuai dengan isi kandungan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) pasal 10 tahun 1960 yang menghendaki agar tanah pertanian diusahakan secara aktif oleh pemiliknya sendiri (Mubyarto, 1992: 64).
Kebijakan TRI merupakan langkah awal dari perubahan kebijakan usaha di sektor pertanian/perkebunan yang berbasis perkebunan besar menjadi inti rakyat. Dengan berjalannya program tersebut, maka terjadilah perubahan yang mendasar dalam sistem produksi gula Indonesia yang menempatkan petani sebagai pengusaha dan pabrik gula sebagai pengolahnya. Tujuan akhir yang ingin dicapai dari pelaksanaan sistem TRI adalah menjadikan petani tebu sebagai wiraswasta yang mampu berusaha secara mandiri, dalam bentuk kelompok-kelompok tani mapun koperasi petani serta memiliki kekuatan ekonomi (Mubyarto, 1994: 79).
Adapun isi dari ketentuan Inpres TRI yang harus dilaksanakan sebagai berikut:
1. Intensifikasi pada tanaman tebu yang sudah biasa diusahakan oleh rakyat, dan intensifikasi pada tanaman tebu yang diusahakan oleh petani dari masa pratanam hingga pengankutan hasil panen tebu ke pabrik.
2. Agar pelaksanaan intesifikasi tanaman tebu rakyar dapat berjalan dengan baik, maka pabrik gula barperan sebagai pimpinan kerja para petani dalam melakukan penyuluhan, bimbingan teknis pengusahaan tenaman tebu rakyat, penyedia bibit unggul, menyediakan dan melayani sarana kebutuhan produksi serta memberikan petunjuk dan pelayanan dalam pemberian kredit kepada para petani dengan memanfaatkan tenaga-tenaga tetap yang ada di pabrik-pabrik gula.
3. Memenuhi kebutuhan dalam melayani permintaan kredit untuk usaha intensifikasi tanaman tebu rakyat bagi para petani yang memerlukan.
4. Untuk melindungi petanu tebu rakyat dari kemungkinan ijon yang merugikan dan untuk tertibnya pemasaran gula, maka begian hasil yang menjadi hak petani dari tebu miliknya yang digilingkan di pabrik gula diberikan dalam bentuk uang yang nilainya ditentukan sedemikian rupa sehingga menggairahkan usaha intensifikasi tanaman tebu rakyat.
5. Agar dari semula koperasi (BUUD/KUD) diikutsertakan dan dibimbing untuk mengkoordinasikan petani tebu rakyat dalam usahanya meningkatkan produski gula dan meningkatkan penghasilannya (Inpres RI, 1975).
TRI sejak diberlakukannya telah menuai kontroversi dan menjadi sorotan pers. Berbagai persoalan tersebut tidak saja menyangkut pada masa musim tanam di mana masalah bibit, biaya garap, dan pengorganisasian petani dalam produksi menimbulkan berbagai persoalan di lapangan, dan begitu pula pada saat panen, terjadi pula permasalahan dalam giliran tebang, pengangkutan, penetapan rendemen dan pemasaran gula bagian petani. Inpres tersebut bertujuan agar petani dapat mengusahakan sendiri tanaman tersebut di atas lahannya. Upaya itu ditunjang dengan adanya perluasan areal tebu di lahan sawah maupun lahan kering yang terdapat di Jawa maupun luar Jawa. Dengan adanya sistem baru itu, areal tebu mengalami peningkatan.
Dalam kurun waktu 1975 hingga 1980, areal tebu meningkat dari 104.777 ha menjadi 188.722 ha atau meningkat 80.17 persen. Sementara itu produksi gula meningkat dari 1.035.000 ton menjadi 1.249.000 ton atau meningkat 20.69 persen. Namun di sisi lain produktivitas mengalami penurunan kira-kira 5 persen per tahun. Hal itu berarti peningkatan produksi total tersebut hanya diakibatkan adanya peningkatan areal tanaman tebu (Mubyarto dan Daryanti, 1991:17). Produkstivitas yang menurun tersebut disebabkan oleh karena petani lebih mementingkan tanaman pangan, sehingga tanaman tebu menjadi tersampingkan, selain itu petani lebih sering menanam tebu pada lahan yang lebih rendah tingkat kesuburannya.
Sebagai pengusaha, petani tidak dibekali pengetahuan tentang pengusahaan tebu, sehingga kurang terlibat dalam aktifitas penanaman tebu. Dengan kata lain pada saat itu hubungan petani dengan tanaman tebunya tidak memiliki unsur emosional. Hal tersebut menjadikan petani seolah kurang peduli terhadap tanamannya. Di sisi lain pemilihan tanah yang sempit menjadikan kurang efisiennya pengusahaan tebu. Pada akhirnya kondisi seperti itu mengakibatkan terjadinya bentuk-bentuk penyimpangan program TRI yaitu dengan munculnya pengusaha yang menyewa lahan petani tebu. Para pengusaha itu kemudian dikenal secara resmi sebagai petani TRI, namun dalam kenyataanya mereka menyewa tanah petani dengan jangka waktu yang lama.
Sebenarnya kegiatan penyewaan tanah dalam penanaman tebu telah dilarang sejak diberlakukannya Inpres nomor 9/1975, namun secara tidak langsung proses penyimpangan itu tetap berlanjut melalui pengusaha, baik dalam bentuk TRI (dengan Kredit) maupun TRB[4] (non-kredit BRI). Hal yang sangat memprihatinkan pada masa itu adalah semakin banyaknya petani yang menyerahkan tanahnya kepada para pengusaha tebu (cukong) (Soemardjan, 1984: 170-171).
Di masa rezim Orde Baru, TRI dinyatakan sebagai "program nasional". Sebutan yang identik dengan keramat. Kemudian, sebagai sesuatu yang "dikeramatkan", TRI wajib diamalkan dan dilaksanakan. Apabila terdapat petani yang memiliki pola pemikiran yang berseberangan, maka mereka disebut sebagai penghambat pembangunan, atau biasa disebut subversif. Di era TRI, pola glabagan peninggalan tanam paksa dihidupkan kembali. Desa wajib melaksanakan TRI secara bergiliran. Namun, bagi petani gurem yang lahannya di bawah 0,25 hektar, tebu jelas tidak menguntungkan. Belum lagi risiko gagal panen yang bisa berakibat lahan harus dijual. Selain itu, masa tanamnya terlalu lama (18 bulan) dan birokrasi TRI yang berliku masih membutuhkan uang pelicin.
Untuk menghindar dari kewajiban melaksanakan TRI, mereka memilih menyewakan lahannya dan memburuh kepada penyewa. Pada saat lain, mereka berangkat ke kota sebagai kuli bangunan, penarik becak, atau apa saja. Keadaan itu menyebabkan terjadinya penguasaan lahan secara besar-besaran. Pemilik uang dari kota bersekongkol dengan aparat desa, kecamatan, kabupaten, dan pabrik gula untuk menguasai lahan pertanian.
Perbedaan yang terdapat antara sewa tanah dan TRI adalah bahwa dalam sistem TRI lebih banyak pihak yang terlibat, dengan membawa kepentingannya masing-masing. Sektor swasta menjadi lebih penting dalam peranannya melakukan berbagai proses pengangkutan, pemasaran gula bagian petani dan pemberian jasa umumnya dalam bentuk produksi dan pemasaran. Hal yang paling menarik dari sistem TRI itu adalah bertambah besarnya peran pemerintah dalam penyampaian dan penerangan berbagai peraturan pemerintah mengenai penyelenggaraan sistem TRI. Seharusnya pekerjaan pabrik gula menjadi lebih ringan karena tugasnya semata-mata hanya menggiling, namun pada kenyataannya justru sebaliknya pabrik gula menjadi bagian dari pemerintah yang mempunyai tugas memberikan pengarahan tetang TRI kepada petani sekaligus membina petani itu sendiri, dan menjadi anggota terpenting dari satuan-satuan pelaksana program pemerintah yang berhubungan dengan TRI.
Pada umumnya suasana kerja di lingkungan pabrik gula menjadi kurang kondusif sejak diberlakukan sistem TRI. Banyak staf yang menginginkan percepatan pensiun, hal itu merupakan permintaan yang sulit diperkirakan dalam sistem sewa tanah sebelumnya. Ada beberapa pabrik gula yang mempunyai masalah dengan keterbatasan areal penanaman tebu, terpaksa memperoleh subsidi yang sangat besar secara terus-menerus dari pabrik lain yang memiliki efisiensi ekonomi tinggi (Mubyarto, 1994: 80,83). Manajemen pabrik gula sendiri masih tetap seperti saat abad kolonial. Saat panen raya tiba, masalah lama muncul kembali. Ratusan truk pengangkut tebu harus sabar bermalam menunggu giliran membongkar muatannya di pabrik gula. Masalahnya makin bertambah runyam karena oknum pabrik gula ikut "bermain" dalam menekan rendemen tebu rakyat. Belum lagi monopoli pemasaran tetes tebu rakyat oleh pabrik gula.
Memang tidak semua petani menerima ampas tebu semata. Namun, mata rantai TRI, sejak instruksi penanaman tebu hingga panen di kebun maupun penggilingannya di pabrik, telah diubah menjadi pemerasan struktural. Melalui inpres program TRI itu swasembada gula secara nasional memang meningkat. Namun, di sisi lain, tingkat pendapatan petani tidaklah menggembirakan. Pemaksaan-pemaksaan kepada petani untuk menanam tebu sering diikuti unsur power structur dengan latar kepentingan politik birokrasi tertentu yang dapat diindikasikan dengan adanya intimidasi dan stigma "pembangkang", "anti pembangunan", dan "partisipan organisasi terlarang" yang ditujukan kepada petani apabila menolak program TRI.
Banyaknya kendala yang menjadi hambatan bagi pelaksanaan TRI, telah mendorong pabrik-pabrik gula untuk melakukan pengembangan sistem-sistem alternatif dalam upayanya memperoleh lahan yang memadai produktivitas menanam tebu. Salah satu sistem yang dikembangkan adalah program Kerja Sama Operasional (KSO). Sistem KSO lahir sebagai upaya mengatasi terbatasnya lahan TRI, dampak lanjutan dari keterbatasan lahan TRI menyebabkan pabrik gula kekurangan bahan baku dan apabila keadaan itu dibiarkan, maka bukan tidak mungkin pabrik gula akan bangkrut (Kompas, 29 Oktober 1991).
Terdapat dua macam KSO, yaitu KSO pengolahan lahan dan KSO pengadaan bahan baku tebu giling. Dalam KSO jenis pertama, pada awal kerjasama dengan pabrik gula petani menerima IPL (Imbalan Penggunaan Lahan) senilai ku (kwintal) gula yang diperoleh per hektar selanjutnya petani pemilik lahan berkerjasama dengan pabrik gula mengelola lahannya untuk ditanami tebu atas biaya pabrik gula. Pabrik gula menjamin produksi minimal 80ku gula per hektar, dan seandainya produktivitas per hektar tidak mencapai 80 ku maka risiko ditanggung pabrik gula. Sebaliknya apabila produktivitas per hektar mencapai lebih dari 80 ku, petani berhak memperoleh 25 persen dari kelebihannya dan hal itu berlaku pula untuk KSO di lahan sawah, sedangkan KSO lahan tegalan IPL yang berhak diterima petani senilai 8,5 ku hingga 12 ku per hektar.
Pada KSO jenis kedua, pabrik gula memberikan bentuan berupa bibit, pupuk, biaya garap, atau tebang maupun pengangkutan tebu. Besarnya bantuan tersebut sangat bervariasi sesuai dengan kebutuhan petani serta penilaian pabrik gula. Pada saat panen, petani menerima bagian gula setelah dipotong jumlah bantuan pabrik dan ditambah besarnya bunga sekitar 1.5 persen per bulan (Kompas, 29 Oktober 1991).
Seperti halnya TRI, ternyata KSO pun mengalami berbagai permasalahan, antara lain keterbatasan modal yang dimiliki pabrik gula. Namun program KSO itu memiliki keuntungan, di antaranya petani terhindar dari risiko mengalami kerugian, sedangkan pabrik gula memperoleh keuntungan dengan adanya kepastian memperoleh bahan baku yang berkualitas. Secara sepintas program KSO mempunyai kemiripan dengan sistem sewa, namun ada beberapa perbedaan prinsip. Pertama, pada sistem sewa petani tidak terlibat dalam proses produksi, sedangkan dalam program KSO keterlibatan petani dalam proses produksi cukup tinggi. Kedua, dalam sistem sewa tidak ada hak petani untuk menerima kelebihan produksi, sedangkan dalam program KSO petani menerima ¼ kelebihan batas produksi. Ketertarikan petani pada sistem KSO disebabkan adanya IPL dalam jumlah yang pasti dan diberikan pada saat penyerahan lahan. Di samping itu petani tidak dibebankan untuk menanggung resiko apa pun sebab segala biaya produksi ditanggung oleh pabrik gula. Selain itu dalam proses tanam hingga panen, petani masih bisa bekerja di atas lahannya sendiri atau menjadi buruh, pimpinan kerja, atau pengawas (Kompas, 29 Oktober 1991).
Beberapa tahun semenjak TRI diberlakukan banyak pabrik gula mulai goyah akibat akumulasi dari berbagai macam permasalahan yang dideritanya. Apalagi sebagian besar pabrik gula di pulau Jawa mengandalkan tebu rakyat karena hanya sebagian kecil yang memiliki lahan sendiri dalam bentuk Hak Guna Usaha (HGU). Pada masa awal pengorganisasian PTP menjadi PTP Nusantara (1993-1996), sejumlah pabrik gula terpaksa ditutup akibat lahan tebunya tidak dapat memenuhi target. Usia mesin giling yang sudah tua, karena semenjak dinasionalisasikan hampir seluruh mesin tersebut belum pernah diganti. Hal itu membuat sebagian besar pabrik gula di Indonesia berjalan tidak efisien. Kondisi itu menjadi lebih buruk dengan mengalirnya gula impor yang murah, berbeda dengan gula produk dalam negeri yang selalu dibebani biaya produksi yang tinggi sehingga diperlukan kebijakann pemerintah agar gula lokal dapat bersaing di pasar. Akumulasi dari itu semua, sejumlah pabrik gula ditutup atau menurut istilahnya “ditidurkan”.
Di Wilayah Cirebon terdapat beberapa Pabrik Gula yang ditutup, antara lain: Pabrik Gula (PG) Gempol (Palimanan, Kabupaten Cirebon), PG Jatiwangi, dan PG Kadipaten (Kabupaten Majalengka) (Pikiran Rakyat, 17 Mei 2003). “Ditidurkannya” ketiga pabrik gula tersebut, diikuti oleh rasionalisasi bekas karyawannya secara bervariasi. Mulai dari sekedar dialihkan ke bagian atau pabrik gula lain hingga pemutusan hubungan kerja baik melalui keputusan perusahaan maupun atas kehendak pribadi. Hanya saja masa penutupan pabrik-pabrik gula tersebut akan bersifat permanen dan aset-asetnya akan dijual.

Reaksi Petani Tebu terhadap Kebijakan TRI
Pada saat dikeluarkannya Inpres No. 9/1975 mengenai TRI ada sebagian golongan yang berpendapat bahwa, perubahan sistem yang telah mapan tidak akan berjalan dengan mudah, terutama dalam kurun waktu lima tahun ke depan. Selanjutnya TRI berjalan penuh dan membuat terobosan dengan bertambahnya luas areal tanaman tebu. Namun yang menjadi persoalan adalah apakah perubahan sistem tersebut benar-benar menggambarkan tercapainya perubahan status petani yaitu dari kedudukan penerima sewa menjadi manager usaha tani tebu. Faktanya selama lima tahun setelah TRI diberlakukan, keadaannya masih belum menunjukkan kemajuan (Mubyarto, 1994: 84).
Besarnya campur tangan negara dalam program tersebut telah menempatkan TRI sebagai usaha tani berdasarkan kontrak (contract farming). Artinya bentuk organisasi produksinya memiliki dimensi ekonomi politik lebih luas daripada sekadar model interaksi produksi. Prakteknya cenderung bebentuk mobilisasi dan keterpaksaan daripada partisipasi. Semenjak diberlakukannya TRI, menunjukkan 59 persen petani ikut TRI karena faktor mobilisasi, 24 persen karena keterpaksaan, sedangkan petani yang mengikuti program TRI karena partisipasi hanya 17 persen, tanpa mendapat ancaman apa pun dari hegemoni birokrasi (www.hamline.edu/apakabar/baisisdata@acces.digex.net).
Masalahnya, hegemoni negara dan aparatur dalam program TRI dalam prakteknya berkembang menjadi kekuasaan untuk menentukan apa yang realistis di dalam hubungan produksi TRI. Kuatnya hegemoni negara dan hegemoni aparatur yang tidak mampu mengartikulasikan kepentingan petani namun melahirkan kesadaran petani dengan melakukan pembangkangan terselubung dengan sikap menolak ikut program TRI. Pembangkangan terselubung itu menimbulkan pertentangan dengan Inpres No 9/1975 yang menghendaki petani menjadi "tuan" di atas tanahnya sendiri, namun pada kenyataanya petani justru menjadi buruh di atas tanah sendiri. Kondisi seperti itu mengakibatkan petani melakukan pembangkangan terselubung dengan memilih ke luar dari sistem produksi TRI.
Pembangkangan petani TRI merupakan reaksi rasional untuk mempertahankan subsistensinya. Para petani menginginkan sebaiknya Inpres tersebut dicabut agar petani tebu tidak menjadi lebih menderita lagi. Sebagai bukti petani menderita adalah adanya kenyataan bahwa program tersebut telah diselewengkan, sebagai contoh dengan banyaknya lahan petani yang dikuasai oknum-oknum tertentu. Oknum (cukong) tersebut dengan modal yang mereka miliki telah membeli hak petani sebagai peserta TRI. Cukong-cukong tersebut akhirnya mampu menguasai areal TRI berpuluh-puluh hektar bahkan ratusan hektar, sedangkan petani pemilik tanah menjadi kehilangan haknya sebagai tuan diatas tanahnya sendiri (Soemardjan, 1984: 170-174).
Pada dasarnya program TRI tidak lebih dari upaya tani kontrak sehingga sangat merugikan petani. Program itu cenderung membawa kepentingan ekonomi-politik negara atas kebijakan tujuan industri gula secara nasional daripada pemihakan riil kepada nasib petani. Bagi petani tebu, terdapat sejumlah sisi gelap dalam program TRI. Dalam anggapannya, walau kelembagaan TRI distrukturkan dalam organisasi yang maksudnya mendukung program, betapapun tetap menyisakan sisi gelap yang mustahil mereka mengerti. Salah satu sisi gelap itu adalah ketertutupan pabrik gula dalam informasi mengenai jumlah produksi dan nilai rendemen tebu petani. Dalam nota pertanggungjawaban hasil pendapatan (produksi tebu) petani dan biaya yang dibebankan, jumlah produksi tebu per hektar yang mempengaruhi pendapatan petani, tak pernah dicantumkan.
Pembangkangan terselubung muncul dalam berbagai indikator seperti petani tidak bersedia terlibat atau ikut dalam proses produksi tebu. Mulai dari pratanam sampai pascapanen. Petani menyerahkan tanggung jawab proses produksi kepada ketua kelompok, sebagai sikap ketidakpedulian. Kondisi itu merupakan kesempatan bagi petani untuk menyiasati wajib tanam tebu dengan memindahkan ke petak yang kurang subur. Petani juga bisa membiarkan tanaman tebu telantar, sehingga terlambat ditebang dan diangkut, bahkan bisa membiarkan tebu terbakar atau membakarnya sendiri. Petani juga bisa menggiling tebu di pabrik lain. Pembangkangan para petani itu merupakan bentuk alternatif untuk mendapatkan selective incentives material itu untuk mempertahankan subsistensi. Upaya mendapatkan selective incentives yang lebih material daripada ideologis itu menghasilkan wujud counter productive terhadap tindakan kolektif petani sendiri. Alasannya karena hal itu tidak memungkinkan menjalin jaringan kekuatan dengan organisasi politik dari luar desa.
Sebagai bentuk perlawanan, pembangkangan terselubung petani TRI dikategorikan everyday forms of peasant resistance, dan bukan unorganized rural protest apalagi organized rural rebellion. Sebab sebagai bentuk perlawanan, pembangkangan terselubung itu tidak diikat kesadaran kelas, tetapi dipersatukan di dalam kesadaran persamaan pengalaman terjadinya proses marginalisasi dalam sistem produksi TRI (www.apakabar@acces.digex.net). Karena itu, selama Inpres TRI tidak dicabut, petani tebu tetap menderita dan sengsara, sebab dalam prakteknya segala hal menyangkut tebu mulai dari penyediaan lahan, proses tebang dan angkut tebu serta penggilingan diatur dan dikuasai KUD yang ditunjuk pemerintah. Bukan cuma KUD yang berperan tetapi pabrik gula ikut mengurusi semua hal padahal tugas pokoknya hanya menggiling tebu.
Kecemasan terhadap ketidakberhasilan TRI sebenarnya sudah lama dilontarkan. Ketika konsep itu digodok pada 1968-1969, Mubyarto melontarkan antara pilihan melaksanakan sistem sewa warisan kolonial, dengan sistem TRI. Waktu itu juga ada modifikasi sistem sewa yang disebut sistem sewa bagi hasil. Hubungan PG dengan petani dengan praktek sistem sewa waktu itu sedang bermasalah, karena sering terjadi "pertengkaran" antara petani dengan PG tentang penentuan besarnya sewa tanah untuk ditanami tebu. Tapi tampaknya, waktu itu pemerintah bersikap terlalu reaktif, sehingga memutuskan melaksanakan TRI. Dengan asumsi petani mau melaksanakan jika penanaman tebu diberikan kepada petani. Tapi kenyataannya, hingga dicabutnya Inpres tersebut petani TRI tidak meningkat kesejahteraannya sesuai tujuan luhur program TRI.
Akhir dari segala problema Inpres tersebut adalah dengan datangnya era reformasi. Pada masa itu produk hukum berbentuk Inpres tersebut menjadi "mandul". Karena meskipun tidak dicabut, tetapi juga tidak berlaku di masyarakat petani tebu. Sementara itu, produk gula petani dilepas begitu saja di pasaran melalui mekanisme lelang, tanpa banyak campur tangan pemerintah tentang penetapan harga dasar gula. Kurang lebih dua atau tiga periode petani tebu sempat menikmati kebebasan dan merasakan sedikit manisnya tebu yang ditanam. Meskipun kenyataan di lapangan mekanisme lelang masih harus berhadapan dengan para cukong yang memiliki modal kuat.
Setelah kebijakan tersebut (TRI) usai, ternyata bibit inovasi dan kreasi petani tebu muncul. Dengan kesadaran mereka bersatu dalam satu wadah bernama Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) yang didirikan pada 2000 di Solo. Dalam tiga tahun terakhir, APTRI telah menjadi kekuatan yang diperhitungkan oleh para stakeholders industri gula. Dengan sosial turbulency yang dimilikinya, APTRI telah mengubah paradigma kultur petani pasif dengan struktur atas bawah yang kaku dengan menjadi gerakan yang mampu menginternalisasikan value creation di dalam sistem agrobisnis pergulaan nasional sehingga spill over menjadi minimal (Pikiran Rakyat, 20 Mei 2003). Energi sosial petani melalui APTRI telah mengoreksi asumsi yang diagung-agungkan oleh usaha skala besar seperti BUMN. APTRI juga telah mengubah daya tawar petani sehingga insentif yang mereka terima menjadi meningkat.

Krisis Gula Nasional dan Dampaknya terhadap Petani Tebu
Secara sistematik terdapat tiga persoalan penting mengenai industri gula, pertama, internal kultur organisasi dalam pabrik gula yang erat kaitannya dengan perilaku dan struktur sosial, kedua, kultur petani tebu, dan ketiga, yaitu penanganan kebijakan politik pergulaan yang dikeluarkan oleh pemerintah berkaitan dengan ekonomi wilayah, dan hubungannya dengan perekonomian dunia.
Dalam perkembangannya, indutri gula dalam negeri mengalami pasang surut. Kenaikan konsumsi yang lebih cepat daripada meningkatnya produksi gula menyebabkan terdapat banyaknya gula impor yang beredar, dan akibat dari peningkatan impor gula menjadikan Indonesia bergantung terhadap peran luar negeri dan menguras devisa negara. Sejak lama industri gula selalu dihadapkan pada tujuan-tujuan yang bertentangan, di satu sisi berusaha untuk mengejar pendapatan dan sisi lain dibebani tujuan sosial pemerataan kesempatan kerja yang mungkin bertolak belakang dengan tujuan ekonomis. Akibat kebijakan yang bertentangan tersebut menyebabkan adanya beban sosial yang harus ditanggung sangat memberatkan tumbuhnya industri gula yang efisien.
Banyak persoalan mengenai industri gula pada saat menjelang krisis gula nasional. Di antaranya impor gula yang terlalu cepat dan peredaran raw sugar, rendahnya harga gula lokal hingga buruknya kinerja rendemen tebu. Permasalahan aktual yang menyelimuti industri gula pada muaranya harus mampu meningkatkan kesejahteraan petani, namun bukan mustahil masalah-masalah dalam industri gula dapat berulang setiap saat. Masalah gula memang menyangkut kepentingan berbagai pihak, yang satu sama lain saling berbeda, sehingga dalam merumuskan keputusan kebijakan gula menjadi tidak sederhana, selain itu masalah industri gula sudah bersifat multidimensional dan kompleks
Beberapa tahun sejak dilaksanakannya TRI, petani merasakan banyaknya kesulitan yang harus mereka hadapi seputar pengorganisasian penanaman tebu hingga pengankutan hasil panen. Dipisahkannya industri gula dari penanaman tebu yang semula mempunyai maksud agar petani menjadi tuan di atas tanahnya sendiri telah gagal dan tidak membuahkan hasil yang dapat mensejahterakan petani itu sendiri. Puncak kesulitan itu terjadi saat pemerintah Indonesia menandatangani Letter of Intent (LoI) yang pertama dengan IMF (Dana Moneter Internasional) pada 31 Oktober 1997. pada saat itu Bulog yang sebelumnya memonopoli pengadaan produk-produk pokok pangan (dengan membeli produk domestik dan impor) dan sebagai penyangga harga semua komoditas pangan yang strategis diantaranya beras, gula, gandum, kedele, dan minyak goreng telah dikebiri peranannya oleh IMF sehingga Bulog hanya memegang monopoli beras dan gula saja.
Berdasarkan LoI 15 Januari 1998 Bulog hanya memonopoli pengadaan beras saja. Kemudian pada Februari 1998, sesuai dengan kesepakatan antara IMF dan pemerintah Indonesia, maka pemerintah menetapkan bea masuk impor gula sebesar 0 persen. Semenjak itu pasar dalam negeri Indonesia terus diserbu gula impor murah dan pada saat yang hampir bersamaan produksi gula dalam negeri menjadi terpuruk. Jumlah gula impor membengkak dari 1,9 juta ton pada 1999 membengkak hingga 40 persen hanya dalam kurun waktu satu tahun liberalisasi perdagangan. Sebaliknya harga kemerosotan produksi gula lokal mendekati 30 persen dalam kurun waktu yang sama, dari 2,1 juta ton pada 1998 menjadi 1.493.067 ton pada 1999 (Khudori, 2004: 240).
Kondisi seperti itu tampaknya telah membuat semua unsur yang terlibat dalam industri gula mengalami kekalutan. Melihat kenyataan seperti itu maka para petani tebu melakukan asi unjuk rasa beberapa kali sepanjang 1999. Mendapatkan tekanan seperti itu pemerintah nampaknya merubah keputusannya yang semula menetapkan bea masuk impor gula menjadi 25 persen dan untuk rasa petani pun mereda, namun nampaknya hanya sementara.
Seiring dengan menurunnya harga gula di pasar internasional dan depresiasi nilai rupiah terhadap dolar AS, maka instrumen bea masuk sebesar 25 persen tidak banyak berarti. Pada kenyataannya harga gula menjadi tertekan oleh kedatangan gula impor murah. Berbagai unjuk rasa mulai kembali marak, namun berbeda dengan sebelumnya, pada 2000 para petani bergerak di bawah kendali Badan Koordinasi Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (BK-APTRI). Mereka bernegosiasi dengan pemerintah hingga berdialog dengan perwakilan IMF di Indonesia, yang mereka tuding banyak menekan pemerintah, namun cara-cara seperti itu pun tidak banyak membantu. Janji dari pemerintah yang akan memberikan dana bea masuk gula impor sebesar 25 persen kepada stakeholders industri gula tidak pernah terwujud (Khudori, 2004: 241)
Kebijakan pemerintah baik yang dilakukan oleh BUMN (PT Rajawali II), P3GI, Bulog dan lembaga keuangan, lebih difokuskan pada peningkatan produksi tebu lahan sawah. Sejak zaman kolonial Belanda hingga kini, industri gula Jawa mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah dengan asumsi bahwa usaha besar memiliki kapasitas lebih tinggi dari petani, didasari oleh hal itu maka struktur kepemilikan BUMN gula mayoritas dimiliki oleh pemerintah. Posisi petani tetap pada subordinat, dan tidak lebih sebagai “alat produksi”. Hasilnya produktivitas meningkat pada 1980-an, namun pola demikian secara otomatis menekan daya inovasi dan kreasi petani. Krisis ekonomi dan desakan liberarisasi membuat kemampuan kendali pemerintah mengendur. Ketika banyak elemen tidak bisa dikendalikan, produksi gula pun menurun seperti yang terjadi pada 1999.
Ada banyak faktor yang bisa mendongkrak semangat petani tebu dalam menanam tebu kembali, yaitu, pertama, dengan penetapan harga gula yang menarik, namun kenyataannya rasio perkembangan harga gula dibandingkan dengan harga beras terus mengalami kemerosotan, dan kedua mengusahakan agar rendemen hasil tebu bisa memadai, namun hal itu pun pada kenyataanya terus menurun. Jika pada kenyataanya pada 1930-an rendemen tebu berkisar 11,3%, maka pada 1998 hanya berkisar 5,5%. hal itu berkaitan dengan umur pabrik gula beserta mesin-mesinnya yang relatif tua. Jika dikaitkan dengan kualitas tebu dan kualitas tebang, dapat mengakibatkan rendemen gula. Ketiga, produktivitas. Dengan kata lain bahwa dengan ditanamnya tanaman alternatif maka produktivitasnya tumbuh secara positif, seperti halnya penanaman palawija. Sedangkan produktivitas tebu justru negatif. Keempat, Nilai Tukar Petani (NTP) menggambarkan indeks kesejahteraan petani tebu terus menurun, hingga 1999 tercatat sekitar 90,5% (Khudori, 2004: 242).
Salah satu bukti tentang terjadinya krisis gula tersebut yang berimbas pada kondisi ekonomi petani tebu adalah bahwa pada 2002 para petani telah berusaha sekuat tenaga untuk mencapai harga gula lokal yang layak di tengah membanjirnya gula impor di pasaran dalam negeri. Stok gula terpaksa mereka jual untuk keperluan sehari-hari, namun setelah itu harga meningkat tajam. Pada saat itu, untuk mencapai BEP (Break Event Point) sekitar Rp 3.100 per kg terasa sulit sekali bagi petani, banyak diantara mereka yang menjual gula dengan harga di bawah ongkos produksi. Padahal untuk bisa sedikit mendapatkan keuntungan dari harga gula, setidaknya mencapai angka Rp 3.500 per kg para petani hanya bisa mendapatkan keuntungan bersih antara Rp 5 juta hingga Rp 6 Juta per hektar dalam tempo 12 bulan hingga 16 bulan. Namun melihat perkembangan dalam tiga bulan terakhir pada 2003 harga gula di tangan konsumen dapat mencapai Rp 6.000 hingga Rp 6.500 per kg.
Melihat kondisi seperti itu tentunya petani merasa prihatin dan pasrah. Suatu kondisi dan situasi yang dapat membuat mereka sakit hati, karena seharusnya pada saat harga gula meningkat maka merekalah yang lebih layak untuk menikmati hasilnya, namuan kenyataannya justru sebaliknya, stok gula mereka telah diborong para spekulan yang pada akhirnya menikmati keuntungan dari melonjaknya harga gula nasional (Pikiran Rakyat, 13 Mei 2003). Pada 2003 merupakan tahun kritis bagi petani tebu di Wilayah Cirebon, karena kemampuan bertahan dari berbagai persoalan yang diderita oleh petani tebu dalam berbagai segi telah mencapai puncaknya.
-----------------------------------------------------------
[1] Desakan tentang pengambilalihan pabrik gula di wilayah cirebon ternyata telah disuarakan pada 14 mei 1959 oleh Dewan Cabang Serikat buruh Gula (DC-SBG) Jatibarang Indramayu yang merupakan anggota SOBSI (Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia). Isi dari desakannya itu antara lain:
1. Agar pemerintah segera merealisasi Undang-undang nasionalisasi beserta peraturan-peraturannya.
2. Agar perusahaan perkebunan vital milik Belanda yang diambil alih oleh pemerintah supaya dijadikan perusahaan negara. (AKDN, 1959)
[2] PT Rajawali Nusantara Indonesia (Rajawali Nusindo) berasal dari sebuah perusahaan perdagangan hasil bumi yang didirikan di Semarang Jawa Tengah pada tahun 1863 oleh Oei Tjie Sien dengan nama Kian Gwan. Pemerintah mengambil alih perusahaan tersebut pada tahun 1961 dan kemudian pada 12 Oktober 1964 menjadi induk perusahaan dengan nama PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero) (www. Nusindo.com/page 1).
[3] PT PG Rajawali II adalah anak perusahaan PT Rajawali Nusantara Indonesia yang berpusat pengelolaannya di Cirebon Jawa Barat. Semula bernama PT Perkebunan XIV bergerak dalam bidang industri gula dan alkohol. Telah dikelola PT Rajawali Nusantara Indonesia sejak tahun 1989 dan sejak awal tahun 1993 sahamnya seratus persen milik PT Rajawali Nusantara Indonesia. PT PG . Rajawali II mengelola 5 buah pabrik gula dan 1 buah pabrik spiritus yaitu PG Tersana Baru di Cirebon PG Karangsuwung di Cirebon PG Sindanglaut di Cirebon PG Subang di Subang PG Jatitujuh di Cirebon dan PSA Palimanan di Cirebon. Dari ke lima pabrik gula tersebut produksi gula yang dihasilkan rata-rata sampai + 96.500 ton pertahun. [3] PT Rajawali Nusantara Indonesia (Rajawali Nusindo) berasal dari sebuah perusahaan perdagangan hasil bumi yang didirikan di Semarang Jawa Tengah pada tahun 1863 oleh Oei Tjie Sien dengan nama Kian Gwan. Pemerintah mengambil alih perusahaan tersebut pada tahun 1961 dan kemudian pada 12 Oktober 1964 menjadi induk perusahaan dengan nama PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero). PT PG . Rajawali II mengelola 5 buah pabrik gula dan 1 buah pabrik spiritus yaitu PG Tersana Baru di Cirebon PG Karangsuwung di Cirebon PG Sindanglaut di Cirebon PG Subang di Subang PG Jatitujuh di Cirebon dan PSA Palimanan di Cirebon. Dari ke lima pabrik gula tersebut produksi gula yang dihasilkan rata-rata sampai + 96.500 ton pertahun (www. Nusindo. com/PT.PG Rajawali II Cirebon/page 1).
[4] Selain diberlakukannya sistem TRI pada penanaman tebu, terdapat pula sistem tebu rakyat bebas atau TRB yang merupakan usaha penanaman tebu rakyat yang diusahakan di lahan petani dengan manajemen tradisional. Sistem TRB telah dikembangkan oleh petani tebu sejak lama, terutama di daerah Jombang, Madiun, Kediri dan Malang (Jawa Timur), Kudus, Pati, dan Jepara (Jawa Tengah), dan Majalengka (Jawa Barat) (Soetrisno, 1980:83). Dengan adanya dua sistem itu maka terjadi persaingan dalam mendapatkan lahan untuk menanam tebu antara TRI dan TRB. Dengan adanya TRB, pelaksanaan program TRI mengalami kesulitan dalam mendapatkan lahan yang luas untuk penerapan teknologi budidaya secara optimal.

Kondisi Sosial Ekonomi Petani Tebu di Cirebon Pada Masa Pemerintahan Hindia Belanda

Profil Wilayah
Wilayah Cirebon secara geografis terletak pada 108 400 – 108 480 Bujur Timur dan 60 30’ – 70 00’ Lintang Selatan pada Pantai Utara Pulau Jawa, bagian timur Jawa Barat. Wilayah Cirebon memiliki ketinggian 5 m s.d 3.078 m dpl, beriklim tropis dan mempunyai kandungan tanah jenis Litasol, Aluvial, Mediteran, latosol, Potsolik, Regosol, Gleihumus, dan Grumosol yang sangat mendukung untuk pembudidayaan tanaman tebu. (Kabupaten-kabupaten di Cirebon dalam angka, 2001).
Belanda mengusai daerah Cirebon secara penuh pada 1705, kekuasaan tersebut diperolehnya sebagai bentuk imbalan atas batuan yang telah mereka berikan kepada Pakubuwono I dalam menduduki tahta Mataram. Pada masa itu pula Belanda menjadikan Cirebon sebagai salah satu keresidenannya. Keresidenan Cirebon terbagi menjadi beberapa wilayah, antara lain Indramayu, Gebang, daerah Kesultanan Cirebon, yang meli­puti daerah-daerah yang kemudian menjadi wilayah Kabupaten Cirebon, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Kuningan, serta tanah partikelir di Kandanghaur dan Indramayu; dan daerah Cirebon-Priangan, yang meliputi Galuh, Limbangan, dan Sukapura (Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië, 1917: 475).
Ketika Daendels menjadi Gubernur Jenderal di Jawa, Keresidenan Cirebon telah mengalami beberapa kali reorganisasi. Reorganisasi tersebut terjadi setelah dikeluarkannya peraturan tentang pemerintahan di Wilayah Cirebon atau juga yang disebut dengan Reglement op het beheer van Cheribonesche Landen pada 2 Februari 1809. Peraturan tersebut mengatur tentang prefect, sultan-sul­tan, patih, iuran, rodi dan kewajiban anak negeri, polisi, pembuatan jalan, dan dinas pos. Selain itu peraturan tersebut menetapkan bahwa seluruh kekuasaan politik para sultan di Cirebon telah dicabut, maka baik Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan tidak memiliki kekuasaan lagi, dan kedudukan mereka diubah oleh pemerintah kolonial menjadi pegawai pemerintah.
Berdasarkan peraturan itu pula Cirebon dibagi menjadi dua wilayah. Pada bagian utara dinamakan wilayah Kesultanan Cirebon yang meliputi daerah Cirebon, Kuningan, Indramayu, dan Gebang. Bagian selatan dinamakan Tanah Priangan-Cirebon (Cheribonesche Preanger landen), meliputi daerah Limbangan, Sukapura, dan Galuh. Pada perkembangan selanjutnya, pemerintah kolonial telah menetapkan sebuah keputusan pada 13 Maret 1809 bahwa wilayah Kesultanan Cirebon terbagi atas tiga daerah yang dikepalai oleh sultan yang mempunyai kedudukan yang sederajat dengan bupati, ketiga daerah tersebut adalah: Kuningan-Cirebon, Indramayu, dan Majalengka (Syafirudin, 1993: 260).
Pada 20 Juni 1810 Daendels menghapus prefektur Priangan-Cirebon. Sebagian wilayahnya digabung­kan ke Jakarta menjadi Landdrostambt der Jacatrasche en Preanger Bovenlanden sedangkan Galuh dipinjam­kan kepada Sultan Yogyakarta karena dianggap kurang ber­arti untuk penanaman kopi (Algemeen Verslag 1832; Beschrijving der Grenzen van de Residentie Cheribon 1845 dalam Nugraha, 2000: 25).
Wilayah Keresidenan Cirebon mengalami perubahan ketika Keresidenan Krawang dibentuk pada 2 Maret 1811. Perubahan wilayah itu mengakibatkan Keresidenan Cirebon kehilangan daerah Kandanghaur dan Indramayu karena kedua daerah tersebut dimasukkan ke dalam Keresidenan Krawang. Kemudian pada 1813 wilayah Keresidenan Cire­bon mengalami perubahan kembali ketika Distrik Balubur, Imbanagara, dan Madura yang semula berada di Kabupaten Galuh masuk ke dalam wilayah Keresidenan Cirebon, sedang­kan Keresidenan Cirebon harus menyerahkan Pagerageng dan sebagian Sindangbarang pada Galuh (P. Boomgaard dan A. J. Gooszen dalam Nugraha, 2000: 25).
Setelah kekuasaan Belanda atas Jawa beralih ke tangan Inggris yang diwakili oleh Raffles, maka status administratif Cirebon diubah kembali menjadi bentuk keresidenan. Berkaitan dengan perubahan tersebut, beberapa distrik yang pada mulanya merupakan bagian dari Kesultanan Cirebon beralih statusnya menjadi kabupaten. Pada 1823, Keresidenan Cirebon terdiri atas lima kabupaten, yaitu Cirebon, Kuningan, Maja, Bengawan Wetan, dan Galuh. Namun kurang lebih tiga tahun kemudian Kabupaten Begawan Wetan dihapuskan. Perubahan kembali terjadi pada 1823 ketika Keresidenan Cire­bon menerima kembali Indramayu dan Kandanghaur dari Kere­sidenan Krawang (Regeringsalmanak, 1823 dan 1826 dalam Syafirudin, 1993: 261; Boomgaard dan A.J. Gooszen dalam Nugraha, 2000: 26).
Keresidenan Cirebon pada kurun waktu pelaksanaan Sistem Tanam Paksa (1830-1870) dianggap sebagai daerah yang memiliki populasi memadai untuk perkembangan industri gula, dan dengan adanya pertimbangan bahwa letak Keresidenan Cirebon yang memiliki pelabuhan dapat memudahkan pengangkutan komoditas tersebut ke Eropa. Daerah Cirebon yang merupakan dataran rendah dan banyak memiliki sawah-sawah merupakan daerah yang sangat mendukung untuk penanaman tebu. Dalam periode itu Keresidenan Cirebon terdiri menjadi empat kabupaten, yaitu Kabupaten Cirebon, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Kuni­ngan, Kabupaten Galuh, dan Kabupaten Indramayu (Algemeen Verslag 1832; Beschrijving der Grenzen van de Residentie Cheribon 1845 dalam Nugraha, 2000: 26).
Pada masa setelah kemerdekaan Indonesia dan dihapuskannya sistem keresidenan maka sekarang wilayah Cirebon terdiri dari beberapa kabupaten, antara lain: Kabupaten Cirebon, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Indramayu, dan Kota Cirebon, dengan luas daerah 5.642.569 km2. Wilayah Cirebon memiliki batas-batas letak geografis, sebelah timur dan timur laut berbatasan dengan Propinsi Jawa Tengah, di selatan berbatasan dengan Kabupaten Ciamis, di barat berbatasan dengan Kabupaten Subang dan Kabupaten Sumedang, dan di utara berbatasan dengan Laut Jawa (Setyawati, 1982: 11).
Kependudukan
Residen Servatius melaporkan bahwa di Cirebon pada akhir abad ke-18 masih banyak terdapat tanah subur yang tidak tergarap. Hal itu menurutnya merupakan petunjuk bahwa pada saat itu kepadatan penduduk di daerah itu masih sangat rendah. Namun menurut sumber lain bukan berarti tanah-tanah tersebut tidak tergarap sebelumnya. Seperti halnya yang dikemukakan oleh van der Broek (dalam Breman, 1986: 22), yang menyatakan tentang kemunduran keadaan perekonomian penduduk di daerah tersebut disebabkan oleh kemiskinan yang terus memburuk disertai angka kematian yang tinggi serta migrasi keluar daerah yang menyebabkan penurunan jumlah penduduk. Migrasi[1] merupakan hal yang biasa dan lazim dilakukan oleh kaum tani. Hal itu terjadi untuk menghindari cacah jiwa yang biasanya dilakukan untuk menetapkan jumlah pekerja rodi.
Pencatatan tentang kependudukan di Cirebon pada awal abad ke-19 dapat diketahui setelah Daendels membuat keputusan tentang reorganisasi daerah Cirebon pada 1809 yang selanjutnya membagi Cirebon menjadi tiga wilayah. Masing-masing wilayah tersebut dipimpin oleh para sultan. Pembagian wilayah dan jumlah penduduk serta penguasa masing-masing wilayah di Cirebon pada 1809.
Setelah kekuasaan Daendels atas Jawa berakhir maka kekuasaan tersebut pun beralih ke tangan Raffles. Raffles membuat pendataan terhadap jumlah penduduk di Jawa untuk kepentingan pelaksanaan Sistem Pajak Tanah. Hasil dari perhitungan tersebut telah diketahui bahwa pada 1812 penduduk di Keresidenan Cirebon berjumlah 160.100 jiwa dan kemudian pada 1815 jumlah penduduk di Cirebon bertambah menjadi 216.001 jiwa, namun perhitungan 1815 tersebut hanya mencakup divisi Cirebon saja[2]. Berdasarkan pendataan tersebut jumlah kependudukan di Cirebon telah menunjukkan peningkatan dalam periode 1812 hingga 1815
Ketika kekuasaan atas Jawa kembali ke tangan Belanda, maka pendataan mengenai kependudukan pun masih terus dilakukan. Seperti yang telah tercatat pada sumber-sumber pemerintah kolonial pada 1820 hingga 1864 jumlah penduduk di Keresidenan Cirebon mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Pertambahan jumlah penduduk di Keresidenan Cirebon pada kurun waktu tersebut disebabkan oleh pemberlakuan Sistem Tanam Paksa yang memang selalu membutuhkan jumlah pekerja yang sangat banyak untuk perkebunan-perkebunan dan pabrik-pabrik setempat. Data-data mengenai kependudukan tersebut kemungkinan tidak terlalu akurat dengan kondisi yang sebenarnya karena berbagai macam faktor. Namun perkembangan penduduk di Keresidenan Cirebon cenderung mengalami peningkatan dari tahun-tahun berikutnya selama pelaksanaan Sistem Tanam Paksa. Seperti halnya menurut laporan Umbgrove dalam Breman (1986: 47), yang menyatakan bahwa dalam beberapa dasawarsa setelah Sistem Tanam Paksa dilaksanakan di Keresidenan Cirebon, maka daerah itu pun berkembang semakin pesat dan menjadi pemukiman padat penduduk. Hal itu dimungkinkan sebagai akibat dari penanaman tebu yang meluas dan pesat.
[1] Migrasi seperti itu merupakan perlawanan pasif dengan diam-diam membuat semua peraturan pemerintah tidak berjalan (Bergsma dalam Breman, 1986: 29).
[2] Kekuasaan para penguasa Cirebon berakhir ketika Thomas Stamford Raffles berkuasa. Raffles mempensiunkan para penguasa Cirebon itu dengan memberikan uang pensiun. Sejak itu, Kesultanan Cirebon tidak pernah berperan lagi dalam bidang politik dan pemerintahan di Cirebon langsung dilakukan oleh Inggris. Di bawah peme­rintahan Inggris, Cirebon dibagi ke dalam 13 divisi, yaitu Bengawan, Cire­bon, Ciamis, Cikaso, Linggrajati, Gebang, Lossari, Kuningan, Talaga, Sindang­kasih, Rajagaluh, Panjalu, dan distrik hutan (Raffles, 1988: hal. 254-255).Pada 1920 kepadatan penduduk di Sindanglaut dan Losari (Ciledug) mencapai 615 dan 632 tiap kilometer persegi. Hal ini menjadi menarik karena tekanan atas tanah agraria seakan menjadi pemacu meningkatnya kepadatan penduduk di dua daerah tersebut. Hal ini dapat dilihat pada perkembangan kependudukan di daerah yang sama pada sepuluh tahun berikunya, seperti yang terdapat di daerah Losari jumlah penduduknya meningkat menjadi 754 tiap kilometer persegi. Sementara itu pada 1940 daerah Sindanglaut memiliki jumlah penduduk yang telah meningkat menjadi 730 per km2, sedangkan penduduk Losari meningkat menjadi 910 per km2 (Terra dalam Breman, 1986: 48).
Perkembangan jumlah penduduk di Cirebon pada masa kolonial ternyata berkaitan dengan politik pemerintah kolonial Hindia Belanda yang telah menempatkan keluarga besar pada kedudukan terhormat, karena dengan cara seperti itu keluarga besar (sikep) dapat lebih banyak menampung jumlah penumpang (wuwung) di rumahnya demi tersedianya kebutuhan tenaga kerja yang lebih banyak untuk mengolah kerja kerja wajib pertanian maupun kerja wajib lainnya. Tersedianya lahan sawah yang terus meningkat dari tahun-tahun tersebut, baik berupa pembukaan lahan baru maupun karena perubahan lahan kering menjadi tanah basah juga telah menjadi daya tarik lain di daerah tersbut untuk dijadikan sumber penghidupan. Namun pada akhirnya peningkatan jumlah penduduk di Keresidenan Cirebon pada periode kolonial telah menguntungkan pengusaha industri gula yang memang dalam produksinya selalu membutuhkan jumlah pekerja yang sangat banyak.

Kondisi Sosial Ekonomi Petani di Cirebon
Profil Petani Tradisional Cirebon
Menurut Ter’ Haar (dalam van der Kroef 1984: 159-160), masyarakat Jawa tradisional terklasifikasikan secara umum menjadi beberapa golongan sebagai berikut, pertama, kelompok penduduk desa inti yang disebut dengan sikep, baku, gogol atau pribumi. Penduduk desa inti bermukim di suatu tempat sejak secara turun temurun, memiliki tanah, rumah dan halaman, dan juga pekarangan sempit untuk tanaman kebutuhan dapur atau kebun buah-buahan, mempunyai kewajiban penuh sebagai warga desa terutama dalam pelaksanaan pekerjaan perbaikan dan pemeliharaan komunal. Kedua, Kelompok penduduk yang disebut dengan indung, hanya memiliki sebidang tanah pertanian atau rumah halaman dan halaman, namun mereka tidak memiliki keduanya (hanya salah satu), serta mempunyai hak kewajiban komunal yang terbatas. Ketiga, yaitu kelompok penduduk yang disebut dengan wuwungan, nusup, tlosor atau bujang. Mereka tidak memiliki baik itu tanah pertanian maupun rumah dan halaman, namun bertempat tinggal di halaman orang lain, dan bekerja sebagai penyewa atau petani bagi hasil, atau bahkan mereka hidup menumpang dan bekerja untuk pemilik rumah di mana dia tinggal.
Di dalam masyarakat pedesaan di Cirebon[1] kekuasaan tertinggi terletak pada peran kuwu, tugas kuwu tersebut adalah mengatur kerja wajib secara bergiliran serta mengatur kehidupan sehari-hari di desa dengan dibantu oleh beberapa aparat pemerintahan desa lainnya. Para pejabat desa tersebut di antaranya adalah reksa bumi yang mempunyai tugas menjaga batas desa, ngabehi dan ngalambang yang merupakan dua orang wakil kuwu dalam menjalankan roda pemerintahan desa sehari-hari, cap gawe tugasnya adalah mengatur hampir semua urusan desa yang paling pokok di antaranya adalah urusan mengumpulkan masyarakat desa, kabayan atau jurutulis desa, dan lebe yaitu ulama desa (Tjondronegoro dan Wiradi, 1984: 36).
Kedudukan seorang kuwu dan bawahannya adalah bagian dari priyayi (yayi = adik raja), yang merupakan penghubung antara pihak kerajaan dengan rakyat (wong cilik). Kaum elit kerajaan dan priyayi tersebut dibedakan statusnya dari rakyat biasa karena mereka dapat menikmati hasil tanah tanpa harus mengerjakannya sendiri (Moertono dalam Onghokham, 1984: 5).
Selain adanya penguasa lokal yaitu para elit desa (priyayi), maka di Keresidenan Cirebon terdapat pula gologan yang “dikuasai” yaitu masyarakat desa tradisional yang terikat dalam suatu sistem yang dinamakan cacah[2]. Cacah merupakan suatu ikatan hubungan ketergantungan antara keluarga petani pemilik dengan keluarga petani yang tidak memiliki tanah. Tanpa banyak mengadakan perubahan sistem dalam struktur tradisional, sistem cacah tersebut merupakan sistem pengerahan tenaga kerja yang tetap dipertahankan oleh pemerintah (Cahyono, 1991: 13; Breman, 1986: 15-16).
Di dalam sistem cacah tersebut ternyata terdapat perbedaan kelas antar- kaum petani yang didasarkan atas cara-cara petani tersebut menguasai tanah.
Petani penguasa tanah disebut sikep[3] yang merupakan kelas petani penanggung beban atas tanah. Seorang sikep maksimal dapat menguasai sekitar 22 cacah yang tidak memiliki tanah (Cahyono, 1991: 13, Breman, 1986: 15-16).
Selain sikep ada pula golongan tangkong yang merupakan penduduk desa pemilik rumah dan pekarangan namun tidak memiliki tanah kasikepan, dan mereka tidak mempunyai kewajiban dalam melakukan kerja wajib yang menyangkut pertanian namun mereka tetap mempunyai kewajiban untuk melakukan kerja wajib yang berkaitan dengan kepentingan desa.[4]. Tangkong dapat disebut pula sebagai sikep nomor dua. Istilah tersebut dapat pula berarti bahwa tangkong belum sepenuhnya menjadi sikep. Di Cirebon Tangkong merupakan calon utama pemegang hak atas tanah komunal apabila suatu ketika ada pembagian tanah tersebut. Linck (dalam Breman, 1986: 111), menyebutkan bahwa setiap patok kecil yang mereka terima dalam tanah komunal merupakan panjar untuk patok komunal seutuhnya. Namun setelah terjadinya perombakan agraria di Cirebon pada permulaan abad ke-20, maka fasilitas pembagian tanah komunal seperti itu tidak terjadi lagi. Oleh karena itu, pada saat itu para tangkong pun tidak lagi mendapat kesempatan untuk memperbaiki status sosialnya untuk mejadi sikep penuh.
Sikep mempunyai lapisan sosial yang berada di bawahnya yaitu wuwungan atau yang disebut juga dengan bujang apabila belum menikah. Biasanya mereka tinggal di dalam lingkungan keluarga sikep, dan segala kebutuhan hidupnya menjadi kewajiban sikep. Sebagai balasan atas perlindungan yang diperolehnya itu, biasanya kelompok wuwungan akan dimanfaatkan tenaganya oleh sikep untuk melakukan pengolahan tanah miliknya. Petani-petani wuwungan tidak mempunyai kewajiban-kewajiban seperti pajak atau kerja wajib terhadap negara melainkan hanya bekerja untuk sikep-nya. Terkadang sikep menggunakan mereka untuk melakukan kerja wajib bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda[5], sebab semua kewajiban terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda seperti pajak dan kerja wajib dibebankan kepada kaum tani penguasa tanah (Eindresume dalam Onghokham, 1984: 7).
Lapisan wuwungan terbagi menjadi dua macam yaitu pemaro dan tani hamba, perbedaan di antara keduanya terletak pada kemandirian. Petani pemaro mempunyai rumah sendiri walaupun biasanya berada di lingkungan petani pemilik tanah, sedangkan petani hamba tinggal di dalam rumah induk semangnya dan tetap bekerja sebagai orang suruhan. Breman (1986:16), cenderung menyebut golongan pertama sebagai wuwungan dan yang kedua sebagai bujang. Namun seperti yang disebutkan van den Bosch dapat ditarik sebuah kesan bahwa status petani bertanah dan tidak bertanah tersebut merupakan gambaran dari hubungan “penghambaan” yang di masing-masing daerah mempunyai sebutan yang beragam. Selain itu juga ada kemungkinan sebutan-sebutan tersebut didasarkan atas status perkawinan mereka, yang mana para anak-anak muda yang belum menikah (bujang) memulai pekerjaan mereka dengan menjadi hamba sebelum menjadi wuwungan (setelah menikah) pada keluarga (sikep) yang sama maupun yang lain.
Seorang sikep yang berpindah tempat tinggal ke suatu wilayah baru karena alasan terbelit hutang ataupun masalah yang lain, dapat saja menyerahkan jasanya sebagai wuwungan di tempat barunya tersebut. Namun sebaliknya apabila seorang wuwungan berhasil mengumpulkan modal dan membuka tanah di lahan baru dapat mengangkat dirinya menjadi sikep dan bahkan dapat membangun cacah-nya sendiri. Selain itu dapat dimungkinkan juga terjadinya mobilitas vertikal yang mungkin dialami oleh wuwungan melalui jalan adopsi atau perkawinan sehingga wuwungan menjadi golongan sikep (van Deventer dalam Breman, 1986:17).
Di samping berstatus sikep, mereka juga umumnya merupakan cikal-bakal desa. Dalam kedudukan seperti itu mereka berhak dipilih menjadi kuwu atau duduk di dalam pemerintahan desa. Kedudukan-kedudukan seperti itu memiliki banyak keuntungan, yaitu dengan adanya fasilitas tanah bengkok yang merupakan tanah gaji pejabat desa seluas lima hektar untuk kuwu dan sekitar dua hektar untuk aparat desa yang lainnya. Di samping adanya persentase Sistem Tanam Paksa dan hak kerja wajib untuk tanah gaji mereka. Sementara itu pejabat-pejabat desa merupakan pihak-pihak yang paling aktif dalam melakukan penguasaan atas tanah dan kerja wajib bagi desa. Karena tanah yang dimiliki oleh desa biasanya merupakan tanah yang memiliki kualitas terbaik, terlebih apabila tanah tersebut merupakan tanah bengkok (tanah gaji) (Onghokham, 1984: 22).
Tekanan atas tanah dan tenaga kerja di Cirebon pada masa pemberlakuan Sistem Tanam Paksa telah mengakibatkan perubahan-perubahan yang terjadi atas posisi petani. Istilah petani sikep dalam arti penduduk desa dengan hak atas tanah telah hilang dari lingkungan desa dan bertransformasi menjadi kuli (coolie) sebuah istilah yang berarti pekerja tanpa keahlian. Hal itu disebabkan karena semua penduduk desa dengan hak-hak tanah diwajibkan untuk melakukan kerja wajib tanpa kecuali. Transformasi tersebut merupakan gambaran peralihan orientasi petani tradisonal dari pertanian sawah menjadi petani tanaman ekspor pada masa Sistem Tanam Paksa dan akhirnya menjadi seorang kuli industri setelah kehilangan tanah mereka.
Pada permulaan abad ke-20, ciri penting masyarakat tani di Jawa yang terbagi ke dalam kelas-kelas yang didasarkan pada kepemilikan tanah tetap berlaku di pedesaan. Masyarakat itu pada hakikatnya terbagi menjadi dua golongan. Golongan pertama, yaitu golongan manyarakat desa yang memiliki kesempatan untuk menjadi pemegang hak penggarapan tanah komunal. Golongan itu umumnya disebut sebagai sikep, kuli kenceng, kuli kendo, dan sebagainya. Golongan kedua yaitu golongan yang tidak mempunyai hak apapun atas tanah. Umumnya mereka itu disebut dengan wuwungan, bujang, tlosor, dan sebagainya.
Kelas sosial mayarakat pedesaan di Keresidenan Cirebon pada permulaan abad ke-20 pun tidak berubah seputar keberadaan sikep, tangkong, dan wuwung. Namun kuantitas petani tidak bertanah di daerah tersebut menjadi lebih besar dari tahun-tahun sebelumnya. Sebagian besar dari mereka bekerja sebagai penggarap tanah orang lain, baik menjadi buruh tani maupun penyewa. Hal ini terjadi kemungkinan diakibatkan oleh adanya perombakan agraria yang memaksa para tankong kehilangan kesempatan mendapatkan pembagian tanah komunal dan hal ini juga berarti telah berkurangnya pula kesempatan bekerja yang menyangkut dengan tanah karena besar kemungkinan bagi mereka yang telah kehilangan tanah menjadi pekerja di sektor non-pertanian seperti menjadi buruh di pabrik-pabrik penggilingan tebu. Hal seperti itu dapat pula dijadikan petunjuk mengenai penurunan penduduk pekerja pertanian pada 1905 dan 1930.

Kepemilikan Tanah
Ciri terpenting mengenai struktur pertanahan di Jawa adalah dengan terdapatnya berbagai macam bentuk kepemilikan tanah yang didasarkan atas konsep tradisional. Sebelum 1870, konsep-konsep Barat tentang kepemilikan tanah tidak dikenal oleh masyarakat Jawa. Bahkan setelah 1870 pun ketika istilah “pemilikan perorangan” dan “pemilikan komunal” mulai diperkenalkan tetapi dalam kenyataannya berbagai bentuk kepemilikan tanah tradisional tetap dijalankan.
Beberapa bentuk kepemilikan tanah tradisional menurut Gunawan Wiradi (1984: 293-294) adalah:
a. Tanah yasa, yasan, atau yoso, yaitu tanah yang dimiliki secara turun temurun, dalam artian hak seseorang atas tanah tersebut berasal dari kenyataan bahwa pemilik tanah atau leluhurnyalah yang pertama kali membuka atau mengerjakan tanah tersebut.
b. Tanah norowito, gogolan, pakulen, playangan, kasikepan, dan sejenisnya adalah tanah pertanian milik bersama. Berdasarkan tanah tersebut warga desa dapat memperoleh bagian untuk digarap dengan syarat-syarat tertentu. Untuk memperoleh hak garap tersebut, pada umumnya diperlukan syarat bahwa calon pengggarap tanah sudah menikah, mempunyai rumah dan pekarangan, serta bersedia melakukan kerja wajib desa. Dalam konsep Barat tanah jenis itu disebut sebagai tanah komunal.
c. Tanah titisara, bondo deso, kas desa, adalah tanah milik desa yang biasanya disewakan, disakapkan, dengan mekanisme lelang kepada siapapun yang ingin menggarapnya. Hasilnya dipergunakan sebagai anggaran rutin atau pun pemeliharaan desa, seperti perbaikan jembatan, jalan, dan sebagainya.
d. Tanah bengkok yaitu tanah milik desa yang diperuntukkan bagi pejabat desa yang hasilnya dianggap gaji selama mereka menduduki jabatan tersebut. Tanah bengkok dan tanah titisara dalam konsep Barat dapat digolongkan ke dalam kategori “tanah yang tunduk terhadap pengawasan komunal”.
Sementara Koentjaraningrat (dalam Billah, 1984: 254) menyebutkan bahwa terdapat empat macam kepemilikan tanah di Jawa, yaitu:
a. Sistem milik umum (komunal) dengan pemakaian beralih (norowito),
b. Sistem milik umum dengan pemakaian bergilir (norowito giliran),
c. Sistem milik umum dengan pemakaian tetap (norowito tetep), dan
d. Sistem milik individu yang didapat secara turun temurun (yasa).
Secara pasti memang belum diketahui kapan keempat sistem itu mulai digunakan di Jawa. Namun berdasarkan laporan Meyer Ranneft (dalam Billah,1984: 254), telah disebutkan bahwa pada 1919-1923 di Cirebon dikenal dengan sistem pemilikan komunal yang pertuanannya berada di tangan desa, (seperti tanah bengkok (lungguh), titisara/gedakan/pancen) dan sistem milik individu (yasa). Kepemilikan tanah komunal atas sawah (sawah kasikepan) merupakan pola terpenting yang terdapat di Cirebon Timur, walaupun tidak berarti terdapat di berbagai tempat dalam taraf yang sama. Di bagian barat Keresidenan Cirebon persentase sawah milik perorangan terus menerus meningkat. Hal itu disebabkan oleh latar belakang perkembangan sistem hak tanah di Cirebon Barat yang bertalian dengan tradisi Pasundan mengenai kepemilikan tanah non-komunal (Linck dalam Breman, 1986:77).
Tanah yasa yang dimiliki oleh petani pada saat Undang-Undang Agraria (1870) diberlakukan hanya sekitar dua puluh persen, dua puluh lima persen merupakan tanah bengkok dan tanah desa (titisara) dan sisanya sekitar lima puluh lima persen merupakan tanah komunal. Tanah yasa diperoleh dengan cara melalui hak waris atas tanah itu muncul pada saat pembukaan tanah pertamakali. Tanah yasa akan kembali menjadi milik desa karena dua hal; pertama, apabila tanah tersebut tidak digarap oleh pemiliknya; dan yang kedua, apabila pemilik tanah tersebut meninggal dunia namun tidak meninggalkan ahli waris. Oleh karena itu, sebagai salah satu bentuk kekayaan material, tanah yasa merupakan salah satu komoditas yang berguna untuk kelangsungan hidup petani.
Selain tanah yasa, di pedesaan Cirebon terdapat pula tanah bengkok yang dikuasai oleh para kuwu. Tanah tersebut biasanya dibagi menjadi dua bagian yaitu pertama adalah tanah bengkok untuk para kuwu beserta perangkat desa yang lainnya, dan yang kedua adalah tanah bengkok yang diperuntukkan bagi para penguasa pribumi seperti bupati dan wedana. Tentunya tanah yang dikuasai oleh lapisan sosial itu merupakan tanah dengan kualitas terbaik. Para elit desa berhak mempekerjakan penduduk desa untuk mengolah tanah-tanah bengkok “miliknya”, dan seluruh natura yang dihasilkan dari tanah tersebut menjadi hak penguasa tanah[6] (Cahyono, 1991: 14).
Hak atas tanah petani ternyata harus dibedakan antara tanah usaha dan tanah tempat tinggal. Tanah tempat tinggal di Keresidenan Cirebon merupakan hak milik perorangan yang turun temurun, sedangkan tanah usaha semula adalah tanah komunal dengan sikep tetap maupun sikep bergilir. Namun sesudah adanya perombakan agraria pada 1919-1924 tanah komunal tersebut diubah menjadi tanah dengan hak milik turun-temurun atau tanah komunal dengan sikep tetap. Apabila di suatu desa terdapat kedua jenis tanah tersebut secara bersamaan, maka tanah hak milik perorangan turun temurun itu harus merupakan tanah bukaan baru. Tanah kering (tegalan) pada umumnya merupakan tanah milik perorangan turun-temurun. Di Cirebon Timur (distrik Ciledug dan Sindanglaut) tanah tegalan merupakan tanah komunal. Tanah persawahan yang berada di Kabupaten Cirebon juga merupakan tanah komunal, kecuali tanah di Desa Jagapuralor dan Desa Jagapurakidul (Distrik Arjawinangun). Di kedua desa tersebut tanahnya merupakan milik perorangan secara turun temurun (yasa). Kondisi tersebut dimungkinkan akibat dari pengaruh Kabupaten Indramayu yang memang secara historis tanah persawahannya itu merupakan hak milik perorangan yang turun temurun.
Sebelum adanya perombakan agraria di sebagian onderdistrik di wilayah Arjawinangun, ternyata banyak sikep yang mendapatkan bagian tanah yang cukup luas, namun setelah berjalannya perombakan, tanah luas semacam itu menjadi tidak ada, sebab cara kerja perombakan tersebut bukan hanya mengubah sikep bergilir menjadi sikep tetap namun juga telah meratakan tanah bagian. Hal itu berarti bagian tanah sikep yang semula luas kemudian dipecah menjadi dua bagian. Dengan demikian pemerintah kolonial berharap adanya penambahan jumlah sikep, dan dengan cara tersebut dihasilkan suatu bentuk kelompok petani yang cukup kuat. Tanah desa yang tersisa hanyalah tanah titisara, dan tanah bengkok (Memori Residen Cirebon C.J.A.E.T. Hiljee, 1930).

Industri Gula di Cirebon
Dalam kurun waktu kolonial, industri gula[7] di Jawa telah mengalami tiga periode perkembangan. Periode pertama adalah pendirian industri gula pada abad ke-17 sampai dengan abad ke-18 di sekitar selatan Batavia (Ommelanden). Periode kedua berkisar antara 1830 hingga 1870 atau yang di kenal dengan kurun Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel), dan yang terakhir adalah periode perkembangan ketiga setelah 1870.
Pada periode pertama, industri gula dinilai kurang menguntungkan hal itu disebabkan karena para pengusaha gula belum melihat sisi positif dari industri gula di pasar Eropa, dan juga pada saat itu VOC sebagai organisasi perdagangan menunjukan ketidakmampuannya dalam kompetisi perdagangan gula di Eropa, sehingga produksi gula hanya dihasilkan sebatas yang dibutuhkan saja[8]. Kemudian dalam periode kedua, industri gula telah menunjukkan kemajuan yang baik. Pada saat itu gula telah menjadi konsumsi harian masyarakat Eropa dan hal itu merupakan bukti adanya celah pasar untuk perdagangan gula di level internasional. Celah pemasaran gula di Eropa terjadi karena para investor gula yang sebagian besar berkebangsaan Inggris bangkrut akibat kegagalan investasi di Pamanukan-Ciasem[9]. Periode ketiga perkembangan industri gula di Jawa yang merupakan pelaksanaan eksploitasi pihak swasta atas tanah jajahan terbentuk atas landasan periode kedua yaitu pada kurun Sistem Tanam Paksa.
Sistem Tanam Paksa[10] yang diperkenalkan oleh Johannes van den Bosch pada 1830 mempunyai tujuan utama yaitu mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dari hasil komoditas perkebunan di Jawa yang dapat dijual ke pasaran Eropa. Hasil perkebunan yang dimaksud adalah produk hasil bumi pertanian beserta perangkat pengolahan dasar. Agar dapat bersaing di pasar dunia, maka komoditas hasil Sistem Tanam Paksa harus mempunyai kualitas, mutu yang setara atau lebih baik dan berharga murah dibandingkan dengan komoditas serupa yang diproduksi oleh bangsa lain di dunia.
Untuk mencapai tujuan itu, maka pemerintah kolonial Hindia Belanda merasa perlu membuat pribumi Jawa memproduksi dan mengolah komoditas yang dikehendaki namun dengan biaya seminimal mungkin. Hal itu berarti pemerintah kolonial berusaha menggagas corak produksi yang berjalan terpisah dengan azas-azas pengaturan yang diatur pasar dunia. Dengan kata lain, Jawa dijadikan daerah produksi yang memenuhi kebutuhan sendiri dengan corak masyarakat sosialis modern (van Niel, 2003: 58).
Pada 13 Agustus 1830, Bosch telah menyetujui penanaman tebu dan penggilingan gula di keresidenan-keresidenan yang dianggap potensial bagi indutri gula sepanjang pesisir pantai utara Jawa (Elson, 1978: 37). Terdapat tiga variasi dalam penentuan letak pabrik gula yang dapat dibedakan berdasarkan geografis, yaitu: pola wilayah tengah yang meliputi Cirebon-Pekalongan-Semarang; pola distrik Jepara; dan pola wilayah timur meliputi Surabaya-Pasuruan-Besuki (van Niel, 2003: 58). Hal yang penting dalam penentuan tempat (keresidenan) bagi penempatan industri gula adalah keresidenan yang memiliki jumlah populasi yang memadai. Oleh karena pada saat itu masih sulit mendapatkan pengusaha yang berminat mendirikan pabrik gula berdasarkan kontrak pemerintah, maka penanaman tebu dilakukan dalam skala terbatas di wilayah Cirebon[11]-Pekalongan-Semarang (Cahyono, 1991: 15; Atmosudirdjo, 1983: 2000).



Tanah untuk industri gula
Sistem Tanam Paksa yang diterapkan van den Bosch atas tanah jajahannya berusaha mengambil 1/5 luas lahan tanah yang dikerjakan rakyat untuk ditanami tanaman ekspor yang laku di pasaran Eropa. Tanah tersebut harus dikerjakan oleh rakyat tanpa bayaran di bawah kendali para petugas bangsa Eropa yang ahli di bidang teknis. Hasil tanaman tersebut diserahkan kepada pemerintah yang selanjutnya meyerahkan pengolahannya pada para pengusaha. Ketentuan pelaksanaan Sistem Tanam Paksa dimuat dalam Lembaran Negara (Staatsblad) No. 22, 1834. Di dalam ketentuan tersebut dinyatakan bahwa penyerahan tanah adalah atas dasar persetujuan penduduk, dengan pembebasan pajak bumi bagian tanah yang terkena wajib tanam. Apabila hasilnya melebihi nilai pajak bumi, maka kelebihannya itu akan diberikan pada petani, namun apabila lebih rendah petani tidak memperoleh apapun, dan kegagalan panen yang tebukti bukan karena kelalaian petani menjadi resiko pemerintah.
Bosch sepertinya banyak belajar dari pengalaman Raffles tentang ikatan foedal dan organisasi desa pribumi, maka dia memandang perlu untuk mengembalikan peran mereka sebagai perantara dalam pemungutan hasil bumi dari penduduk. Hal itulah yang menjadi sumber dari penyimpangan dalam pelaksanaan Sistem Tanam Paksa yang telah disebutkan tadi. Dengan alasan untuk memudahkan penanganan, para petugas itu membebankan penyediaan tanah dan tenaga kerja kepada desa dan bukan kepada penduduk secara individual menurut status sosialnya (pemilik tanah dan bukan pemilik tanah). Hal itulah yang kemudian mengakibatkan semakin meluasnya tanah-tanah komunal. Usaha mendapatkan tanah dengan menggunakan ikatan desa itu juga mengakibatkan terjadinya pembagian kewajiban penyediaan atau tanah dan tenaga kerja. Pertukaran tanah sebagian besar terjadi di daerah sekitar pabrik gula. Petani yang tanahnya dijadikan kebun tebu, mendapat ganti lahan sawah di luar areal yang digunakan pabrik gula yang seringkali jauh dari tempat tinggalnya. Usaha perataan beban kewajiban pada akhirnya mendorong terjadinya proses freagmentasi tanah dikalangan penduduk (Kartodirdjo dan Suryo, 1991: 66-67).
Pelaksanaan Sistem Tanam Paksa yang telah mengakibatkan kesengsaraan bagi bangsa pribumi Jawa ternyata banyak menuai kecaman dan mendorong dikeluarkannya Regeerings Reglement pada 1954 (Staatsblad no.2, 1855). Undang-undang tersebut mengatur penyelenggaraan perkebunaan agar tetap memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi Belanda dan juga “melindungi” hak-hak tanah rakyat untuk usaha pertaniannya (Mubyarto, 1992: 35).
Pada ayat 3 Pasal 62 RR 1854 merupakan bagian penting dari usaha perkebunan karena memberikan kesempatan secara resmi kepada modal asing untuk membuka perkebunan dengan sistem sewa. Isi pasal tersebut sebagai berikut:
a. Gubernur jenderal tidak boleh menjual tanah,
b. Dalam larangan tersebut termasuk penjualan tanah-tanah kecil untuk perluasan kota dan desa untuk mendirikan perusahaan-perusahaan,
c. Gubernur jenderal dapat menyewakan tanah dengan peraturan-peraturan perundang-undangan. Tanah-tanah yang telah dibuka dan dikerjakan oleh rakyat atau untuk keperluan lainnya yang termasuk dalam desa, tidak boleh disewakan.
Jangka waktu sewa ditentukan paling lama 20 tahun, kecuali untuk tanaman kelapa jangka waktunya boleh 40 tahun (Harsono, 1986: 17).
Cara persewaan tersebut ternyata tidak terlalu menguntungkan bagi perusahaan-perusahaan perkebunan besar di Hindia Belanda. Hal itu dikarenakan:
a. Jangka waktu sewa selama 20 tahun ternyata terlalu singkat untuk pengusahaan tanaman yang berumur panjang (tanaman keras).
b. Tanah dengan hak sewa tidak dijadikan jaminan kredit yang sangat dibutuhkan oleh para pengusaha.
c. Pemberian tanah dengan hak yang lebih kuat, misalnya dengan hak erfpacht[12] tidak memungkinkan karena terbentur pasal 62 ayat 3 RR yang memberi wewenang kepada gubernur jenderal untuk menyewakan tanah sehingga tidak bisa memberikan hak yang lebih kuat.
d. Menyewa tanah dari rakyat tidak dimungkinkan karena Bijblad nomor 148 melarang penjualan tanah kepada orang asing (bukan pribumi),
e. Jalan lain yaitu melalui perjanjian langsung dengan petani yang disebut dengan leveringscontract sebagaimana tercantum dalam staatsblad no 50, 1938. Dalam ketentuan tersebut petani diwajibkan menanam jenis-jenis tanaman yang telah ditentukan untuk selanjutnya hasil tanaman tersebut dijual kepada pengusaha. Namun hal itu tidak menjamin diperolehnya hasil yang konsisten (Mubyarto, 1992: 36).
Dengan berkembangnya liberalisme para pengusaha swasta mulai menuntut diberikannya kesempatan yang lebih besar dalam usahanya di derah jajahan, terlebih dengan banyaknya penyimpangan selama pelaksaan Sistem Tanam Paksa maka tuntutan-tuntutan tersebut semakin banyak disuarakan. Namun hingga bertahun-tahun tampaknya pemerintah kolonial terlihat kesulitan dalam menemukan penyelesaian untuk permasalahan itu. Masalahnya memang cukup dilematis antara menjamin kepentingan kaum pemodal dan perlindungan hak-hak rakyat atas tanahnya. Pemecahan masalah itu akhirnya baru tercapai pada 1870 dengan lahirnya agrarische wet yang diajukan oleh Menteri Jajahan de Waal.
Dengan berkembangnya liberalisme para pengusaha swasta mulai menuntut diberikannya kesempatan yang lebih besar dalam usahanya di derah jajahan, terlebih dengan banyaknya penyimpangan selama pelaksaan Sistem Tanam Paksa maka tuntutan-tuntutan tersebut semakin banyak disuarakan. Namun hingga bertahun-tahun tampaknya pemerintah kolonial terlihat kesulitan dalam menemukan penyelesaian untuk permasalahan itu. Masalahnya memang cukup dilematis antara menjamin kepentingan kaum pemodal dan perlindungan hak-hak rakyat atas tanahnya. Pemecahan masalah itu akhirnya baru tercapai pada 1870 dengan lahirnya agrarische wet yang diajukan oleh Menteri Jajahan de Waal.
Undang-Undang Agrarische Wet yang dikeluarkan pada 9 April 1870 dalam hal ini menjadi momentum penting yang menjadi dasar utana perkebunan swasta di Indonesia. Pada 1870 pemerintah kolonial tidak lagi melakukan campur tangan terhadap industri gula namun justru memberikan keleluasaan bagi industri gula untuk berkembang melalui perusahaan swasta asing. Perusahaan-perusahaan swasta asing tersebut melakukan hubungan langsung dengan petani pemilik sawah yang subur dan berpengairan. Hubungan sewa tanah antara pabrik-pabrik gula dengan petani itu didasarkan dalam rangka Undang-Undang Agraria 1870 yang menandai bahwa Indonesia telah terbuka bagi penanaman modal asing secara besar-besaran (Mubyarto, 1994: 78).
Banyak persoalan yang diakibatkan dari penerapan teknologi modern oleh kalangan swasta dalam industri gula itu yaitu kurangnya keterlibatan petani dalam proses produksi gula tebu. Sebagai contoh seiring dengan dibangunnya rel kereta api di Jawa, maka pengangkutan gula tebu dari gudang ke pelabuhan dilakukan dengan kereta api dan tidak lagi menggunakan gerobak sapi. Keadaan tersebut mengakibatkan patahnya backward linkage pabrik gula dengan perekonomian petani tebu.
Masalah lain yang dihadapi oleh pabrik gula swasta di Cirebon adalah bagaimana caranya berunding dengan pemerintah kolonial untuk memperoleh akses ke lahan sawah. Setelah itu pemerintah kolonial memutuskan agar pabrik gula mengatur perundingan dengan masing-masing petani, khususnya dengan kuwu. Keputusan tersebut dikenal dengan Undang-Undang Penyewaan Tanah 1871 (Land Ordinance of 1871) (Mubyarto, 1992: 78).
Undang-Undang Penyewaan Tanah pada mulanya memuat azas-azas penyewaan tanah petani oleh perkebunan tebu. Menurut azas tersebut, tanah pribadi (private land) yang oleh Undang-Undang Agraria Kolonial atau Agrarische Wet diberikan status hak milik, dapat disewa selama dua puluh tahun, tanah yasa selama lima tahun, dan tanah komunal dapat disewa selama pemilik tanah tersebut masih bersedia namun tidak boleh melebihi lima tahun. Dalam setiap kasus penyewaan, segala pajak dan kewajiban kerja yang dikenakan atas tanah tersebut harus dipenuhi oleh petani. Pada 1879 ditambahkan satu pasal lagi yang melarang pihak perkebunan tebu memberi panjar uang sewa untuk lebih dari satu tahun (Yosuo, 1986: 44).
Peraturan tersebut membuka jalan bagi pengusaha perkebunan tebu untuk menyewa tanah sawah yang sangat cocok untuk penanaman tebu dari para petani perorangan melalui sistem kontrak. Namun dalam kenyataannya pihak perkebunan tebu tidak membuat kontrak dengan masing-masing petani. Sebagai contoh, seorang peneliti pada 1880 menyatakan bahwa ketika perjanjian tersebut terjadi, para petani menggabungkan tanah mereka dan bertanggung jawab secara bersama-sama atas tanah tersebut dan biasanya kuwu menjadi saksi atas proses tersebut (Gelpke dalam Yosuo, 1986: 44).
Dalam kenyataannya pula pada 1890 para pengusaha perkebunan menggunakan segala kemampuannya untuk memiliki bidang tanah yang luas dan bersambungan. Untuk memperlancar usahanya itu, mereka memberi premi terhadap kuwu agar dapat mempengaruhi warganya untuk menyewakan tanah miliknya kepada perkebunan tebu. Dalam hal itu penyewaan sawah milik komunal sebenarnya bukan dilakukan oleh pemilik pribadi melainkan oleh kuwu (Burger dalam Yosuo, 1986: 45)
Dari contoh tersebut telah dijelaskan bahwa kontrak sewa tanah tersebut tidak dibuat berdasarkan kesepakatan masing-masing petani yang memiliki tanah, namun dilaksanakan secara kolektif, dan kuwu memerankan posisi penting sebagai perantara. Kontrak semacam itu menjadi lumrah dan banyak terjadi di daerah yang memiliki tanah komunal seperti Cirebon. Khususnya yang terjadi di lingkungan desa yang menyewakan tanahnya untuk perkebunan tebu.
Dalam setiap transaksi penyewaan, pihak perkebunan melakukan perundingan dengan kuwu yang selanjutnya bertanggung jawab untuk meyewakan tanah yang dikontrak. Undang-Undang Sewa Tanah menjadi kertas yang tidak berarti, dan pemerintah kolonial Hindia Belanda pun pada saat itu mulai melakukan perubahan, namun perubahan tersebut hanya sampai pada pembenaran atas keadaan yang sebenarnya, dan tentunya sejalan dengan tujuan-tujuan pihak perkebunan tebu.


Tenaga Kerja untuk Industri Gula
Berdasarkan surat edaran Direktur Tanaman (Directeur de Cultuures) yang ditujukan untuk residen pada 1832 telah disebutkan tentang perlunya pengerahan tenaga kerja, bahan bangunan, dan bahan bakar yang murah untuk membantu para pengusaha pabrik gula. Dalam pelaksanaannya semua pekerjaan yang bersangkutan dengan penanaman tebu telah dilakukan dengan kerja paksa. Sedangkan pada Staatsblad no. 22, 1835 telah ditetapkan bahwa pengerahan tenaga kerja yang berasal dari penduduk desa agar melakukan pengerjaan penanaman, pemotongan, pengangkutan tebu, serta bekerja di pabrik-pabrik gula dengan cara paksaan (Kartodirdjo dan Suryo, 1991: 59)
Usaha pemaksaan dalam aktifitas perekrutan tenaga kerja pada periode Sistem Tanam Paksa untuk perkebunan tebu dapat dibagi menjadi beberapa cara, antara lain:
a. Pada pertengahan 1830, pemerintah kolonial telah melakukan aktivitas perekrutan tenaga kerja. Secara resmi tenaga kerja diserap melalui mekanisme suiker campaign. Untuk tugas perekrutan tenaga kerja[13] tersebut dibebankan kepada para kuwu (kepala desa) yang mempunyai pengaruh besar terhadap warga desanya sehingga dapat berperan sebagai mediator antara pemerintah kolonial dengan masyarakat kaum tani. Untuk memudahkan dalam melaksanakan tugasnya, kuwu melakukan pembagian tanah kasikepan, karena dengan cara itulah tenaga kerja baru dapat diserap. Namun tidak keseluruhan buruh gula mendapatkan hak tanah kasikepan karena ada beberapa kesukaran dalam pembagian tanah tersebut.
b. Dengan memanfaatkan kerja rodi seperti yang telah biasa diperintahkan oleh para bangsawan terhadap rakyatnya. Vitalis menyatakan bahwa setiap harinya para bangsawan dapat mempekerjakan lebih banyak orang untuk kepentingan pribadi dibandingkan untuk pekerjaan Sistem Tanam Paksa.
c. Dengan melakukan perekrutan terhadap orang-orang yang mengingkari kerja wajib. Pekerja itu biasanya berasal dari petani yang tidak memiliki tanah, gelandangan, dan orang-orang yang berkelakuan buruk. Selanjutnya mereka dimasukkan kedalam asrama (barak penampungan) (Umbgrove dalam Breman, 1986: 32). Pada saat itu di Ciledug terdapat sebuah kampung kuli industri yang terbesar di Jawa dengan jumlah pekerja sebanyak 378 keluarga (Bijlage Handelingen dalam Breman, 1986: 32).
d. Pada akhir 1850-an, perkebunan-perkebunan di daerah Sindanglaut dan Losari sudah mengadakan sejumlah kontrak dengan desa-desa sekitar perkebunan untuk mengikat mereka supaya penduduk di desa-desa tersebut menanami sawahnya dengan tebu (Breman, 1986: 33).
Untuk mengetahui jenis-jenis kerja wajib yang diberlakukan pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda ketika berlangsungnya Sistem Tanam Paksa dapat dibagi menjadi empat kategori (Djuliati, 1991:98, Suhartono, 1991:41), yaitu:
a. Kerja wajib umum (heerendiensten)
b. Kerja wajib pancen (pancendiensten)
c. Kerja wajib garap penanaman (cultuurdiensten)
d. Kerja wajib desa (desadiensten, gemeentediensten)
Heerendiensten mencakup pelayanan kerja umum seperti pembuatan maupun perbaikan jalan, pembangunan gedung, penjagaan tawanan dan sebaginya. Pancendiensten meliputi tugas pelayanan kerja pertanian di tanah milik kepala-kepala pribumi. Cultuurdiensten menyangkut pengerahan kerja paksa untuk melakukan pekerjaan pembukaan lahan perkebunan, pembuatan dan perbaikan irigasi, kegiatan penanaman, pemanenan hasil perkebunan ke pabrik pengolahan (tebu) maupun ke tempat penimbunan (kopi, nila), serta pekerjaan-pekerjaan lainnya di perkebunan pemerintah. Desadiensten meliputi jenis kerja untuk kepentingan kepala desa dan bermacam-macam pekerjaan yang berkaitan dengan kepentingan warga desa dan lingkungan desa pada umumnya, namun adakalanya desadiensten dilakukan sebagai penunjang cultuurdiensten seperti pembuatan pabrik, rel untuk lori dan pekerjaan infrastruktur lainnya yang berhubungan dengan pekerjaan penanaman. Hal ini dapat terjadi karena sebagai otoritas tertinggi atas tanah jajahan maka pemerintah kolonial hindia Belanda berhak memberlakukan aturan apapun demi peningkatan produksi gula (Kartodirdjo dan Suryo, 1991: 59).
Pekerjaan di lahan tebu dan pabrik gula ternyata lebih berat dan tidak sebanding dengan tenaga kerja yang tersedia. Hal itu mengakibatkan waktu kerja menjadi dua kali lipat dan juga perhitungan terhadap sewa tanah dilakukan secara berbeda-beda terhadap luas tanah atau jumlah keseluruhan orang yang dibutuhkan. Untuk semua jerih payahnya itu, pekerja jarang memperoleh pembayaran yang layak atas semua jerih payahnya tersebut, sehingga tidak mengherankan apabila Vitalis dalam laporannya pada 1835 menyebutkan bahwa penduduk wilayah itu tidak menetap dalam waktu yang lama namun berpindah-pindah untuk menghindari kerja wajib, dan munculnya gejala ketidakpuasan yang meningkat di kalangan elit desa atas hilangnnya pelayanan kerja personal yang ditimbulkkan olah sistem tersebut. Bagi para elit desa, pelayanan semacam itu dianggap lebih penting dibandingkan dengan memperoleh keuntungan material (van Niel, 2003: 60). Bagi penduduk desa yang merupakan kelas pekerja, sistem tersebut tidak mendorong atau merangsang mereka untuk terlibat dalam usaha penanaman tebu. Untuk mengatasi permasalahan itu, pemerintah dalam dasawarsa terakhir mencoba mengatasi ketidakadilan itu dengan memindahkan tanggung jawab yang lebih besar pada para pengusaha penggilingan. Namun, pada dasarnya sifat kerja wajib yang tidak menyenangkan untuk para petani-pekerja itu tidak berubah sama sekali, insentif pokok dari sistem tersebut justru semakin meningkatkan tekanan sistem kekuasaan tradisional (van Niel, 2003: 61).
Secara bertahap kerja-kerja yang dipaksakan oleh pemerintah kolonial melalui elit desa kepada kaum tani setempat pada penghujung periode Sistem Tanam Paksa telah mulai kehilangan daya magisnya. Hal itu terjadi karena semakin baiknya perekonomian kelas borjuis Belanda, sehingga mereka bisa melakukan tekanan-tekanan kepada pemerintah kolonial untuk melakukan konsesi-konsesi yang lebih luas bagi golongan swasta dalam melakukan investasi. Konsesi pertama dari pemerintah kolonial adalah pemberian kebebasan pada pabrik gula untuk melakukan persetujuan bebas (vrije beschikking) penanaman tebu dengan petani. Maksud dari persetujuan bebas itu adalah mendapatkan produktivitas gula yang lebih banyak. Bagi para pemilik pabrik tindakan itu tentu saja dapat menambah laba usaha penggilingan, karena dengan usaha itu mereka tidak hanya menjual sepertiga hak gula yang didapatkan dari menggiling tebu milik pemerintah kolonial. Mekipun pada awalnya tindakan itu dilakukan secara sembunyi-sembunyi, namun pemerintah kolonial tidak berhak melarangnya, karena paling tidak pihak pemilik pabrik masih menepati janjinya dengan mengerjakan tebu milik pemerintah kolonial. Namun pada pertengahan abad ke-19 pemerintah kolonial secara sadar mulai melepaskan pabrik untuk melakukan penanaman bebas.
Setelah campur tangan pemerintah kolonial berkurang secara drastis, ternyata kerja wajib tetap diperkuat dengan jalur-jalur yang tidak resmi. Pada kesempatan itu para lapisan bawah kaum priyayi berperan sebagai penghubung. Buruh sektor pertanian itu disewa atas dasar-dasar syarat yang mengikat dengan melakukan pembayaran di muka. Semakin berkurangnya pekerjaan pada tanah-tanah pertanian yang tersedia untuk petani pada 1860-1870 ternyata dengan sendirinya menimbulkan lonjakan tenaga kerja. Namun adanya limpahan tenaga kerja seperti itu ternyata tidak kunjung meningkatkan tingkatan upah yang rendah (Breman, 1986: 40, Kartodirdjo dan Suryo, 1991: 83).
Bentuk kerja wajib pertanian dan pekerjaan umum di luar kawasan desa telah dihapus atau diubah kedalam bentuk uang. Namun berbagai kerja wajib desa sebagai bagian dari gaji dari para pejabat desa tetap berlaku hingga abad ke-20, seperti yang telah terjadi pada mada Sistem Tanam Paksa bahwa pada periode liberalisme ekonomi pun tampaknya untuk memperoleh tenaga kerja yang murah dan melimpah dengan mudah hanya dapat diperoleh dengan cara paksaan. Selain paksaan dalam bentuk ikatan kerja melalui pembayaran di muka[14], namun juga dengan jalan pemberlakuan kerja wajib secara terus-menerus. Menurut Breman (1986: 41) keberadaan perkebunan tebu beserta pengolahannya (pabrik) telah mengakibatkan terjadinya peningkatan kerja wajib.
Terbengkalainya pertanian sawah sebagai akibat dari munculnya industri gula selalu menyebabkan sumber konflik antara petani dengan pemilik pabrik. Konflik itu merupakan wujud dari persaingan secara langsung antara petani pemilik lahan yang menginginkan lahannya digunakan untuk tanaman pangan dengan pabrik gula yang membutuhkan lahan yang murah bagi tebu. Akumulasi dari konflik itu pada akhirnya banyak menuai reaksi dari petani dengan cara pembakaran perkebunan tebu. Pembakaran tebu merupakan fenomena yang biasa terjadi, karena dengan cara tersebut para petani dapat mengungkapkan protesnya. Pembakaran perkebunan tebu oleh petani di Jawa sering terjadi pada bulan Mei hingga Oktober, yaitu pada saat lahan sawah ditanami tebu dan pula pada waktu tersebut merupakan bulan-bulan dengan suhu terpanas ditambah lagi dengan banyaknya daun tebu yang mengering sehingga dengan mudah dapat terbakar. Pembakaran perkebunan tebu itu tidak hanya mengancam produksi gula namun juga mengancam stabilitas politik di daerah penanaman tebu (Mubyarto,1992: 80).

Industri Gula Pemerintah
Unit-unit pengolahan gula sebelum pelaksanaan Sistem Tanam Paksa hanya dilakukan oleh orang-orang Cina dalam skala kecil yang sederhana, salah satunya Tang Tong an yang menempati tanah seluas 124 ha di distrik Losari pada 1828. Pada saat itu sedikit sekali antusiasme yang ditujukan oleh pengusaha-pengusaha Eropa untuk menggeluti bidang tersebut. Melihat kondisi seperti itu, maka pemerintah kolonial Hindia Belanda berusaha mencari alternatif untuk pengembangan usaha penggilingan tebu dengan cara mensponsori industri gula, dengan kata lain pada awal pelaksanaan Sistem Tanam Paksa industri gula di keresidenan merupakan industri gula pemerintah.
Elias yang merupakan Residen Cirebon pertama pada masa Sistem Tanam Paksa telah menandatangani kontrak dengan seorang pengusaha Eropa bernama W Dennison untuk mendirikan Pabrik Gula (PG) Sindanglaut di Distrik Sindanglaut pada Agustus 1830, sementara itu kontrak kedua dengan dua pengusaha Cina yaitu Tan Kim Lin dan Lim Tang Thay pun ditandatangani untuk mendirikan PG Ciledug pada tahun yang sama. Hingga 1883 tidak ada lagi kontraktor yang menandatangani kontrak dengan pemerintah dalam penggilingan gula, ketika itu pula industri tersebut mulai menunjukan keuntungan yang berarti.
Para kontraktor gula pemerintah ini disediakan lahan untuk membangun pabrik mereka, material dan pekerja untuk melakukan pekerjaan konstruksi. Pemerintah juga memberikan modal usaha untuk pengoperasian pabrik. Perincian pinjaman ini bersifat pinjaman jangka panjang dan akan dibayar oleh pengusaha dengan kualitas gula yang bagus seharga f 10 per pikul gula. Pemerintah kolonial Hindia Belanda menjamin pasokan bahan baku berupa tebu dan tenaga kerja bagi para kontraktor tersebut, dan tentunya hal tersebut sangat menguntungkan para kontraktor dengan asumsi bahwa biaya produksi sebesar f 7,50 per pikul gula akan dapat menghasilkan jumlah yang lebih besar selama adanya jaminan pasokan tersebut (Fernando, 1982: 85).
Untuk penyediaan tebu bagi pabrik, para elit lokal berusaha meyakinkan para kuwu dan aparat desa lainnya di distrik yang berdekatan dengan pabrik untuk menandatangani kontrak. Sebanyak 3.877 keluarga dengan 2.475 hektar sawah yang berada dalam 49 desa dikerahkan untuk mengurus sekitar 420 ha sawah untuk PG Sindanglaut. Sementara itu untuk PG Ciledug di Distrik Losari, kontrak yang sama pula telah ditandatangani dengan kuwu dari 42 desa dengan 3223 keluarga dan 2247 hektar sawah, mereka harus mengurusi 240 ha sawah untuk penanaman tebu pemerintah.
Selama beberapa tahun ke depan indutri gula di Cirebon pada masa Sistem tanam Paksa telah menarik beberapa penguasa lain. Hal ini diakibatkan oleh kebijakan pemerintah kolonial Hindia Belanda dalam memberikan jaminan kebutuhan perusahaan seperti yang dialami oleh beberapa kontraktor gula pertama di daerah tersebut. Pada 1832 Lim Tang Thay telah diizinkan mengambil tanah Cigobang yang termasuk tanah tak terpakai di Distrik Luragung untuk penanaman tebu miliknya dan gula yang diproduksi untuk keuntungannya sendiri. Pada tahun berikutnya W. Dennison mendapatkan izin yang serupa di daerah yang dikenal sebagai Blender seluas 140 ha. Tan Oekoe seorang Cina seolah mengikuti jejak pendahulunya mendapatkan kontrak dari pemerintah untuk mendirikan PG Arjawinangun di Distrik Gegesik Lor untuk penanaman tebu milik pemerintah seluas 280 ha (Fernando, 1982: 86).
Berkaca pada kesuksesan yang dinikmati oleh para kontraktor gula di Cirebon pada 1830, maka beberapa pengusaha asing berusaha mendapatkan kontrak dari pemerintah. Setelah itu penyerahan kontrak gula pemerintah semakin kompetitif dan usaha industri gula seakan menjadi kecenderungan untuk mendapatkan keuntungan yang besar bagi mereka. Pabrik gula berikutnya yang didirikan di Keresidenan Cirebon adalah PG Tersana di Distrik Losari yang didirikan oleh J.M Gonsalves pada 1838. Setelah itu dua tahun kemudian B.W van der Boogart mendirikan PG Glamindangan di Distrik Palimanan, kemudian L.A Sapotras memulai mendirikan PG Surawinangun di distrik yang sama. Namun setelah itu tidak ada lagi ekspansi indutri gula di Kabupaten Cirebon.Berbeda dengan di Kabupaten Majalengka, di daerah ini petumbuhan indutri gula semakin berkembang. Setelah berakhirnya penanaman indigo (nila), pada 1848 telah didirikan dua pabrik gula yaitu PG Jatiwangi di Distrik Jatiwangi dan PG Parungjaya di Distrik Rajagaluh yang didirikan oleh R. Twiss. Pabrik gula ketiga yang didirikan di kabupaten ini adalah PG Gempol yang berada di distrik Palimanan pada tahun yang sama. Jadi jumlah pabrik gula secara keseluruhan yang disokong oleh pemerintah di Keresidenan Cirebon telah bertambah dari empat pabrik menjadi sepuluh pada pertengahan abad ke-19. Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Majalengka telah menjadi pusat indutri gula di Keresidenan Cirebon pada kurun waktu tersebut karena kedua daerah ini memiliki area lahan sawah terbesar dibandingkan daerah lain di Keresidenan Cirebon.
Setelah berakhirnya Sistem Tanam Paksa telah diketahui pula bahwa jumlah penduduk di Keresidenan Cirebon pada 1918 mencapai kurang lebih 1.560.230 jiwa yang tersebar di 23 kewedanaan dalam empat kabupaten. Untuk mengetahui jumlah penduduk di tingkat kewedanaan serta kekayaan tanah di Keresidenan Cirebon.
Industri gula swasta mulai berkembang setelah adanya tekanan dari golongan liberal di Belanda yang menginginkan adanya kesempatan bagi mereka untuk berusaha di tanah jajahan. Mereka menilai bahwa Sistem Tanam Paksa menjadi tidak efektif karena tidak disukai oleh petani dan dalam opini mereka industri gula swasta dapat menjadi alternatif lain dalam eksploitasi atas tanah jajahan.
Van Colenbarander pemilik PG Cigobang merupakan orang pertama yang mengubah regulasi pemerintah untuk memperoleh keuntungannya sendiri. Dia meminta kepada pemerintah untuk menyetujui kontraknya dengan beberapa petani untuk mengolah gula tebu miliknya dengan bayaran f5 per pikul gula yang diprodusksi (Staatsblad, 1838. no 57). Jika petani tidak mau mengolah tebu maka dia telah siap untuk mempekerjakan kuli untuk tujuannya itu. Van Colenbrander juga berusaha untuk membayar sewa atas tanah sawah yang ditanami tebu selama lima tahun. Pada tahap selanjutnya telah banyak pengusaha gula yang mengikuti contoh dari Van Colenbrander, salah satunya adalah pemilik PG Luwanggajah Tan Tiang Kong yang telah melakukan kontrak serupa dengan para petani. Dia menyewa 130 ha sawah dengan harga f12 per bau.Industri gula swasta telah mulai menampakan kemajuan pada permulaaan 1850 dengan kemudahan untuk mengikat kontrak langsung dengan para pribumi. Pada saat itu keresidenan Cirebon merupakan tempat eksploitasi dua perusahaan finansial yang secara bersama-sama telah berusaha untuk memperoleh kepemilikan dari hampir semua pabrik gula skala kecil beserta kebun tebunya. Seorang controleur di Cirebon yang bernama F. Arnold Bik mendirikan firma atas namanya sendiri dan telah bekerja sama dengan perusahaan finansial lainnya di Batavia, J. Cezard & Co. Bersama-sama mereka menginvestasikan sejumlah uang untuk membeli dan merenovasi pabrik gula kecil yang tentunya hal-hal tersebut merupakan pekerjaan yang tidak mudah untuk dilakukan dan sangat mudah trerancam kebangkrutan. Selama periode 1857 hingga 1858, J Cezard & Co membeli PG Waled, PG Cikanas dan kebun tebu Blender serta mendirikan PG Kalimaro di Disrtrik Losari dan PG Jatipiring di Distrik Sindanglaut. Arnold Bik & Co memperoleh PG Cikaleng di Distrk Beber dan PG Kalisapu yang berada di Distrik Luwarkota. Pengusaha lainnya yaitu, Qurles van Ufford telah mendirikan PG Sigong di Distrik Sindanglaut pada periode yang sama (Fernando, 1982: 244).
Reaksi Petani Atas Tekanan Terhadap Tanah dan Tenaga Kerja
Ketidakadilan yang dirasakan oleh petani di daerah industri gula menyebabkan petani merasa perlu mencari sosok pemimpin yang dapat memberikan perlindungan dan memperjuangkan hak-hak mereka. Hadirnya Sarekat Islam (SI) di lingkungan mereka ternyata mampu memberikan harapan baru. Ulama yang menjadi pemimpin telah menjadikan organisasi itu mudah diterima oleh masyarakat petani, sebab ulama mendasarkan ajarannya pada agama Islam yang juga merupakan bagian dari kehidupan petani.
Dengan adanya SI, maka aksi protes petani tidak lagi dilakukan secara individual seperti halnya pembakaran tebu melainkan dengan cara yang bersifat kolektif yaitu diplomasi. Pada 1917 bertepatan dengan kongres kedua SI, telah diajukan suatu resolusi kepada pemerintah kolonial dan sindikat gula, yaitu; pertama, perlu segera diakhirinya keterlibatan aparat pemerintah dalam usaha memperoleh tanah bagi industri gula; kedua, industri gula harus menjalankan prinsip-prinsip pasar bebas dan menghapus tekanan-tekanan dalam usaha mereka memperoleh tanah petani; ketiga, industri gula di masa yang akan datang memperbolehkan para petani ikut memiliki saham perusahaan (Breman, 1986: 73-74).
Atas dasar ketiga tuntutan tersebut, pemerintah kolonial tidak merasa keberatan karena resolusi tersebut tidak bernuansa politis. Namun lain halnya dengan pabrik gula yang merasa keberatan dengan tuntutan pertama dan kedua. Tanpa adanya campur tangan dari pemerintah maka bagi pabrik gula rasanya cukup sulit untuk memperoleh tanah yang murah. Hal itu berarti hilang pula keuntungan besar yang akan didapat pabrik gula dari sektor tersebut. Tanggapan pemerintah terhadap tuntutan tersebut adalah dikeluarkannya ordonansi sewa tanah baru pada 1918. Dikeluarkannya ordonansi tersebut ternyata semakin melengkapi kemajuan industri gula hingga mencapai puncaknya pada 1930, sehingga pada saat itu industri gula dianggap sebagai gabus tempat Hindia Belanda mengapung (Mubyarto, 1991: 113).
Keberhasilan industri gula tersebut disebabkan karena dua faktor, yaitu: sistem manajemen yang baik dalam bercocok tanam dan murahnya sewa tanah serta rendahnya upah karyawan yang terlibat dalam industri gula. Hal itu telah berhasil memaksa para petani menyerahkan tanahnya untuk kepentingan industri gula walaupun pada dasarnya petani tidak menginginkan hal itu terjadi. Keengganan petani tersebut disebabkan tidak adanya keseimbangan antara murahnya sewa tanah dengan hasil yang diperoleh dari tanaman pangan.
Alasan lain yang menjadi pertimbangan para petani adalah tidak terdapatnya peluang dari sektor lain, sedangkan peran mereka dalam industri gula hanya sebatas menjadi pekerja kasar. Walaupun setiap tahun terdapat kenaikan harga sewa, ternyata kehidupan petani belum beranjak dari kemiskinan bahkan hingga pemerintahan kolonial Hindia Belanda mengakhiri kekuasaanya di Indonesia (Mubyarto, 1992: 113).
------------------------------------------
[1] Migrasi seperti itu merupakan perlawanan pasif dengan diam-diam membuat semua peraturan pemerintah tidak berjalan (Bergsma dalam Breman, 1986: 29).
[2] Kekuasaan para penguasa Cirebon berakhir ketika Thomas Stamford Raffles berkuasa. Raffles mempensiunkan para penguasa Cirebon itu dengan memberikan uang pensiun. Sejak itu, Kesultanan Cirebon tidak pernah berperan lagi dalam bidang politik dan pemerintahan di Cirebon langsung dilakukan oleh Inggris. Di bawah peme­rintahan Inggris, Cirebon dibagi ke dalam 13 divisi, yaitu Bengawan, Cire­bon, Ciamis, Cikaso, Linggrajati, Gebang, Lossari, Kuningan, Talaga, Sindang­kasih, Rajagaluh, Panjalu, dan distrik hutan (Raffles, 1988: hal. 254-255).
[3] Stratifikasi sosial yang terdapat di Cirebon pada kurun waktu pemerintahan kolonial Hindia Belanda terdiri dari lapisan bangsa Eropa, Timur Asing khususnya bangsa Cina dan terakhir adalah penduduk pribumi. Penduduk pribumi terklasifikasikan kedalam beberapa lapisan berdasarkan pada pemilikan tanah pertanian (Breman, 1986: 13). Lapisan sosial yang teratas dari masyarakat pribumi seringkali disebut priyayi, para priyayi itu termasuk dalam golongan orang-orang yang hidup dari hasil tanah mereka namun mereka tidak ikut serta secara langsung dalam penggarapan tanah.
[4] Menurut Breman cacah merupakan rumah tangga bersama yang merupakan unit dasar bagi masyarakat petani di sebagian besar Jawa pada awal terbentuknya kolonial (Breman, 1986:15). Namun dalam beberapa laporan-laporan kolonial, istilah cacah lebih cenderung mengarah ke sebutan rukun tetangga. Hal itu disebabkan karena adanya pengertian yang tersirat bahwa cacah merupakan kelompok keluarga terbatas. Sistem cacah ternyata dianggap mempunyai sisi yang merugikan bagi pemerintah kolonial, terutama mengenai proses pemungutan pajak. Hal itu disebabkan karena asas penarikan pajak di Cirebon mengikuti pola stratifikasi. Artinya para elit desa dan tokoh-tokoh terkemuka lainnya dibebaskan dari kerja paksa pertanian dan pekerjaan pelayanan jasa lainnya. Kewajiban-kewajiban tersebut ternyata dibebankan pada pemilik lahan pertanian yaitu sikep, yang diharuskan menyediakan berbagai pelayanan dan segala beban-beban orang-orang yang berada di atasnya. Namun pada kenyataannya mereka pun menguasakan tugas-tugas tersebut pada bawahannya (Breman, 1986: 16-17).
[5]Menurut van Vollenhouven dalam Breman, Sikep adalah para petani penggarap tanah milik sendiri, olehnya mereka dinamakan penduduk “desa inti” (Breman, 1986: 81; Cahyono, 199: 13-15).
[6]Mengenai pembahasan tentang jenis-jenis kerjawajib akan dijelaskan pada sub-bab berikutnya.
[7] Lapisan sosial seperti wuwungan itulah yang biasanya “diserahkan” ke perkebunan (onderneming) untuk dijadikan tenaga kerja yang disumbangkan desa untuk melakukan kerja wajib. Untuk sekedar “mematuhi” peraturan bahwa kerja wajib dirancang untuk mereka yang menguasai tanah, maka biasanya desa melakukan pembagian periodik tanah untuk diolah secara bergiliran, namun pengolahan tanah dengan cara itu bersifat temporer dan prioritas pengolahan tanah itu diserahkan pada wuwungan (Breman, 1986: 16-17, Cahyono, 1991: 14-15).
[8] Namun perkembangan industri gula yang menyerap tenaga kerja pada saat itu mendorong pemerintah kolonial untuk mengurangi kerja-kerja bagi kaum elit desa. Meskipun demikian hal itu tidak mematikan tanah-tanah bengkok tersebut dari sumbangan riil pemiliknya dengan cara menyewakan lahan tersebut dengan harga mahal kepada desa lain (Kultuur Verslag 1862 dalam Cahyono, 1991: 14).
[9] Industri gula Hindia Belanda pertama kali didirikan pada abad ke-18. penanaman tebu secara luas digalakan di sekitar ommelanden, sayangnya kesempatan itu tidak didukung oleh keinginan yang besar dalam melakukan kompetisi pasar. Hal itu didasari oleh keterbatasan VOC dalam bersaing dengan para pengusaha Inggris di India yang menguasai pasar gula di Eropa. Namun pada masa itu gula masih diproduksi oleh orang Tionghoa (Cina) di keresidenan-keresidenan sepanjang pesisir pantai utara Jawa Tengah dan Jawa Timur (Oosthoek) (Knight, 1980: 181).
[10] Industri gula VOC berskala terbatas dan umumnya terdiri dari pabrik-pabrik kecil. Pada 1710 pabrik gula di Jawa terdapat 131 pabrik yang beroperasi, namun pada perkembangan selanjutnya pada 1750 di sekitar Jakarta terdapat 80 pabrik, 11 pabrik di sepanjang pantai utara Jawa, 5 di Cirebon, dan 4 di Banten (Creutzberg dan van Laanen, 1987: 145)
[11] Permasalahan yang dilanda indutri gula Pamanukan-Ciasem disebabkan oleh kelangkaan penduduk dan kondisi geografis yang tidak mendukung perkembangan industri gula. Pada 1819 daerah Pamanukan–Ciasem memiliki wilayah seluas 213 ha dan memiliki populasi manusia sebanyak 21.000 jiwa (Knight, 1980: 181)
[12] Daerah pelaksanaan Sistem Tanam Paksa di daerah pemerintah kolonial Hindia Belanda mencakup 18 wilayah keresidenan, yaitu: Keresidenan Banten, Priangan, Karawang, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Jepara, Rembang, Surabaya, Pasuruan, Besuki, Pacitan, Kedu, Bagelen, Banyumas, Madiun, dan Kediri. Tanaman yang di tanam tidak selalu sama, karena disesuaikan dengan keadaan wilayah setempat (Kartodirjdo dan Suryo, 1991: 57).
[13] Industri gula di Keresidenan Cirebon merupakan aplikasi dari Sistem Tanam Paksa yang merupakan wujud dari rancangan van den Bosch. Pada perkembangannya sistem tersebut telah meletakan dasar-dasar hubungan industrial. Dalam industri gula di Hindia Belanda terdapat tiga komponen penting pendukung, yaitu, pemerintah kolonial Hindia Belanda, fabriekant (pemilik pabrik), dan petani (Cahyono, 1991: 15).
[14] Hak erfpact merupakan hak yang sangat dibutuhkan oleh perusahaan-perusahaan perkebunan. Hak itu merupakan benda yang paling luas yang dapat dibebankan pada orang lain. Apabila pemegang hak erfpact meninggal dunia maka hak itu tetap berlaku pada pewarisnya (kata erfpact berasal dari kata erfelijk yang berarti turun temurun dan pacht yang berarti sewa, sehingga hak erfpact adalah hak sewa yang turun-temurun). Tanah hak erfpact dapat dijadikan jaminan kredit (Mubyarto, 1992: 38).
[15] Sebagai perbandingan dalam Atmosudirdjo menerangkan bahwa pada 1855 bekerja di pabrik-pabrik bagi masyarakat sekitar perkebunan didasarkan atas kemauan sendiri dan sebagian lagi berdasarkan paksaan. Di Cirebon terbentuk apa yang disebut “kampung-kampung kuli”. Tempat tersebut merupakan tempat tinggal bersama para personil tetap pada pabrik yang bekerja keras atas kemauan sendiri. Pada perkembangannya hal yang menjadi umum itu berasal dari masa tanam paksa (1984: 206).
[16] Menurut Burger (1975: 137-138), pembayaran uang sewa dimuka merupakan perangsang yang paling penrting untuk membujuk kaum tani agar melepaskan tanah mereka.