Minggu, 13 Januari 2008

Kondisi Sosial Ekonomi Petani Tebu di Cirebon Pada Masa Pemerintahan Hindia Belanda

Profil Wilayah
Wilayah Cirebon secara geografis terletak pada 108 400 – 108 480 Bujur Timur dan 60 30’ – 70 00’ Lintang Selatan pada Pantai Utara Pulau Jawa, bagian timur Jawa Barat. Wilayah Cirebon memiliki ketinggian 5 m s.d 3.078 m dpl, beriklim tropis dan mempunyai kandungan tanah jenis Litasol, Aluvial, Mediteran, latosol, Potsolik, Regosol, Gleihumus, dan Grumosol yang sangat mendukung untuk pembudidayaan tanaman tebu. (Kabupaten-kabupaten di Cirebon dalam angka, 2001).
Belanda mengusai daerah Cirebon secara penuh pada 1705, kekuasaan tersebut diperolehnya sebagai bentuk imbalan atas batuan yang telah mereka berikan kepada Pakubuwono I dalam menduduki tahta Mataram. Pada masa itu pula Belanda menjadikan Cirebon sebagai salah satu keresidenannya. Keresidenan Cirebon terbagi menjadi beberapa wilayah, antara lain Indramayu, Gebang, daerah Kesultanan Cirebon, yang meli­puti daerah-daerah yang kemudian menjadi wilayah Kabupaten Cirebon, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Kuningan, serta tanah partikelir di Kandanghaur dan Indramayu; dan daerah Cirebon-Priangan, yang meliputi Galuh, Limbangan, dan Sukapura (Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië, 1917: 475).
Ketika Daendels menjadi Gubernur Jenderal di Jawa, Keresidenan Cirebon telah mengalami beberapa kali reorganisasi. Reorganisasi tersebut terjadi setelah dikeluarkannya peraturan tentang pemerintahan di Wilayah Cirebon atau juga yang disebut dengan Reglement op het beheer van Cheribonesche Landen pada 2 Februari 1809. Peraturan tersebut mengatur tentang prefect, sultan-sul­tan, patih, iuran, rodi dan kewajiban anak negeri, polisi, pembuatan jalan, dan dinas pos. Selain itu peraturan tersebut menetapkan bahwa seluruh kekuasaan politik para sultan di Cirebon telah dicabut, maka baik Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan tidak memiliki kekuasaan lagi, dan kedudukan mereka diubah oleh pemerintah kolonial menjadi pegawai pemerintah.
Berdasarkan peraturan itu pula Cirebon dibagi menjadi dua wilayah. Pada bagian utara dinamakan wilayah Kesultanan Cirebon yang meliputi daerah Cirebon, Kuningan, Indramayu, dan Gebang. Bagian selatan dinamakan Tanah Priangan-Cirebon (Cheribonesche Preanger landen), meliputi daerah Limbangan, Sukapura, dan Galuh. Pada perkembangan selanjutnya, pemerintah kolonial telah menetapkan sebuah keputusan pada 13 Maret 1809 bahwa wilayah Kesultanan Cirebon terbagi atas tiga daerah yang dikepalai oleh sultan yang mempunyai kedudukan yang sederajat dengan bupati, ketiga daerah tersebut adalah: Kuningan-Cirebon, Indramayu, dan Majalengka (Syafirudin, 1993: 260).
Pada 20 Juni 1810 Daendels menghapus prefektur Priangan-Cirebon. Sebagian wilayahnya digabung­kan ke Jakarta menjadi Landdrostambt der Jacatrasche en Preanger Bovenlanden sedangkan Galuh dipinjam­kan kepada Sultan Yogyakarta karena dianggap kurang ber­arti untuk penanaman kopi (Algemeen Verslag 1832; Beschrijving der Grenzen van de Residentie Cheribon 1845 dalam Nugraha, 2000: 25).
Wilayah Keresidenan Cirebon mengalami perubahan ketika Keresidenan Krawang dibentuk pada 2 Maret 1811. Perubahan wilayah itu mengakibatkan Keresidenan Cirebon kehilangan daerah Kandanghaur dan Indramayu karena kedua daerah tersebut dimasukkan ke dalam Keresidenan Krawang. Kemudian pada 1813 wilayah Keresidenan Cire­bon mengalami perubahan kembali ketika Distrik Balubur, Imbanagara, dan Madura yang semula berada di Kabupaten Galuh masuk ke dalam wilayah Keresidenan Cirebon, sedang­kan Keresidenan Cirebon harus menyerahkan Pagerageng dan sebagian Sindangbarang pada Galuh (P. Boomgaard dan A. J. Gooszen dalam Nugraha, 2000: 25).
Setelah kekuasaan Belanda atas Jawa beralih ke tangan Inggris yang diwakili oleh Raffles, maka status administratif Cirebon diubah kembali menjadi bentuk keresidenan. Berkaitan dengan perubahan tersebut, beberapa distrik yang pada mulanya merupakan bagian dari Kesultanan Cirebon beralih statusnya menjadi kabupaten. Pada 1823, Keresidenan Cirebon terdiri atas lima kabupaten, yaitu Cirebon, Kuningan, Maja, Bengawan Wetan, dan Galuh. Namun kurang lebih tiga tahun kemudian Kabupaten Begawan Wetan dihapuskan. Perubahan kembali terjadi pada 1823 ketika Keresidenan Cire­bon menerima kembali Indramayu dan Kandanghaur dari Kere­sidenan Krawang (Regeringsalmanak, 1823 dan 1826 dalam Syafirudin, 1993: 261; Boomgaard dan A.J. Gooszen dalam Nugraha, 2000: 26).
Keresidenan Cirebon pada kurun waktu pelaksanaan Sistem Tanam Paksa (1830-1870) dianggap sebagai daerah yang memiliki populasi memadai untuk perkembangan industri gula, dan dengan adanya pertimbangan bahwa letak Keresidenan Cirebon yang memiliki pelabuhan dapat memudahkan pengangkutan komoditas tersebut ke Eropa. Daerah Cirebon yang merupakan dataran rendah dan banyak memiliki sawah-sawah merupakan daerah yang sangat mendukung untuk penanaman tebu. Dalam periode itu Keresidenan Cirebon terdiri menjadi empat kabupaten, yaitu Kabupaten Cirebon, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Kuni­ngan, Kabupaten Galuh, dan Kabupaten Indramayu (Algemeen Verslag 1832; Beschrijving der Grenzen van de Residentie Cheribon 1845 dalam Nugraha, 2000: 26).
Pada masa setelah kemerdekaan Indonesia dan dihapuskannya sistem keresidenan maka sekarang wilayah Cirebon terdiri dari beberapa kabupaten, antara lain: Kabupaten Cirebon, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Indramayu, dan Kota Cirebon, dengan luas daerah 5.642.569 km2. Wilayah Cirebon memiliki batas-batas letak geografis, sebelah timur dan timur laut berbatasan dengan Propinsi Jawa Tengah, di selatan berbatasan dengan Kabupaten Ciamis, di barat berbatasan dengan Kabupaten Subang dan Kabupaten Sumedang, dan di utara berbatasan dengan Laut Jawa (Setyawati, 1982: 11).
Kependudukan
Residen Servatius melaporkan bahwa di Cirebon pada akhir abad ke-18 masih banyak terdapat tanah subur yang tidak tergarap. Hal itu menurutnya merupakan petunjuk bahwa pada saat itu kepadatan penduduk di daerah itu masih sangat rendah. Namun menurut sumber lain bukan berarti tanah-tanah tersebut tidak tergarap sebelumnya. Seperti halnya yang dikemukakan oleh van der Broek (dalam Breman, 1986: 22), yang menyatakan tentang kemunduran keadaan perekonomian penduduk di daerah tersebut disebabkan oleh kemiskinan yang terus memburuk disertai angka kematian yang tinggi serta migrasi keluar daerah yang menyebabkan penurunan jumlah penduduk. Migrasi[1] merupakan hal yang biasa dan lazim dilakukan oleh kaum tani. Hal itu terjadi untuk menghindari cacah jiwa yang biasanya dilakukan untuk menetapkan jumlah pekerja rodi.
Pencatatan tentang kependudukan di Cirebon pada awal abad ke-19 dapat diketahui setelah Daendels membuat keputusan tentang reorganisasi daerah Cirebon pada 1809 yang selanjutnya membagi Cirebon menjadi tiga wilayah. Masing-masing wilayah tersebut dipimpin oleh para sultan. Pembagian wilayah dan jumlah penduduk serta penguasa masing-masing wilayah di Cirebon pada 1809.
Setelah kekuasaan Daendels atas Jawa berakhir maka kekuasaan tersebut pun beralih ke tangan Raffles. Raffles membuat pendataan terhadap jumlah penduduk di Jawa untuk kepentingan pelaksanaan Sistem Pajak Tanah. Hasil dari perhitungan tersebut telah diketahui bahwa pada 1812 penduduk di Keresidenan Cirebon berjumlah 160.100 jiwa dan kemudian pada 1815 jumlah penduduk di Cirebon bertambah menjadi 216.001 jiwa, namun perhitungan 1815 tersebut hanya mencakup divisi Cirebon saja[2]. Berdasarkan pendataan tersebut jumlah kependudukan di Cirebon telah menunjukkan peningkatan dalam periode 1812 hingga 1815
Ketika kekuasaan atas Jawa kembali ke tangan Belanda, maka pendataan mengenai kependudukan pun masih terus dilakukan. Seperti yang telah tercatat pada sumber-sumber pemerintah kolonial pada 1820 hingga 1864 jumlah penduduk di Keresidenan Cirebon mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Pertambahan jumlah penduduk di Keresidenan Cirebon pada kurun waktu tersebut disebabkan oleh pemberlakuan Sistem Tanam Paksa yang memang selalu membutuhkan jumlah pekerja yang sangat banyak untuk perkebunan-perkebunan dan pabrik-pabrik setempat. Data-data mengenai kependudukan tersebut kemungkinan tidak terlalu akurat dengan kondisi yang sebenarnya karena berbagai macam faktor. Namun perkembangan penduduk di Keresidenan Cirebon cenderung mengalami peningkatan dari tahun-tahun berikutnya selama pelaksanaan Sistem Tanam Paksa. Seperti halnya menurut laporan Umbgrove dalam Breman (1986: 47), yang menyatakan bahwa dalam beberapa dasawarsa setelah Sistem Tanam Paksa dilaksanakan di Keresidenan Cirebon, maka daerah itu pun berkembang semakin pesat dan menjadi pemukiman padat penduduk. Hal itu dimungkinkan sebagai akibat dari penanaman tebu yang meluas dan pesat.
[1] Migrasi seperti itu merupakan perlawanan pasif dengan diam-diam membuat semua peraturan pemerintah tidak berjalan (Bergsma dalam Breman, 1986: 29).
[2] Kekuasaan para penguasa Cirebon berakhir ketika Thomas Stamford Raffles berkuasa. Raffles mempensiunkan para penguasa Cirebon itu dengan memberikan uang pensiun. Sejak itu, Kesultanan Cirebon tidak pernah berperan lagi dalam bidang politik dan pemerintahan di Cirebon langsung dilakukan oleh Inggris. Di bawah peme­rintahan Inggris, Cirebon dibagi ke dalam 13 divisi, yaitu Bengawan, Cire­bon, Ciamis, Cikaso, Linggrajati, Gebang, Lossari, Kuningan, Talaga, Sindang­kasih, Rajagaluh, Panjalu, dan distrik hutan (Raffles, 1988: hal. 254-255).Pada 1920 kepadatan penduduk di Sindanglaut dan Losari (Ciledug) mencapai 615 dan 632 tiap kilometer persegi. Hal ini menjadi menarik karena tekanan atas tanah agraria seakan menjadi pemacu meningkatnya kepadatan penduduk di dua daerah tersebut. Hal ini dapat dilihat pada perkembangan kependudukan di daerah yang sama pada sepuluh tahun berikunya, seperti yang terdapat di daerah Losari jumlah penduduknya meningkat menjadi 754 tiap kilometer persegi. Sementara itu pada 1940 daerah Sindanglaut memiliki jumlah penduduk yang telah meningkat menjadi 730 per km2, sedangkan penduduk Losari meningkat menjadi 910 per km2 (Terra dalam Breman, 1986: 48).
Perkembangan jumlah penduduk di Cirebon pada masa kolonial ternyata berkaitan dengan politik pemerintah kolonial Hindia Belanda yang telah menempatkan keluarga besar pada kedudukan terhormat, karena dengan cara seperti itu keluarga besar (sikep) dapat lebih banyak menampung jumlah penumpang (wuwung) di rumahnya demi tersedianya kebutuhan tenaga kerja yang lebih banyak untuk mengolah kerja kerja wajib pertanian maupun kerja wajib lainnya. Tersedianya lahan sawah yang terus meningkat dari tahun-tahun tersebut, baik berupa pembukaan lahan baru maupun karena perubahan lahan kering menjadi tanah basah juga telah menjadi daya tarik lain di daerah tersbut untuk dijadikan sumber penghidupan. Namun pada akhirnya peningkatan jumlah penduduk di Keresidenan Cirebon pada periode kolonial telah menguntungkan pengusaha industri gula yang memang dalam produksinya selalu membutuhkan jumlah pekerja yang sangat banyak.

Kondisi Sosial Ekonomi Petani di Cirebon
Profil Petani Tradisional Cirebon
Menurut Ter’ Haar (dalam van der Kroef 1984: 159-160), masyarakat Jawa tradisional terklasifikasikan secara umum menjadi beberapa golongan sebagai berikut, pertama, kelompok penduduk desa inti yang disebut dengan sikep, baku, gogol atau pribumi. Penduduk desa inti bermukim di suatu tempat sejak secara turun temurun, memiliki tanah, rumah dan halaman, dan juga pekarangan sempit untuk tanaman kebutuhan dapur atau kebun buah-buahan, mempunyai kewajiban penuh sebagai warga desa terutama dalam pelaksanaan pekerjaan perbaikan dan pemeliharaan komunal. Kedua, Kelompok penduduk yang disebut dengan indung, hanya memiliki sebidang tanah pertanian atau rumah halaman dan halaman, namun mereka tidak memiliki keduanya (hanya salah satu), serta mempunyai hak kewajiban komunal yang terbatas. Ketiga, yaitu kelompok penduduk yang disebut dengan wuwungan, nusup, tlosor atau bujang. Mereka tidak memiliki baik itu tanah pertanian maupun rumah dan halaman, namun bertempat tinggal di halaman orang lain, dan bekerja sebagai penyewa atau petani bagi hasil, atau bahkan mereka hidup menumpang dan bekerja untuk pemilik rumah di mana dia tinggal.
Di dalam masyarakat pedesaan di Cirebon[1] kekuasaan tertinggi terletak pada peran kuwu, tugas kuwu tersebut adalah mengatur kerja wajib secara bergiliran serta mengatur kehidupan sehari-hari di desa dengan dibantu oleh beberapa aparat pemerintahan desa lainnya. Para pejabat desa tersebut di antaranya adalah reksa bumi yang mempunyai tugas menjaga batas desa, ngabehi dan ngalambang yang merupakan dua orang wakil kuwu dalam menjalankan roda pemerintahan desa sehari-hari, cap gawe tugasnya adalah mengatur hampir semua urusan desa yang paling pokok di antaranya adalah urusan mengumpulkan masyarakat desa, kabayan atau jurutulis desa, dan lebe yaitu ulama desa (Tjondronegoro dan Wiradi, 1984: 36).
Kedudukan seorang kuwu dan bawahannya adalah bagian dari priyayi (yayi = adik raja), yang merupakan penghubung antara pihak kerajaan dengan rakyat (wong cilik). Kaum elit kerajaan dan priyayi tersebut dibedakan statusnya dari rakyat biasa karena mereka dapat menikmati hasil tanah tanpa harus mengerjakannya sendiri (Moertono dalam Onghokham, 1984: 5).
Selain adanya penguasa lokal yaitu para elit desa (priyayi), maka di Keresidenan Cirebon terdapat pula gologan yang “dikuasai” yaitu masyarakat desa tradisional yang terikat dalam suatu sistem yang dinamakan cacah[2]. Cacah merupakan suatu ikatan hubungan ketergantungan antara keluarga petani pemilik dengan keluarga petani yang tidak memiliki tanah. Tanpa banyak mengadakan perubahan sistem dalam struktur tradisional, sistem cacah tersebut merupakan sistem pengerahan tenaga kerja yang tetap dipertahankan oleh pemerintah (Cahyono, 1991: 13; Breman, 1986: 15-16).
Di dalam sistem cacah tersebut ternyata terdapat perbedaan kelas antar- kaum petani yang didasarkan atas cara-cara petani tersebut menguasai tanah.
Petani penguasa tanah disebut sikep[3] yang merupakan kelas petani penanggung beban atas tanah. Seorang sikep maksimal dapat menguasai sekitar 22 cacah yang tidak memiliki tanah (Cahyono, 1991: 13, Breman, 1986: 15-16).
Selain sikep ada pula golongan tangkong yang merupakan penduduk desa pemilik rumah dan pekarangan namun tidak memiliki tanah kasikepan, dan mereka tidak mempunyai kewajiban dalam melakukan kerja wajib yang menyangkut pertanian namun mereka tetap mempunyai kewajiban untuk melakukan kerja wajib yang berkaitan dengan kepentingan desa.[4]. Tangkong dapat disebut pula sebagai sikep nomor dua. Istilah tersebut dapat pula berarti bahwa tangkong belum sepenuhnya menjadi sikep. Di Cirebon Tangkong merupakan calon utama pemegang hak atas tanah komunal apabila suatu ketika ada pembagian tanah tersebut. Linck (dalam Breman, 1986: 111), menyebutkan bahwa setiap patok kecil yang mereka terima dalam tanah komunal merupakan panjar untuk patok komunal seutuhnya. Namun setelah terjadinya perombakan agraria di Cirebon pada permulaan abad ke-20, maka fasilitas pembagian tanah komunal seperti itu tidak terjadi lagi. Oleh karena itu, pada saat itu para tangkong pun tidak lagi mendapat kesempatan untuk memperbaiki status sosialnya untuk mejadi sikep penuh.
Sikep mempunyai lapisan sosial yang berada di bawahnya yaitu wuwungan atau yang disebut juga dengan bujang apabila belum menikah. Biasanya mereka tinggal di dalam lingkungan keluarga sikep, dan segala kebutuhan hidupnya menjadi kewajiban sikep. Sebagai balasan atas perlindungan yang diperolehnya itu, biasanya kelompok wuwungan akan dimanfaatkan tenaganya oleh sikep untuk melakukan pengolahan tanah miliknya. Petani-petani wuwungan tidak mempunyai kewajiban-kewajiban seperti pajak atau kerja wajib terhadap negara melainkan hanya bekerja untuk sikep-nya. Terkadang sikep menggunakan mereka untuk melakukan kerja wajib bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda[5], sebab semua kewajiban terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda seperti pajak dan kerja wajib dibebankan kepada kaum tani penguasa tanah (Eindresume dalam Onghokham, 1984: 7).
Lapisan wuwungan terbagi menjadi dua macam yaitu pemaro dan tani hamba, perbedaan di antara keduanya terletak pada kemandirian. Petani pemaro mempunyai rumah sendiri walaupun biasanya berada di lingkungan petani pemilik tanah, sedangkan petani hamba tinggal di dalam rumah induk semangnya dan tetap bekerja sebagai orang suruhan. Breman (1986:16), cenderung menyebut golongan pertama sebagai wuwungan dan yang kedua sebagai bujang. Namun seperti yang disebutkan van den Bosch dapat ditarik sebuah kesan bahwa status petani bertanah dan tidak bertanah tersebut merupakan gambaran dari hubungan “penghambaan” yang di masing-masing daerah mempunyai sebutan yang beragam. Selain itu juga ada kemungkinan sebutan-sebutan tersebut didasarkan atas status perkawinan mereka, yang mana para anak-anak muda yang belum menikah (bujang) memulai pekerjaan mereka dengan menjadi hamba sebelum menjadi wuwungan (setelah menikah) pada keluarga (sikep) yang sama maupun yang lain.
Seorang sikep yang berpindah tempat tinggal ke suatu wilayah baru karena alasan terbelit hutang ataupun masalah yang lain, dapat saja menyerahkan jasanya sebagai wuwungan di tempat barunya tersebut. Namun sebaliknya apabila seorang wuwungan berhasil mengumpulkan modal dan membuka tanah di lahan baru dapat mengangkat dirinya menjadi sikep dan bahkan dapat membangun cacah-nya sendiri. Selain itu dapat dimungkinkan juga terjadinya mobilitas vertikal yang mungkin dialami oleh wuwungan melalui jalan adopsi atau perkawinan sehingga wuwungan menjadi golongan sikep (van Deventer dalam Breman, 1986:17).
Di samping berstatus sikep, mereka juga umumnya merupakan cikal-bakal desa. Dalam kedudukan seperti itu mereka berhak dipilih menjadi kuwu atau duduk di dalam pemerintahan desa. Kedudukan-kedudukan seperti itu memiliki banyak keuntungan, yaitu dengan adanya fasilitas tanah bengkok yang merupakan tanah gaji pejabat desa seluas lima hektar untuk kuwu dan sekitar dua hektar untuk aparat desa yang lainnya. Di samping adanya persentase Sistem Tanam Paksa dan hak kerja wajib untuk tanah gaji mereka. Sementara itu pejabat-pejabat desa merupakan pihak-pihak yang paling aktif dalam melakukan penguasaan atas tanah dan kerja wajib bagi desa. Karena tanah yang dimiliki oleh desa biasanya merupakan tanah yang memiliki kualitas terbaik, terlebih apabila tanah tersebut merupakan tanah bengkok (tanah gaji) (Onghokham, 1984: 22).
Tekanan atas tanah dan tenaga kerja di Cirebon pada masa pemberlakuan Sistem Tanam Paksa telah mengakibatkan perubahan-perubahan yang terjadi atas posisi petani. Istilah petani sikep dalam arti penduduk desa dengan hak atas tanah telah hilang dari lingkungan desa dan bertransformasi menjadi kuli (coolie) sebuah istilah yang berarti pekerja tanpa keahlian. Hal itu disebabkan karena semua penduduk desa dengan hak-hak tanah diwajibkan untuk melakukan kerja wajib tanpa kecuali. Transformasi tersebut merupakan gambaran peralihan orientasi petani tradisonal dari pertanian sawah menjadi petani tanaman ekspor pada masa Sistem Tanam Paksa dan akhirnya menjadi seorang kuli industri setelah kehilangan tanah mereka.
Pada permulaan abad ke-20, ciri penting masyarakat tani di Jawa yang terbagi ke dalam kelas-kelas yang didasarkan pada kepemilikan tanah tetap berlaku di pedesaan. Masyarakat itu pada hakikatnya terbagi menjadi dua golongan. Golongan pertama, yaitu golongan manyarakat desa yang memiliki kesempatan untuk menjadi pemegang hak penggarapan tanah komunal. Golongan itu umumnya disebut sebagai sikep, kuli kenceng, kuli kendo, dan sebagainya. Golongan kedua yaitu golongan yang tidak mempunyai hak apapun atas tanah. Umumnya mereka itu disebut dengan wuwungan, bujang, tlosor, dan sebagainya.
Kelas sosial mayarakat pedesaan di Keresidenan Cirebon pada permulaan abad ke-20 pun tidak berubah seputar keberadaan sikep, tangkong, dan wuwung. Namun kuantitas petani tidak bertanah di daerah tersebut menjadi lebih besar dari tahun-tahun sebelumnya. Sebagian besar dari mereka bekerja sebagai penggarap tanah orang lain, baik menjadi buruh tani maupun penyewa. Hal ini terjadi kemungkinan diakibatkan oleh adanya perombakan agraria yang memaksa para tankong kehilangan kesempatan mendapatkan pembagian tanah komunal dan hal ini juga berarti telah berkurangnya pula kesempatan bekerja yang menyangkut dengan tanah karena besar kemungkinan bagi mereka yang telah kehilangan tanah menjadi pekerja di sektor non-pertanian seperti menjadi buruh di pabrik-pabrik penggilingan tebu. Hal seperti itu dapat pula dijadikan petunjuk mengenai penurunan penduduk pekerja pertanian pada 1905 dan 1930.

Kepemilikan Tanah
Ciri terpenting mengenai struktur pertanahan di Jawa adalah dengan terdapatnya berbagai macam bentuk kepemilikan tanah yang didasarkan atas konsep tradisional. Sebelum 1870, konsep-konsep Barat tentang kepemilikan tanah tidak dikenal oleh masyarakat Jawa. Bahkan setelah 1870 pun ketika istilah “pemilikan perorangan” dan “pemilikan komunal” mulai diperkenalkan tetapi dalam kenyataannya berbagai bentuk kepemilikan tanah tradisional tetap dijalankan.
Beberapa bentuk kepemilikan tanah tradisional menurut Gunawan Wiradi (1984: 293-294) adalah:
a. Tanah yasa, yasan, atau yoso, yaitu tanah yang dimiliki secara turun temurun, dalam artian hak seseorang atas tanah tersebut berasal dari kenyataan bahwa pemilik tanah atau leluhurnyalah yang pertama kali membuka atau mengerjakan tanah tersebut.
b. Tanah norowito, gogolan, pakulen, playangan, kasikepan, dan sejenisnya adalah tanah pertanian milik bersama. Berdasarkan tanah tersebut warga desa dapat memperoleh bagian untuk digarap dengan syarat-syarat tertentu. Untuk memperoleh hak garap tersebut, pada umumnya diperlukan syarat bahwa calon pengggarap tanah sudah menikah, mempunyai rumah dan pekarangan, serta bersedia melakukan kerja wajib desa. Dalam konsep Barat tanah jenis itu disebut sebagai tanah komunal.
c. Tanah titisara, bondo deso, kas desa, adalah tanah milik desa yang biasanya disewakan, disakapkan, dengan mekanisme lelang kepada siapapun yang ingin menggarapnya. Hasilnya dipergunakan sebagai anggaran rutin atau pun pemeliharaan desa, seperti perbaikan jembatan, jalan, dan sebagainya.
d. Tanah bengkok yaitu tanah milik desa yang diperuntukkan bagi pejabat desa yang hasilnya dianggap gaji selama mereka menduduki jabatan tersebut. Tanah bengkok dan tanah titisara dalam konsep Barat dapat digolongkan ke dalam kategori “tanah yang tunduk terhadap pengawasan komunal”.
Sementara Koentjaraningrat (dalam Billah, 1984: 254) menyebutkan bahwa terdapat empat macam kepemilikan tanah di Jawa, yaitu:
a. Sistem milik umum (komunal) dengan pemakaian beralih (norowito),
b. Sistem milik umum dengan pemakaian bergilir (norowito giliran),
c. Sistem milik umum dengan pemakaian tetap (norowito tetep), dan
d. Sistem milik individu yang didapat secara turun temurun (yasa).
Secara pasti memang belum diketahui kapan keempat sistem itu mulai digunakan di Jawa. Namun berdasarkan laporan Meyer Ranneft (dalam Billah,1984: 254), telah disebutkan bahwa pada 1919-1923 di Cirebon dikenal dengan sistem pemilikan komunal yang pertuanannya berada di tangan desa, (seperti tanah bengkok (lungguh), titisara/gedakan/pancen) dan sistem milik individu (yasa). Kepemilikan tanah komunal atas sawah (sawah kasikepan) merupakan pola terpenting yang terdapat di Cirebon Timur, walaupun tidak berarti terdapat di berbagai tempat dalam taraf yang sama. Di bagian barat Keresidenan Cirebon persentase sawah milik perorangan terus menerus meningkat. Hal itu disebabkan oleh latar belakang perkembangan sistem hak tanah di Cirebon Barat yang bertalian dengan tradisi Pasundan mengenai kepemilikan tanah non-komunal (Linck dalam Breman, 1986:77).
Tanah yasa yang dimiliki oleh petani pada saat Undang-Undang Agraria (1870) diberlakukan hanya sekitar dua puluh persen, dua puluh lima persen merupakan tanah bengkok dan tanah desa (titisara) dan sisanya sekitar lima puluh lima persen merupakan tanah komunal. Tanah yasa diperoleh dengan cara melalui hak waris atas tanah itu muncul pada saat pembukaan tanah pertamakali. Tanah yasa akan kembali menjadi milik desa karena dua hal; pertama, apabila tanah tersebut tidak digarap oleh pemiliknya; dan yang kedua, apabila pemilik tanah tersebut meninggal dunia namun tidak meninggalkan ahli waris. Oleh karena itu, sebagai salah satu bentuk kekayaan material, tanah yasa merupakan salah satu komoditas yang berguna untuk kelangsungan hidup petani.
Selain tanah yasa, di pedesaan Cirebon terdapat pula tanah bengkok yang dikuasai oleh para kuwu. Tanah tersebut biasanya dibagi menjadi dua bagian yaitu pertama adalah tanah bengkok untuk para kuwu beserta perangkat desa yang lainnya, dan yang kedua adalah tanah bengkok yang diperuntukkan bagi para penguasa pribumi seperti bupati dan wedana. Tentunya tanah yang dikuasai oleh lapisan sosial itu merupakan tanah dengan kualitas terbaik. Para elit desa berhak mempekerjakan penduduk desa untuk mengolah tanah-tanah bengkok “miliknya”, dan seluruh natura yang dihasilkan dari tanah tersebut menjadi hak penguasa tanah[6] (Cahyono, 1991: 14).
Hak atas tanah petani ternyata harus dibedakan antara tanah usaha dan tanah tempat tinggal. Tanah tempat tinggal di Keresidenan Cirebon merupakan hak milik perorangan yang turun temurun, sedangkan tanah usaha semula adalah tanah komunal dengan sikep tetap maupun sikep bergilir. Namun sesudah adanya perombakan agraria pada 1919-1924 tanah komunal tersebut diubah menjadi tanah dengan hak milik turun-temurun atau tanah komunal dengan sikep tetap. Apabila di suatu desa terdapat kedua jenis tanah tersebut secara bersamaan, maka tanah hak milik perorangan turun temurun itu harus merupakan tanah bukaan baru. Tanah kering (tegalan) pada umumnya merupakan tanah milik perorangan turun-temurun. Di Cirebon Timur (distrik Ciledug dan Sindanglaut) tanah tegalan merupakan tanah komunal. Tanah persawahan yang berada di Kabupaten Cirebon juga merupakan tanah komunal, kecuali tanah di Desa Jagapuralor dan Desa Jagapurakidul (Distrik Arjawinangun). Di kedua desa tersebut tanahnya merupakan milik perorangan secara turun temurun (yasa). Kondisi tersebut dimungkinkan akibat dari pengaruh Kabupaten Indramayu yang memang secara historis tanah persawahannya itu merupakan hak milik perorangan yang turun temurun.
Sebelum adanya perombakan agraria di sebagian onderdistrik di wilayah Arjawinangun, ternyata banyak sikep yang mendapatkan bagian tanah yang cukup luas, namun setelah berjalannya perombakan, tanah luas semacam itu menjadi tidak ada, sebab cara kerja perombakan tersebut bukan hanya mengubah sikep bergilir menjadi sikep tetap namun juga telah meratakan tanah bagian. Hal itu berarti bagian tanah sikep yang semula luas kemudian dipecah menjadi dua bagian. Dengan demikian pemerintah kolonial berharap adanya penambahan jumlah sikep, dan dengan cara tersebut dihasilkan suatu bentuk kelompok petani yang cukup kuat. Tanah desa yang tersisa hanyalah tanah titisara, dan tanah bengkok (Memori Residen Cirebon C.J.A.E.T. Hiljee, 1930).

Industri Gula di Cirebon
Dalam kurun waktu kolonial, industri gula[7] di Jawa telah mengalami tiga periode perkembangan. Periode pertama adalah pendirian industri gula pada abad ke-17 sampai dengan abad ke-18 di sekitar selatan Batavia (Ommelanden). Periode kedua berkisar antara 1830 hingga 1870 atau yang di kenal dengan kurun Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel), dan yang terakhir adalah periode perkembangan ketiga setelah 1870.
Pada periode pertama, industri gula dinilai kurang menguntungkan hal itu disebabkan karena para pengusaha gula belum melihat sisi positif dari industri gula di pasar Eropa, dan juga pada saat itu VOC sebagai organisasi perdagangan menunjukan ketidakmampuannya dalam kompetisi perdagangan gula di Eropa, sehingga produksi gula hanya dihasilkan sebatas yang dibutuhkan saja[8]. Kemudian dalam periode kedua, industri gula telah menunjukkan kemajuan yang baik. Pada saat itu gula telah menjadi konsumsi harian masyarakat Eropa dan hal itu merupakan bukti adanya celah pasar untuk perdagangan gula di level internasional. Celah pemasaran gula di Eropa terjadi karena para investor gula yang sebagian besar berkebangsaan Inggris bangkrut akibat kegagalan investasi di Pamanukan-Ciasem[9]. Periode ketiga perkembangan industri gula di Jawa yang merupakan pelaksanaan eksploitasi pihak swasta atas tanah jajahan terbentuk atas landasan periode kedua yaitu pada kurun Sistem Tanam Paksa.
Sistem Tanam Paksa[10] yang diperkenalkan oleh Johannes van den Bosch pada 1830 mempunyai tujuan utama yaitu mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dari hasil komoditas perkebunan di Jawa yang dapat dijual ke pasaran Eropa. Hasil perkebunan yang dimaksud adalah produk hasil bumi pertanian beserta perangkat pengolahan dasar. Agar dapat bersaing di pasar dunia, maka komoditas hasil Sistem Tanam Paksa harus mempunyai kualitas, mutu yang setara atau lebih baik dan berharga murah dibandingkan dengan komoditas serupa yang diproduksi oleh bangsa lain di dunia.
Untuk mencapai tujuan itu, maka pemerintah kolonial Hindia Belanda merasa perlu membuat pribumi Jawa memproduksi dan mengolah komoditas yang dikehendaki namun dengan biaya seminimal mungkin. Hal itu berarti pemerintah kolonial berusaha menggagas corak produksi yang berjalan terpisah dengan azas-azas pengaturan yang diatur pasar dunia. Dengan kata lain, Jawa dijadikan daerah produksi yang memenuhi kebutuhan sendiri dengan corak masyarakat sosialis modern (van Niel, 2003: 58).
Pada 13 Agustus 1830, Bosch telah menyetujui penanaman tebu dan penggilingan gula di keresidenan-keresidenan yang dianggap potensial bagi indutri gula sepanjang pesisir pantai utara Jawa (Elson, 1978: 37). Terdapat tiga variasi dalam penentuan letak pabrik gula yang dapat dibedakan berdasarkan geografis, yaitu: pola wilayah tengah yang meliputi Cirebon-Pekalongan-Semarang; pola distrik Jepara; dan pola wilayah timur meliputi Surabaya-Pasuruan-Besuki (van Niel, 2003: 58). Hal yang penting dalam penentuan tempat (keresidenan) bagi penempatan industri gula adalah keresidenan yang memiliki jumlah populasi yang memadai. Oleh karena pada saat itu masih sulit mendapatkan pengusaha yang berminat mendirikan pabrik gula berdasarkan kontrak pemerintah, maka penanaman tebu dilakukan dalam skala terbatas di wilayah Cirebon[11]-Pekalongan-Semarang (Cahyono, 1991: 15; Atmosudirdjo, 1983: 2000).



Tanah untuk industri gula
Sistem Tanam Paksa yang diterapkan van den Bosch atas tanah jajahannya berusaha mengambil 1/5 luas lahan tanah yang dikerjakan rakyat untuk ditanami tanaman ekspor yang laku di pasaran Eropa. Tanah tersebut harus dikerjakan oleh rakyat tanpa bayaran di bawah kendali para petugas bangsa Eropa yang ahli di bidang teknis. Hasil tanaman tersebut diserahkan kepada pemerintah yang selanjutnya meyerahkan pengolahannya pada para pengusaha. Ketentuan pelaksanaan Sistem Tanam Paksa dimuat dalam Lembaran Negara (Staatsblad) No. 22, 1834. Di dalam ketentuan tersebut dinyatakan bahwa penyerahan tanah adalah atas dasar persetujuan penduduk, dengan pembebasan pajak bumi bagian tanah yang terkena wajib tanam. Apabila hasilnya melebihi nilai pajak bumi, maka kelebihannya itu akan diberikan pada petani, namun apabila lebih rendah petani tidak memperoleh apapun, dan kegagalan panen yang tebukti bukan karena kelalaian petani menjadi resiko pemerintah.
Bosch sepertinya banyak belajar dari pengalaman Raffles tentang ikatan foedal dan organisasi desa pribumi, maka dia memandang perlu untuk mengembalikan peran mereka sebagai perantara dalam pemungutan hasil bumi dari penduduk. Hal itulah yang menjadi sumber dari penyimpangan dalam pelaksanaan Sistem Tanam Paksa yang telah disebutkan tadi. Dengan alasan untuk memudahkan penanganan, para petugas itu membebankan penyediaan tanah dan tenaga kerja kepada desa dan bukan kepada penduduk secara individual menurut status sosialnya (pemilik tanah dan bukan pemilik tanah). Hal itulah yang kemudian mengakibatkan semakin meluasnya tanah-tanah komunal. Usaha mendapatkan tanah dengan menggunakan ikatan desa itu juga mengakibatkan terjadinya pembagian kewajiban penyediaan atau tanah dan tenaga kerja. Pertukaran tanah sebagian besar terjadi di daerah sekitar pabrik gula. Petani yang tanahnya dijadikan kebun tebu, mendapat ganti lahan sawah di luar areal yang digunakan pabrik gula yang seringkali jauh dari tempat tinggalnya. Usaha perataan beban kewajiban pada akhirnya mendorong terjadinya proses freagmentasi tanah dikalangan penduduk (Kartodirdjo dan Suryo, 1991: 66-67).
Pelaksanaan Sistem Tanam Paksa yang telah mengakibatkan kesengsaraan bagi bangsa pribumi Jawa ternyata banyak menuai kecaman dan mendorong dikeluarkannya Regeerings Reglement pada 1954 (Staatsblad no.2, 1855). Undang-undang tersebut mengatur penyelenggaraan perkebunaan agar tetap memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi Belanda dan juga “melindungi” hak-hak tanah rakyat untuk usaha pertaniannya (Mubyarto, 1992: 35).
Pada ayat 3 Pasal 62 RR 1854 merupakan bagian penting dari usaha perkebunan karena memberikan kesempatan secara resmi kepada modal asing untuk membuka perkebunan dengan sistem sewa. Isi pasal tersebut sebagai berikut:
a. Gubernur jenderal tidak boleh menjual tanah,
b. Dalam larangan tersebut termasuk penjualan tanah-tanah kecil untuk perluasan kota dan desa untuk mendirikan perusahaan-perusahaan,
c. Gubernur jenderal dapat menyewakan tanah dengan peraturan-peraturan perundang-undangan. Tanah-tanah yang telah dibuka dan dikerjakan oleh rakyat atau untuk keperluan lainnya yang termasuk dalam desa, tidak boleh disewakan.
Jangka waktu sewa ditentukan paling lama 20 tahun, kecuali untuk tanaman kelapa jangka waktunya boleh 40 tahun (Harsono, 1986: 17).
Cara persewaan tersebut ternyata tidak terlalu menguntungkan bagi perusahaan-perusahaan perkebunan besar di Hindia Belanda. Hal itu dikarenakan:
a. Jangka waktu sewa selama 20 tahun ternyata terlalu singkat untuk pengusahaan tanaman yang berumur panjang (tanaman keras).
b. Tanah dengan hak sewa tidak dijadikan jaminan kredit yang sangat dibutuhkan oleh para pengusaha.
c. Pemberian tanah dengan hak yang lebih kuat, misalnya dengan hak erfpacht[12] tidak memungkinkan karena terbentur pasal 62 ayat 3 RR yang memberi wewenang kepada gubernur jenderal untuk menyewakan tanah sehingga tidak bisa memberikan hak yang lebih kuat.
d. Menyewa tanah dari rakyat tidak dimungkinkan karena Bijblad nomor 148 melarang penjualan tanah kepada orang asing (bukan pribumi),
e. Jalan lain yaitu melalui perjanjian langsung dengan petani yang disebut dengan leveringscontract sebagaimana tercantum dalam staatsblad no 50, 1938. Dalam ketentuan tersebut petani diwajibkan menanam jenis-jenis tanaman yang telah ditentukan untuk selanjutnya hasil tanaman tersebut dijual kepada pengusaha. Namun hal itu tidak menjamin diperolehnya hasil yang konsisten (Mubyarto, 1992: 36).
Dengan berkembangnya liberalisme para pengusaha swasta mulai menuntut diberikannya kesempatan yang lebih besar dalam usahanya di derah jajahan, terlebih dengan banyaknya penyimpangan selama pelaksaan Sistem Tanam Paksa maka tuntutan-tuntutan tersebut semakin banyak disuarakan. Namun hingga bertahun-tahun tampaknya pemerintah kolonial terlihat kesulitan dalam menemukan penyelesaian untuk permasalahan itu. Masalahnya memang cukup dilematis antara menjamin kepentingan kaum pemodal dan perlindungan hak-hak rakyat atas tanahnya. Pemecahan masalah itu akhirnya baru tercapai pada 1870 dengan lahirnya agrarische wet yang diajukan oleh Menteri Jajahan de Waal.
Dengan berkembangnya liberalisme para pengusaha swasta mulai menuntut diberikannya kesempatan yang lebih besar dalam usahanya di derah jajahan, terlebih dengan banyaknya penyimpangan selama pelaksaan Sistem Tanam Paksa maka tuntutan-tuntutan tersebut semakin banyak disuarakan. Namun hingga bertahun-tahun tampaknya pemerintah kolonial terlihat kesulitan dalam menemukan penyelesaian untuk permasalahan itu. Masalahnya memang cukup dilematis antara menjamin kepentingan kaum pemodal dan perlindungan hak-hak rakyat atas tanahnya. Pemecahan masalah itu akhirnya baru tercapai pada 1870 dengan lahirnya agrarische wet yang diajukan oleh Menteri Jajahan de Waal.
Undang-Undang Agrarische Wet yang dikeluarkan pada 9 April 1870 dalam hal ini menjadi momentum penting yang menjadi dasar utana perkebunan swasta di Indonesia. Pada 1870 pemerintah kolonial tidak lagi melakukan campur tangan terhadap industri gula namun justru memberikan keleluasaan bagi industri gula untuk berkembang melalui perusahaan swasta asing. Perusahaan-perusahaan swasta asing tersebut melakukan hubungan langsung dengan petani pemilik sawah yang subur dan berpengairan. Hubungan sewa tanah antara pabrik-pabrik gula dengan petani itu didasarkan dalam rangka Undang-Undang Agraria 1870 yang menandai bahwa Indonesia telah terbuka bagi penanaman modal asing secara besar-besaran (Mubyarto, 1994: 78).
Banyak persoalan yang diakibatkan dari penerapan teknologi modern oleh kalangan swasta dalam industri gula itu yaitu kurangnya keterlibatan petani dalam proses produksi gula tebu. Sebagai contoh seiring dengan dibangunnya rel kereta api di Jawa, maka pengangkutan gula tebu dari gudang ke pelabuhan dilakukan dengan kereta api dan tidak lagi menggunakan gerobak sapi. Keadaan tersebut mengakibatkan patahnya backward linkage pabrik gula dengan perekonomian petani tebu.
Masalah lain yang dihadapi oleh pabrik gula swasta di Cirebon adalah bagaimana caranya berunding dengan pemerintah kolonial untuk memperoleh akses ke lahan sawah. Setelah itu pemerintah kolonial memutuskan agar pabrik gula mengatur perundingan dengan masing-masing petani, khususnya dengan kuwu. Keputusan tersebut dikenal dengan Undang-Undang Penyewaan Tanah 1871 (Land Ordinance of 1871) (Mubyarto, 1992: 78).
Undang-Undang Penyewaan Tanah pada mulanya memuat azas-azas penyewaan tanah petani oleh perkebunan tebu. Menurut azas tersebut, tanah pribadi (private land) yang oleh Undang-Undang Agraria Kolonial atau Agrarische Wet diberikan status hak milik, dapat disewa selama dua puluh tahun, tanah yasa selama lima tahun, dan tanah komunal dapat disewa selama pemilik tanah tersebut masih bersedia namun tidak boleh melebihi lima tahun. Dalam setiap kasus penyewaan, segala pajak dan kewajiban kerja yang dikenakan atas tanah tersebut harus dipenuhi oleh petani. Pada 1879 ditambahkan satu pasal lagi yang melarang pihak perkebunan tebu memberi panjar uang sewa untuk lebih dari satu tahun (Yosuo, 1986: 44).
Peraturan tersebut membuka jalan bagi pengusaha perkebunan tebu untuk menyewa tanah sawah yang sangat cocok untuk penanaman tebu dari para petani perorangan melalui sistem kontrak. Namun dalam kenyataannya pihak perkebunan tebu tidak membuat kontrak dengan masing-masing petani. Sebagai contoh, seorang peneliti pada 1880 menyatakan bahwa ketika perjanjian tersebut terjadi, para petani menggabungkan tanah mereka dan bertanggung jawab secara bersama-sama atas tanah tersebut dan biasanya kuwu menjadi saksi atas proses tersebut (Gelpke dalam Yosuo, 1986: 44).
Dalam kenyataannya pula pada 1890 para pengusaha perkebunan menggunakan segala kemampuannya untuk memiliki bidang tanah yang luas dan bersambungan. Untuk memperlancar usahanya itu, mereka memberi premi terhadap kuwu agar dapat mempengaruhi warganya untuk menyewakan tanah miliknya kepada perkebunan tebu. Dalam hal itu penyewaan sawah milik komunal sebenarnya bukan dilakukan oleh pemilik pribadi melainkan oleh kuwu (Burger dalam Yosuo, 1986: 45)
Dari contoh tersebut telah dijelaskan bahwa kontrak sewa tanah tersebut tidak dibuat berdasarkan kesepakatan masing-masing petani yang memiliki tanah, namun dilaksanakan secara kolektif, dan kuwu memerankan posisi penting sebagai perantara. Kontrak semacam itu menjadi lumrah dan banyak terjadi di daerah yang memiliki tanah komunal seperti Cirebon. Khususnya yang terjadi di lingkungan desa yang menyewakan tanahnya untuk perkebunan tebu.
Dalam setiap transaksi penyewaan, pihak perkebunan melakukan perundingan dengan kuwu yang selanjutnya bertanggung jawab untuk meyewakan tanah yang dikontrak. Undang-Undang Sewa Tanah menjadi kertas yang tidak berarti, dan pemerintah kolonial Hindia Belanda pun pada saat itu mulai melakukan perubahan, namun perubahan tersebut hanya sampai pada pembenaran atas keadaan yang sebenarnya, dan tentunya sejalan dengan tujuan-tujuan pihak perkebunan tebu.


Tenaga Kerja untuk Industri Gula
Berdasarkan surat edaran Direktur Tanaman (Directeur de Cultuures) yang ditujukan untuk residen pada 1832 telah disebutkan tentang perlunya pengerahan tenaga kerja, bahan bangunan, dan bahan bakar yang murah untuk membantu para pengusaha pabrik gula. Dalam pelaksanaannya semua pekerjaan yang bersangkutan dengan penanaman tebu telah dilakukan dengan kerja paksa. Sedangkan pada Staatsblad no. 22, 1835 telah ditetapkan bahwa pengerahan tenaga kerja yang berasal dari penduduk desa agar melakukan pengerjaan penanaman, pemotongan, pengangkutan tebu, serta bekerja di pabrik-pabrik gula dengan cara paksaan (Kartodirdjo dan Suryo, 1991: 59)
Usaha pemaksaan dalam aktifitas perekrutan tenaga kerja pada periode Sistem Tanam Paksa untuk perkebunan tebu dapat dibagi menjadi beberapa cara, antara lain:
a. Pada pertengahan 1830, pemerintah kolonial telah melakukan aktivitas perekrutan tenaga kerja. Secara resmi tenaga kerja diserap melalui mekanisme suiker campaign. Untuk tugas perekrutan tenaga kerja[13] tersebut dibebankan kepada para kuwu (kepala desa) yang mempunyai pengaruh besar terhadap warga desanya sehingga dapat berperan sebagai mediator antara pemerintah kolonial dengan masyarakat kaum tani. Untuk memudahkan dalam melaksanakan tugasnya, kuwu melakukan pembagian tanah kasikepan, karena dengan cara itulah tenaga kerja baru dapat diserap. Namun tidak keseluruhan buruh gula mendapatkan hak tanah kasikepan karena ada beberapa kesukaran dalam pembagian tanah tersebut.
b. Dengan memanfaatkan kerja rodi seperti yang telah biasa diperintahkan oleh para bangsawan terhadap rakyatnya. Vitalis menyatakan bahwa setiap harinya para bangsawan dapat mempekerjakan lebih banyak orang untuk kepentingan pribadi dibandingkan untuk pekerjaan Sistem Tanam Paksa.
c. Dengan melakukan perekrutan terhadap orang-orang yang mengingkari kerja wajib. Pekerja itu biasanya berasal dari petani yang tidak memiliki tanah, gelandangan, dan orang-orang yang berkelakuan buruk. Selanjutnya mereka dimasukkan kedalam asrama (barak penampungan) (Umbgrove dalam Breman, 1986: 32). Pada saat itu di Ciledug terdapat sebuah kampung kuli industri yang terbesar di Jawa dengan jumlah pekerja sebanyak 378 keluarga (Bijlage Handelingen dalam Breman, 1986: 32).
d. Pada akhir 1850-an, perkebunan-perkebunan di daerah Sindanglaut dan Losari sudah mengadakan sejumlah kontrak dengan desa-desa sekitar perkebunan untuk mengikat mereka supaya penduduk di desa-desa tersebut menanami sawahnya dengan tebu (Breman, 1986: 33).
Untuk mengetahui jenis-jenis kerja wajib yang diberlakukan pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda ketika berlangsungnya Sistem Tanam Paksa dapat dibagi menjadi empat kategori (Djuliati, 1991:98, Suhartono, 1991:41), yaitu:
a. Kerja wajib umum (heerendiensten)
b. Kerja wajib pancen (pancendiensten)
c. Kerja wajib garap penanaman (cultuurdiensten)
d. Kerja wajib desa (desadiensten, gemeentediensten)
Heerendiensten mencakup pelayanan kerja umum seperti pembuatan maupun perbaikan jalan, pembangunan gedung, penjagaan tawanan dan sebaginya. Pancendiensten meliputi tugas pelayanan kerja pertanian di tanah milik kepala-kepala pribumi. Cultuurdiensten menyangkut pengerahan kerja paksa untuk melakukan pekerjaan pembukaan lahan perkebunan, pembuatan dan perbaikan irigasi, kegiatan penanaman, pemanenan hasil perkebunan ke pabrik pengolahan (tebu) maupun ke tempat penimbunan (kopi, nila), serta pekerjaan-pekerjaan lainnya di perkebunan pemerintah. Desadiensten meliputi jenis kerja untuk kepentingan kepala desa dan bermacam-macam pekerjaan yang berkaitan dengan kepentingan warga desa dan lingkungan desa pada umumnya, namun adakalanya desadiensten dilakukan sebagai penunjang cultuurdiensten seperti pembuatan pabrik, rel untuk lori dan pekerjaan infrastruktur lainnya yang berhubungan dengan pekerjaan penanaman. Hal ini dapat terjadi karena sebagai otoritas tertinggi atas tanah jajahan maka pemerintah kolonial hindia Belanda berhak memberlakukan aturan apapun demi peningkatan produksi gula (Kartodirdjo dan Suryo, 1991: 59).
Pekerjaan di lahan tebu dan pabrik gula ternyata lebih berat dan tidak sebanding dengan tenaga kerja yang tersedia. Hal itu mengakibatkan waktu kerja menjadi dua kali lipat dan juga perhitungan terhadap sewa tanah dilakukan secara berbeda-beda terhadap luas tanah atau jumlah keseluruhan orang yang dibutuhkan. Untuk semua jerih payahnya itu, pekerja jarang memperoleh pembayaran yang layak atas semua jerih payahnya tersebut, sehingga tidak mengherankan apabila Vitalis dalam laporannya pada 1835 menyebutkan bahwa penduduk wilayah itu tidak menetap dalam waktu yang lama namun berpindah-pindah untuk menghindari kerja wajib, dan munculnya gejala ketidakpuasan yang meningkat di kalangan elit desa atas hilangnnya pelayanan kerja personal yang ditimbulkkan olah sistem tersebut. Bagi para elit desa, pelayanan semacam itu dianggap lebih penting dibandingkan dengan memperoleh keuntungan material (van Niel, 2003: 60). Bagi penduduk desa yang merupakan kelas pekerja, sistem tersebut tidak mendorong atau merangsang mereka untuk terlibat dalam usaha penanaman tebu. Untuk mengatasi permasalahan itu, pemerintah dalam dasawarsa terakhir mencoba mengatasi ketidakadilan itu dengan memindahkan tanggung jawab yang lebih besar pada para pengusaha penggilingan. Namun, pada dasarnya sifat kerja wajib yang tidak menyenangkan untuk para petani-pekerja itu tidak berubah sama sekali, insentif pokok dari sistem tersebut justru semakin meningkatkan tekanan sistem kekuasaan tradisional (van Niel, 2003: 61).
Secara bertahap kerja-kerja yang dipaksakan oleh pemerintah kolonial melalui elit desa kepada kaum tani setempat pada penghujung periode Sistem Tanam Paksa telah mulai kehilangan daya magisnya. Hal itu terjadi karena semakin baiknya perekonomian kelas borjuis Belanda, sehingga mereka bisa melakukan tekanan-tekanan kepada pemerintah kolonial untuk melakukan konsesi-konsesi yang lebih luas bagi golongan swasta dalam melakukan investasi. Konsesi pertama dari pemerintah kolonial adalah pemberian kebebasan pada pabrik gula untuk melakukan persetujuan bebas (vrije beschikking) penanaman tebu dengan petani. Maksud dari persetujuan bebas itu adalah mendapatkan produktivitas gula yang lebih banyak. Bagi para pemilik pabrik tindakan itu tentu saja dapat menambah laba usaha penggilingan, karena dengan usaha itu mereka tidak hanya menjual sepertiga hak gula yang didapatkan dari menggiling tebu milik pemerintah kolonial. Mekipun pada awalnya tindakan itu dilakukan secara sembunyi-sembunyi, namun pemerintah kolonial tidak berhak melarangnya, karena paling tidak pihak pemilik pabrik masih menepati janjinya dengan mengerjakan tebu milik pemerintah kolonial. Namun pada pertengahan abad ke-19 pemerintah kolonial secara sadar mulai melepaskan pabrik untuk melakukan penanaman bebas.
Setelah campur tangan pemerintah kolonial berkurang secara drastis, ternyata kerja wajib tetap diperkuat dengan jalur-jalur yang tidak resmi. Pada kesempatan itu para lapisan bawah kaum priyayi berperan sebagai penghubung. Buruh sektor pertanian itu disewa atas dasar-dasar syarat yang mengikat dengan melakukan pembayaran di muka. Semakin berkurangnya pekerjaan pada tanah-tanah pertanian yang tersedia untuk petani pada 1860-1870 ternyata dengan sendirinya menimbulkan lonjakan tenaga kerja. Namun adanya limpahan tenaga kerja seperti itu ternyata tidak kunjung meningkatkan tingkatan upah yang rendah (Breman, 1986: 40, Kartodirdjo dan Suryo, 1991: 83).
Bentuk kerja wajib pertanian dan pekerjaan umum di luar kawasan desa telah dihapus atau diubah kedalam bentuk uang. Namun berbagai kerja wajib desa sebagai bagian dari gaji dari para pejabat desa tetap berlaku hingga abad ke-20, seperti yang telah terjadi pada mada Sistem Tanam Paksa bahwa pada periode liberalisme ekonomi pun tampaknya untuk memperoleh tenaga kerja yang murah dan melimpah dengan mudah hanya dapat diperoleh dengan cara paksaan. Selain paksaan dalam bentuk ikatan kerja melalui pembayaran di muka[14], namun juga dengan jalan pemberlakuan kerja wajib secara terus-menerus. Menurut Breman (1986: 41) keberadaan perkebunan tebu beserta pengolahannya (pabrik) telah mengakibatkan terjadinya peningkatan kerja wajib.
Terbengkalainya pertanian sawah sebagai akibat dari munculnya industri gula selalu menyebabkan sumber konflik antara petani dengan pemilik pabrik. Konflik itu merupakan wujud dari persaingan secara langsung antara petani pemilik lahan yang menginginkan lahannya digunakan untuk tanaman pangan dengan pabrik gula yang membutuhkan lahan yang murah bagi tebu. Akumulasi dari konflik itu pada akhirnya banyak menuai reaksi dari petani dengan cara pembakaran perkebunan tebu. Pembakaran tebu merupakan fenomena yang biasa terjadi, karena dengan cara tersebut para petani dapat mengungkapkan protesnya. Pembakaran perkebunan tebu oleh petani di Jawa sering terjadi pada bulan Mei hingga Oktober, yaitu pada saat lahan sawah ditanami tebu dan pula pada waktu tersebut merupakan bulan-bulan dengan suhu terpanas ditambah lagi dengan banyaknya daun tebu yang mengering sehingga dengan mudah dapat terbakar. Pembakaran perkebunan tebu itu tidak hanya mengancam produksi gula namun juga mengancam stabilitas politik di daerah penanaman tebu (Mubyarto,1992: 80).

Industri Gula Pemerintah
Unit-unit pengolahan gula sebelum pelaksanaan Sistem Tanam Paksa hanya dilakukan oleh orang-orang Cina dalam skala kecil yang sederhana, salah satunya Tang Tong an yang menempati tanah seluas 124 ha di distrik Losari pada 1828. Pada saat itu sedikit sekali antusiasme yang ditujukan oleh pengusaha-pengusaha Eropa untuk menggeluti bidang tersebut. Melihat kondisi seperti itu, maka pemerintah kolonial Hindia Belanda berusaha mencari alternatif untuk pengembangan usaha penggilingan tebu dengan cara mensponsori industri gula, dengan kata lain pada awal pelaksanaan Sistem Tanam Paksa industri gula di keresidenan merupakan industri gula pemerintah.
Elias yang merupakan Residen Cirebon pertama pada masa Sistem Tanam Paksa telah menandatangani kontrak dengan seorang pengusaha Eropa bernama W Dennison untuk mendirikan Pabrik Gula (PG) Sindanglaut di Distrik Sindanglaut pada Agustus 1830, sementara itu kontrak kedua dengan dua pengusaha Cina yaitu Tan Kim Lin dan Lim Tang Thay pun ditandatangani untuk mendirikan PG Ciledug pada tahun yang sama. Hingga 1883 tidak ada lagi kontraktor yang menandatangani kontrak dengan pemerintah dalam penggilingan gula, ketika itu pula industri tersebut mulai menunjukan keuntungan yang berarti.
Para kontraktor gula pemerintah ini disediakan lahan untuk membangun pabrik mereka, material dan pekerja untuk melakukan pekerjaan konstruksi. Pemerintah juga memberikan modal usaha untuk pengoperasian pabrik. Perincian pinjaman ini bersifat pinjaman jangka panjang dan akan dibayar oleh pengusaha dengan kualitas gula yang bagus seharga f 10 per pikul gula. Pemerintah kolonial Hindia Belanda menjamin pasokan bahan baku berupa tebu dan tenaga kerja bagi para kontraktor tersebut, dan tentunya hal tersebut sangat menguntungkan para kontraktor dengan asumsi bahwa biaya produksi sebesar f 7,50 per pikul gula akan dapat menghasilkan jumlah yang lebih besar selama adanya jaminan pasokan tersebut (Fernando, 1982: 85).
Untuk penyediaan tebu bagi pabrik, para elit lokal berusaha meyakinkan para kuwu dan aparat desa lainnya di distrik yang berdekatan dengan pabrik untuk menandatangani kontrak. Sebanyak 3.877 keluarga dengan 2.475 hektar sawah yang berada dalam 49 desa dikerahkan untuk mengurus sekitar 420 ha sawah untuk PG Sindanglaut. Sementara itu untuk PG Ciledug di Distrik Losari, kontrak yang sama pula telah ditandatangani dengan kuwu dari 42 desa dengan 3223 keluarga dan 2247 hektar sawah, mereka harus mengurusi 240 ha sawah untuk penanaman tebu pemerintah.
Selama beberapa tahun ke depan indutri gula di Cirebon pada masa Sistem tanam Paksa telah menarik beberapa penguasa lain. Hal ini diakibatkan oleh kebijakan pemerintah kolonial Hindia Belanda dalam memberikan jaminan kebutuhan perusahaan seperti yang dialami oleh beberapa kontraktor gula pertama di daerah tersebut. Pada 1832 Lim Tang Thay telah diizinkan mengambil tanah Cigobang yang termasuk tanah tak terpakai di Distrik Luragung untuk penanaman tebu miliknya dan gula yang diproduksi untuk keuntungannya sendiri. Pada tahun berikutnya W. Dennison mendapatkan izin yang serupa di daerah yang dikenal sebagai Blender seluas 140 ha. Tan Oekoe seorang Cina seolah mengikuti jejak pendahulunya mendapatkan kontrak dari pemerintah untuk mendirikan PG Arjawinangun di Distrik Gegesik Lor untuk penanaman tebu milik pemerintah seluas 280 ha (Fernando, 1982: 86).
Berkaca pada kesuksesan yang dinikmati oleh para kontraktor gula di Cirebon pada 1830, maka beberapa pengusaha asing berusaha mendapatkan kontrak dari pemerintah. Setelah itu penyerahan kontrak gula pemerintah semakin kompetitif dan usaha industri gula seakan menjadi kecenderungan untuk mendapatkan keuntungan yang besar bagi mereka. Pabrik gula berikutnya yang didirikan di Keresidenan Cirebon adalah PG Tersana di Distrik Losari yang didirikan oleh J.M Gonsalves pada 1838. Setelah itu dua tahun kemudian B.W van der Boogart mendirikan PG Glamindangan di Distrik Palimanan, kemudian L.A Sapotras memulai mendirikan PG Surawinangun di distrik yang sama. Namun setelah itu tidak ada lagi ekspansi indutri gula di Kabupaten Cirebon.Berbeda dengan di Kabupaten Majalengka, di daerah ini petumbuhan indutri gula semakin berkembang. Setelah berakhirnya penanaman indigo (nila), pada 1848 telah didirikan dua pabrik gula yaitu PG Jatiwangi di Distrik Jatiwangi dan PG Parungjaya di Distrik Rajagaluh yang didirikan oleh R. Twiss. Pabrik gula ketiga yang didirikan di kabupaten ini adalah PG Gempol yang berada di distrik Palimanan pada tahun yang sama. Jadi jumlah pabrik gula secara keseluruhan yang disokong oleh pemerintah di Keresidenan Cirebon telah bertambah dari empat pabrik menjadi sepuluh pada pertengahan abad ke-19. Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Majalengka telah menjadi pusat indutri gula di Keresidenan Cirebon pada kurun waktu tersebut karena kedua daerah ini memiliki area lahan sawah terbesar dibandingkan daerah lain di Keresidenan Cirebon.
Setelah berakhirnya Sistem Tanam Paksa telah diketahui pula bahwa jumlah penduduk di Keresidenan Cirebon pada 1918 mencapai kurang lebih 1.560.230 jiwa yang tersebar di 23 kewedanaan dalam empat kabupaten. Untuk mengetahui jumlah penduduk di tingkat kewedanaan serta kekayaan tanah di Keresidenan Cirebon.
Industri gula swasta mulai berkembang setelah adanya tekanan dari golongan liberal di Belanda yang menginginkan adanya kesempatan bagi mereka untuk berusaha di tanah jajahan. Mereka menilai bahwa Sistem Tanam Paksa menjadi tidak efektif karena tidak disukai oleh petani dan dalam opini mereka industri gula swasta dapat menjadi alternatif lain dalam eksploitasi atas tanah jajahan.
Van Colenbarander pemilik PG Cigobang merupakan orang pertama yang mengubah regulasi pemerintah untuk memperoleh keuntungannya sendiri. Dia meminta kepada pemerintah untuk menyetujui kontraknya dengan beberapa petani untuk mengolah gula tebu miliknya dengan bayaran f5 per pikul gula yang diprodusksi (Staatsblad, 1838. no 57). Jika petani tidak mau mengolah tebu maka dia telah siap untuk mempekerjakan kuli untuk tujuannya itu. Van Colenbrander juga berusaha untuk membayar sewa atas tanah sawah yang ditanami tebu selama lima tahun. Pada tahap selanjutnya telah banyak pengusaha gula yang mengikuti contoh dari Van Colenbrander, salah satunya adalah pemilik PG Luwanggajah Tan Tiang Kong yang telah melakukan kontrak serupa dengan para petani. Dia menyewa 130 ha sawah dengan harga f12 per bau.Industri gula swasta telah mulai menampakan kemajuan pada permulaaan 1850 dengan kemudahan untuk mengikat kontrak langsung dengan para pribumi. Pada saat itu keresidenan Cirebon merupakan tempat eksploitasi dua perusahaan finansial yang secara bersama-sama telah berusaha untuk memperoleh kepemilikan dari hampir semua pabrik gula skala kecil beserta kebun tebunya. Seorang controleur di Cirebon yang bernama F. Arnold Bik mendirikan firma atas namanya sendiri dan telah bekerja sama dengan perusahaan finansial lainnya di Batavia, J. Cezard & Co. Bersama-sama mereka menginvestasikan sejumlah uang untuk membeli dan merenovasi pabrik gula kecil yang tentunya hal-hal tersebut merupakan pekerjaan yang tidak mudah untuk dilakukan dan sangat mudah trerancam kebangkrutan. Selama periode 1857 hingga 1858, J Cezard & Co membeli PG Waled, PG Cikanas dan kebun tebu Blender serta mendirikan PG Kalimaro di Disrtrik Losari dan PG Jatipiring di Distrik Sindanglaut. Arnold Bik & Co memperoleh PG Cikaleng di Distrk Beber dan PG Kalisapu yang berada di Distrik Luwarkota. Pengusaha lainnya yaitu, Qurles van Ufford telah mendirikan PG Sigong di Distrik Sindanglaut pada periode yang sama (Fernando, 1982: 244).
Reaksi Petani Atas Tekanan Terhadap Tanah dan Tenaga Kerja
Ketidakadilan yang dirasakan oleh petani di daerah industri gula menyebabkan petani merasa perlu mencari sosok pemimpin yang dapat memberikan perlindungan dan memperjuangkan hak-hak mereka. Hadirnya Sarekat Islam (SI) di lingkungan mereka ternyata mampu memberikan harapan baru. Ulama yang menjadi pemimpin telah menjadikan organisasi itu mudah diterima oleh masyarakat petani, sebab ulama mendasarkan ajarannya pada agama Islam yang juga merupakan bagian dari kehidupan petani.
Dengan adanya SI, maka aksi protes petani tidak lagi dilakukan secara individual seperti halnya pembakaran tebu melainkan dengan cara yang bersifat kolektif yaitu diplomasi. Pada 1917 bertepatan dengan kongres kedua SI, telah diajukan suatu resolusi kepada pemerintah kolonial dan sindikat gula, yaitu; pertama, perlu segera diakhirinya keterlibatan aparat pemerintah dalam usaha memperoleh tanah bagi industri gula; kedua, industri gula harus menjalankan prinsip-prinsip pasar bebas dan menghapus tekanan-tekanan dalam usaha mereka memperoleh tanah petani; ketiga, industri gula di masa yang akan datang memperbolehkan para petani ikut memiliki saham perusahaan (Breman, 1986: 73-74).
Atas dasar ketiga tuntutan tersebut, pemerintah kolonial tidak merasa keberatan karena resolusi tersebut tidak bernuansa politis. Namun lain halnya dengan pabrik gula yang merasa keberatan dengan tuntutan pertama dan kedua. Tanpa adanya campur tangan dari pemerintah maka bagi pabrik gula rasanya cukup sulit untuk memperoleh tanah yang murah. Hal itu berarti hilang pula keuntungan besar yang akan didapat pabrik gula dari sektor tersebut. Tanggapan pemerintah terhadap tuntutan tersebut adalah dikeluarkannya ordonansi sewa tanah baru pada 1918. Dikeluarkannya ordonansi tersebut ternyata semakin melengkapi kemajuan industri gula hingga mencapai puncaknya pada 1930, sehingga pada saat itu industri gula dianggap sebagai gabus tempat Hindia Belanda mengapung (Mubyarto, 1991: 113).
Keberhasilan industri gula tersebut disebabkan karena dua faktor, yaitu: sistem manajemen yang baik dalam bercocok tanam dan murahnya sewa tanah serta rendahnya upah karyawan yang terlibat dalam industri gula. Hal itu telah berhasil memaksa para petani menyerahkan tanahnya untuk kepentingan industri gula walaupun pada dasarnya petani tidak menginginkan hal itu terjadi. Keengganan petani tersebut disebabkan tidak adanya keseimbangan antara murahnya sewa tanah dengan hasil yang diperoleh dari tanaman pangan.
Alasan lain yang menjadi pertimbangan para petani adalah tidak terdapatnya peluang dari sektor lain, sedangkan peran mereka dalam industri gula hanya sebatas menjadi pekerja kasar. Walaupun setiap tahun terdapat kenaikan harga sewa, ternyata kehidupan petani belum beranjak dari kemiskinan bahkan hingga pemerintahan kolonial Hindia Belanda mengakhiri kekuasaanya di Indonesia (Mubyarto, 1992: 113).
------------------------------------------
[1] Migrasi seperti itu merupakan perlawanan pasif dengan diam-diam membuat semua peraturan pemerintah tidak berjalan (Bergsma dalam Breman, 1986: 29).
[2] Kekuasaan para penguasa Cirebon berakhir ketika Thomas Stamford Raffles berkuasa. Raffles mempensiunkan para penguasa Cirebon itu dengan memberikan uang pensiun. Sejak itu, Kesultanan Cirebon tidak pernah berperan lagi dalam bidang politik dan pemerintahan di Cirebon langsung dilakukan oleh Inggris. Di bawah peme­rintahan Inggris, Cirebon dibagi ke dalam 13 divisi, yaitu Bengawan, Cire­bon, Ciamis, Cikaso, Linggrajati, Gebang, Lossari, Kuningan, Talaga, Sindang­kasih, Rajagaluh, Panjalu, dan distrik hutan (Raffles, 1988: hal. 254-255).
[3] Stratifikasi sosial yang terdapat di Cirebon pada kurun waktu pemerintahan kolonial Hindia Belanda terdiri dari lapisan bangsa Eropa, Timur Asing khususnya bangsa Cina dan terakhir adalah penduduk pribumi. Penduduk pribumi terklasifikasikan kedalam beberapa lapisan berdasarkan pada pemilikan tanah pertanian (Breman, 1986: 13). Lapisan sosial yang teratas dari masyarakat pribumi seringkali disebut priyayi, para priyayi itu termasuk dalam golongan orang-orang yang hidup dari hasil tanah mereka namun mereka tidak ikut serta secara langsung dalam penggarapan tanah.
[4] Menurut Breman cacah merupakan rumah tangga bersama yang merupakan unit dasar bagi masyarakat petani di sebagian besar Jawa pada awal terbentuknya kolonial (Breman, 1986:15). Namun dalam beberapa laporan-laporan kolonial, istilah cacah lebih cenderung mengarah ke sebutan rukun tetangga. Hal itu disebabkan karena adanya pengertian yang tersirat bahwa cacah merupakan kelompok keluarga terbatas. Sistem cacah ternyata dianggap mempunyai sisi yang merugikan bagi pemerintah kolonial, terutama mengenai proses pemungutan pajak. Hal itu disebabkan karena asas penarikan pajak di Cirebon mengikuti pola stratifikasi. Artinya para elit desa dan tokoh-tokoh terkemuka lainnya dibebaskan dari kerja paksa pertanian dan pekerjaan pelayanan jasa lainnya. Kewajiban-kewajiban tersebut ternyata dibebankan pada pemilik lahan pertanian yaitu sikep, yang diharuskan menyediakan berbagai pelayanan dan segala beban-beban orang-orang yang berada di atasnya. Namun pada kenyataannya mereka pun menguasakan tugas-tugas tersebut pada bawahannya (Breman, 1986: 16-17).
[5]Menurut van Vollenhouven dalam Breman, Sikep adalah para petani penggarap tanah milik sendiri, olehnya mereka dinamakan penduduk “desa inti” (Breman, 1986: 81; Cahyono, 199: 13-15).
[6]Mengenai pembahasan tentang jenis-jenis kerjawajib akan dijelaskan pada sub-bab berikutnya.
[7] Lapisan sosial seperti wuwungan itulah yang biasanya “diserahkan” ke perkebunan (onderneming) untuk dijadikan tenaga kerja yang disumbangkan desa untuk melakukan kerja wajib. Untuk sekedar “mematuhi” peraturan bahwa kerja wajib dirancang untuk mereka yang menguasai tanah, maka biasanya desa melakukan pembagian periodik tanah untuk diolah secara bergiliran, namun pengolahan tanah dengan cara itu bersifat temporer dan prioritas pengolahan tanah itu diserahkan pada wuwungan (Breman, 1986: 16-17, Cahyono, 1991: 14-15).
[8] Namun perkembangan industri gula yang menyerap tenaga kerja pada saat itu mendorong pemerintah kolonial untuk mengurangi kerja-kerja bagi kaum elit desa. Meskipun demikian hal itu tidak mematikan tanah-tanah bengkok tersebut dari sumbangan riil pemiliknya dengan cara menyewakan lahan tersebut dengan harga mahal kepada desa lain (Kultuur Verslag 1862 dalam Cahyono, 1991: 14).
[9] Industri gula Hindia Belanda pertama kali didirikan pada abad ke-18. penanaman tebu secara luas digalakan di sekitar ommelanden, sayangnya kesempatan itu tidak didukung oleh keinginan yang besar dalam melakukan kompetisi pasar. Hal itu didasari oleh keterbatasan VOC dalam bersaing dengan para pengusaha Inggris di India yang menguasai pasar gula di Eropa. Namun pada masa itu gula masih diproduksi oleh orang Tionghoa (Cina) di keresidenan-keresidenan sepanjang pesisir pantai utara Jawa Tengah dan Jawa Timur (Oosthoek) (Knight, 1980: 181).
[10] Industri gula VOC berskala terbatas dan umumnya terdiri dari pabrik-pabrik kecil. Pada 1710 pabrik gula di Jawa terdapat 131 pabrik yang beroperasi, namun pada perkembangan selanjutnya pada 1750 di sekitar Jakarta terdapat 80 pabrik, 11 pabrik di sepanjang pantai utara Jawa, 5 di Cirebon, dan 4 di Banten (Creutzberg dan van Laanen, 1987: 145)
[11] Permasalahan yang dilanda indutri gula Pamanukan-Ciasem disebabkan oleh kelangkaan penduduk dan kondisi geografis yang tidak mendukung perkembangan industri gula. Pada 1819 daerah Pamanukan–Ciasem memiliki wilayah seluas 213 ha dan memiliki populasi manusia sebanyak 21.000 jiwa (Knight, 1980: 181)
[12] Daerah pelaksanaan Sistem Tanam Paksa di daerah pemerintah kolonial Hindia Belanda mencakup 18 wilayah keresidenan, yaitu: Keresidenan Banten, Priangan, Karawang, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Jepara, Rembang, Surabaya, Pasuruan, Besuki, Pacitan, Kedu, Bagelen, Banyumas, Madiun, dan Kediri. Tanaman yang di tanam tidak selalu sama, karena disesuaikan dengan keadaan wilayah setempat (Kartodirjdo dan Suryo, 1991: 57).
[13] Industri gula di Keresidenan Cirebon merupakan aplikasi dari Sistem Tanam Paksa yang merupakan wujud dari rancangan van den Bosch. Pada perkembangannya sistem tersebut telah meletakan dasar-dasar hubungan industrial. Dalam industri gula di Hindia Belanda terdapat tiga komponen penting pendukung, yaitu, pemerintah kolonial Hindia Belanda, fabriekant (pemilik pabrik), dan petani (Cahyono, 1991: 15).
[14] Hak erfpact merupakan hak yang sangat dibutuhkan oleh perusahaan-perusahaan perkebunan. Hak itu merupakan benda yang paling luas yang dapat dibebankan pada orang lain. Apabila pemegang hak erfpact meninggal dunia maka hak itu tetap berlaku pada pewarisnya (kata erfpact berasal dari kata erfelijk yang berarti turun temurun dan pacht yang berarti sewa, sehingga hak erfpact adalah hak sewa yang turun-temurun). Tanah hak erfpact dapat dijadikan jaminan kredit (Mubyarto, 1992: 38).
[15] Sebagai perbandingan dalam Atmosudirdjo menerangkan bahwa pada 1855 bekerja di pabrik-pabrik bagi masyarakat sekitar perkebunan didasarkan atas kemauan sendiri dan sebagian lagi berdasarkan paksaan. Di Cirebon terbentuk apa yang disebut “kampung-kampung kuli”. Tempat tersebut merupakan tempat tinggal bersama para personil tetap pada pabrik yang bekerja keras atas kemauan sendiri. Pada perkembangannya hal yang menjadi umum itu berasal dari masa tanam paksa (1984: 206).
[16] Menurut Burger (1975: 137-138), pembayaran uang sewa dimuka merupakan perangsang yang paling penrting untuk membujuk kaum tani agar melepaskan tanah mereka.

3 komentar:

Ricky Pratama mengatakan...

assalamualaikum,

saya senang sekali tracking tentang kesejarahan, tetapi syaang sekali saya tidak dapat bertukar pikiran dengan anda perihal hal tersebut.

oh ya saya telah memposting tulisananda tentang gula di halaman provinsi cirebon agar semua orang di cirebon indramayu kuningandan majalengka dapat melihat sejarahnya, tenang saja walaupun nama halamannya terkesan politik namun muatan lebih ke berita sosial kedaerahanan, terima kasih

kalau ada waktu hubungi saya, karena saya tertarik dengan kesejarahan

terimakasih

wassalam
Ricky Pratama
risgry@gmail.com

Reedszone 234 mengatakan...

waalaikum salam.wr.wb
dengan senang hati saya mengizinkan anda untuk memposting hasil penelitian saya semoga bermanfat.

apabila ingin bertukar fikiran silahkan kirim email ke ridwansubagja@yahoo.co.id

Anonim mengatakan...

ijin share pak..
thx :)